Marigold and Baby Breath

78 20 41
                                    

Begitu kedua mataku terbuka, Mas Bas dan Galih sama-sama tengah memusatkan perhatiannya padaku. Ditatap dua pria seperti itu membuatku salah tingkah. Pasti! Who doesn't?

"Ngobrolnya sambil ngeteh, gimana?" Aku juga tahu arti dari tatapan keduanya adalah sama-sama menagih penjelasan. Galih, karena tadi sudah terlanjur aku janjikan akan menceritakan situasinya. Mas Bas, tentu tentang apa yang "kulihat" setelah menyerahkan buket barusan.

"Aku bantu, ya?" Galih sigap menyusulku ke pantry.

"Eh, jangan! Aku yang udah bikin kamu repot-repot ke sini. Duduk aja, ya."

"Cuma bikin tehnya aja, kok." Galih masih bersikukuh sambil memamerkan lesung pipinya.

"Gue es teh aja, Ra. Kok panas, ya?" suara Mas Bas terdengar lantang, sementara orangnya duduk santai di sofa dekat kulkas bunga potong. Aku mengiyakan sambil menahan tawa, dan segera menjerang air di teko.

Proses membuat teh versiku tidak perlu menghabiskan banyak waktu layaknya Galih yang menyeduhkan kopi untukku, meski begitu kami seperti terserap ke wewangian daun teh bercampur aroma melati yang sudah merebak ke penjuru ruangan.

"Jadi sebenarnya kamu kenapa?" Galih memulai obrolan. Sempat kulihat Mas Bas melirik sebelum menenggak es tehnya.

Aku menarik napas. Kali kedua menceritakan sesuatu di luar nalar begini ternyata tidak menjadikanku lebih luwes untuk memulai kalimat pembukanya. Kurasa mau sebanyak apa pun aku menceritakan ke orang lain tentang yang aku alami setiap menyerahkan bunga, I can't control myself for being this nervous.

"First thing first, aku nggak maksa kamu buat percaya for every single word I say later, tapi kamu perlu tahu aku bisa buktikan." Sebuah disclaimer yang membuat kening Galih berkerut. Dia memandangiku lekat. Momen berikutnya, meluncurlah semua perihal keanehan itu dari mulutku. Dan selama aku bercerita itu tak satu pun dari Galih atau Mas Bas yang menginterupsi, hanya Galih yang beberapa kali menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda tidak percaya. It's fine. Really. Senormalnya orang kalau mendengar hal-hal di luar logika, pasti juga akan bersikap begitu. Dan, aku tidak merasa tersindir sama sekali.

"Tunggu," Galih mengalihkan pandangannya sebentar ke cangkirnya, kemudian melihat ke arahku lagi. "You know everything about that person?"

Aku tersenyum dan menggeleng. "Aku tetap bukan cenayang, Lih. Apa yang kulihat nggak lebih dari satu menit. Cepat, dan nggak semuanya bisa terlihat jelas."

"Kamu udah beberapa kali kasih aku buket atau tanaman hias, berarti kamu tahu ...."

Aku mengangguk. Kedua mata Galih masih menyiratkan dia tak sepenuhnya percaya.

"Yang barusan juga? Kamu lihat "sesuatu" tentang Mas Baskara?" Kini dia menggulir pandangan ke Mas Bas yang duduk di sampingnya asyik menggoyang-goyangkan gelas berisi teh dan es batu. Sementara aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk, tanpa bersuara. Memberi Galih ruang untuk mencerna ceritaku.

"Kafe lo bukannya lagi ramai, ya?" tanya Mas Bas kemudian sambil tersenyum.

"Iya, tapi ada dua teman saya yang handle. Mbak Adira udah tahu penyebabnya? Maksudku kenapa baru-baru ini bukan dari dulu?"

Mas Bas menyesap es tehnya lagi setelah mendapat secuil respon dari Galih tadi. Aku tahu dia mulai tidak sabar ingin menanyakan apa yang sudah "kulihat" tadi. Beruntung Galih tidak kepo tanya-tanya hal tersebut.

"Nah itu yang aku belum ngerti sampai sekarang, Lih. Kenapa baru sekarang? Dan kenapa aku?"

Galih menghela napas berat. "Aku bukannya nggak mau percaya sama semua yang kamu ceritain, tapi ...."

Pintu Merah Jambu  [Best Seller PENSI Vol.7 by Teori Kata Publishing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang