01

51 6 0
                                    

Eiji menghampiri pintu kamar saudari kembarnya, tangannya terangkat dan mengetuk pintu.

"Ya..." suara lesu Eiko terdengar dari dalam.

Eiji membuka pintu dan mengintip ke dalam.

Eiko di depan meja riasnya menoleh, ia menghembuskan nafas lesu begitu melihat saudara kembarnya.

Eiji tersenyum cerah, ia melangkah masuk dan menutup pintu. Lalu menghampiri saudarinya.

Eiko memandang pantulan Eiji di cermin di depannya.

Eiji memijat pelan pundak Eiko, "Kenapa cemberut sih? Kan hari ini kau akan bertemu calon tunanganmu..." ucapnya berusaha menaikkan suasana.

Eiko diam dulu, "Aku masih ingin ke Harvard dan belajar musik." Jawabnya lesu.

Senyuman Eiji berubah kecut, namun ia berusaha mempertahankan wajah cerahnya, "Eiii... jangan begitu..." ucapnya menghibur, "Calon tunanganmu, mungkin saja cukup baik untuk membiarkanmu bersekolah ke Harvard setelah bertunangan. Lalu setelahnya baru memikirkan tentang rencana pernikahan kalian."

Eiko memutar duduknya dan menatap Eiji, "Kau dengar kan? Ibu selalu berkata agar aku menjadi Ibu rumah tangga yang baik karena akan mewakili keluarga kita masuk ke keluarga mereka." Jelasnya, ia memandang ke bawah lesu. "Jika memang harus ada perjodohan di antara kedua keluarga, kenapa tidak lahirkan saja anak perempuan lagi?" Gerutunya.

Eiji menatap saudarinya prihatin, "Keluarga kita sudah berusaha..." jawabnya pelan, "Dari keluarga Kyoto juga sudah berusaha.. tapi kan semua orang berkata hanya kau anak perempuan yang berhasil tumbuh sehat dan cantik seperti ini.."

Eiko kembali mendongak memandang saudara yang hanya berbeda dua menit darinya itu, "Tapi... apa ramalan buruk itu memang ada? Mungkin sudah tidak berlaku lagi. Ya kan? Buktinya aku bisa tumbuh sehat, ya kan?" Tanyanya sembari memegang tangan Eiji.

Eiji mengatupkan bibirnya menatap Eiko, tangannya yang lain mengelus rambut kembarannya itu prihatin. Mereka berdua

menoleh mendengar pintu terbuka.

Ibu, Nyonya Kajiyashiki, tersenyum cerah, "Kau sudah siap? Kita harus segera berangkat."

"Sudah, Bu. Kami akan segera turun." Sahut Eiji.

Nyonya Kajiyashiki mengangguk, "Baiklah.." ia berbalik dan meninggalkan pintu tetap terbuka, itu adalah pemberitahuan bahwa mereka harus segera keluar.

Eiji kembali memandang Eiko yang masih terlihat murung, "Ayo.." ajaknya. Ia menggoyangkan tangannya yang di pegang saudarinya agar segera bangkit.

Eiko menghembuskan nafas berat, lalu bergerak bangkit. Dress berwarna merah marun yang ia kenakan terlihat sangat manis di tubuhnya.

Eiji menatap saudarinya dalam, "Tidak apa-apa, aku akan selalu ada di sebelahmu. Oke?"

Eiko kembali memandang Eiji, terlihat lebih cerah sedikit mendengar itu. Seulas senyum muncul di bibirnya dan mengangguk mengerti.

Eiji tersenyum, lalu menarik Eiko berjalan keluar dari kamar.

Di tempat lain.

Di dalam sebuah mobil, pria muda dengan pakaian formal berwarna merah marun menghela nafas dalam. Pandangannya berpindah dari jam di pergelangan tangannya ke luar jendela mobil. Ia sedikit gelisah. Sebuah tangan lembut bergerak ke tanganya di atas lutut, kepalanya menoleh ke sang pemilik tangan.

Ibu, Nyonya Kyoto, tersenyum hangat menatap putra bungsunya. Wanita yang tidak lagi muda itu masih terlihat cantik dengan kerutan tipis di bawah matanya. Rambut panjangnya tergelung indah di atas kepalanya, "Kau gugup?" Tanyanya.

Pria muda itu, Yoshihiro, memandang ke bawah.

Nyonya Kyoto tertawa kecil dan meremas tangan putranya itu gemas, "Tidak apa-apa, wajar saja kan? Biasanya kau hanya melihatnya melalui photo. Sekarang kalian akan bertemu untuk pertama kali dan langsung bertunangan."

Yoshihiro kembali memandang ibunya.

"Kau tau perjodohan ini sangat penting kan?" Terdengar suara Ayah, Tuan Kyoto, yang duduk di sebelah supir.

Pandangan Yoshihiro berpindah pada ayahnya.

"Ayahnya anak-anak, kenapa berkata begitu sih?" Tanya Nyonya Kyoto mengingatkan.

Tuan Kyoto menoleh ke belakang, "Sudah lebih dari 100 tahun ramalan buruk pada keluarga kita dan keluarga Kajiyashiki belum terpatahkan, jadi perjodohan ini sangat penting untuk kelangsungan kedua keluarga ini." Lanjutnya lagi. Ia terlihat sangat serius.

"Iya.. Iya... dia tau." Jawab Nyonya Kyoto, "Kau mengatakannya setiap hari, jangan terlalu keras padanya." Pintanya.

Tuan Kyoto berdehem dan kembali memandang ke depan.

Yoshihiro diam dulu, "Bukankah seharusnya pertunangan di laksanakan ketika kami berusia 20 tahun?" Ia mulai bersuara.

Nyonya Kyoto mengangguk membenarkan, "Benar, sayang.." jawabnya, "Tapi 10 tahun terakhir bisnis keluarga kita semakin menurun, jadi ada baiknya kalian bertunangan saja dulu. Beberapa bulan lagi kalian akan lulus SMA, nantinya juga bisa berkuliah di tempat yang sama kan? Dengan begitu kalian bisa semakin mengenal dan nanti setelah lulus pernikahan akan dilaksanakan."

Yoshihiro diam menatap Ibunya.

Nyonya Kyoto menatap putra bungsunya bersalah, tangannya mengelus punggung tangan putranya lembut. "Maaf, Ibu tau kau pasti tertekan dengan semua kewajiban iin." Ucapnya menyesal, "Tapi Kak Yoichi dan Kak Yoshio sudah terlalu tua untuk di tunangkan, jadi pilihannya hanya ada padamu."

Yoshihiro menghela nafas dalam, pandangannya turun ke bawah dulu, lalu memandang ke depan. "Tapi aku bisa berkuliah di Tokyo kan?"

Nyonya Kyoto tertegun mendengar permintaan putra bungsunya dan memandang suaminya.

Tuan Kyoto menghembuskan nafas kesal dan menoleh ke belakang, menatap putranya tegas. "Universitas Kyoto adalah universitas terbaik nomor dua di Jepang, kenapa harus pergi jauh-jauh ke Tokyo?"

"Aku ingin masuk ke universitas terbaik di Jepang." Jawab Yoshihiro tegas.

Tuan Kyoto menatap putra bungsunya itu beberapa saat.

"Suamiku.. putra kita pasti ingin berada dekat dengan tunangannya nanti. Pasti Nona Eiko akan masuk ke universitas di Tokyo.." ucap Nyonya Kyoto berusaha menjelaskan.

Yoshihiro tertegun memandang ibunya.

Tuan Kyoto menghembuskan nafas panjang dan kembali memandang ke depan, "Seharusnya setelah menikah mereka tetap tinggal di Kyoto. Seperti semua leluhur kita." Sahutnya.

Nyonya Kyoto menatap putranya menyesal, lalu memberi isyarat agar putranya tidak mengatakan apa pun.

Yoshihiro hanya memalingkan wajah keluar jendela lagi.

—————————
Terima kasih sudah membaca tulisanku, jika kamu suka silahkan simpan ceritaku ke list-mu agar mendapatkan notifikasi ketika ceritanya update dan jangan lupa vote & komen.

Love, Wednesday Hwang ♥️
—————————

FiancéeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang