Gie's POV
Aku tidak tahu berapa lembar won yang kakak ku keluarkan untuk tiket menuju Seoul. Tapi ku tahu itu pasti sangat mahal. Aku tidak pernah bepergian jauh dengan naik kereta seperti ini. Terakhir kali aku bepergian jauh adalah ke Busan, seingatku. Menaiki mobil milik ayah bersama ibu dan Eun Soo Noona saat aku masih berumur tiga belas tahun.
Sudah dua jam perjalanan sejak kami menaiki kereta ini. Matahari mulai naik. Sinarnya masuk melalui kaca jendela gerbong. Jam yang tersedia di dalam kereta menunjukan pukul sembilan pagi lebih tiga belas atau empat belas menit. Eun Soo Noona jatuh tertidur dengan kepala terkulai di bahu ku. Sangat kelelahan karena ia benar-benar belum istirahat. Jaket lusuh berbau ramen basi itu sudah ku lepaskan sejak tadi. Tidak mau mengundang protes penumpang lain tentu saja.
"Ehm..."
Ku tengokan kepala ku saat ku dengar igauan dari Eun Soo Noona. Sebentar kemudian ia bangkit dari bahu ku dan menutup mulutnya saat ia menguap kecil.
"Sudah jam berapa?" ujarnya pelan sambil melirik sekitar.
"Jam sembilan lebih," balasku singkat. "Lebih baik Noona tidur lagi saja."
Ia mengangguk kecil dan mulai merebahkan kepalanya di bahu ku lagi. Beberapa menit kemudian suara nafasnya yang teratur mulai terdengar. Ia sudah jatuh tertidur. Aku memejamkan mata ku, menghela nafas panjang. Mengistirahatkan pikiranku yang begitu bercabang-cabang sejak tadi. Berusaha menghilangkan segala perasaan yang begitu bercampur aduk tentang segala yang baru saja terjadi padaku, pada Eun Soo Noona-ku. Dan dengan perasaan yang begitu mengganggu ku, aku mulai terhanyut dalam tidur.
***
"Gie-ah... Gie-ah... bangunlah, kita hampir sampai."
Sayup-sayup ku dengar suara Eun Soo Noona membangunkan ku. Ia mengguncang bahuku perlahan. Aku mengusap mataku sebentar sebelum aku mulai membukanya dan mengedarkan pandanganku ke sekeliling.
"Beberapa saat lagi kita akan sampai," ujar kakak ku lagi sambil tersenyum. "Bersiaplah..."
Aku menganggukan kepalaku dan mulai bersiap.
Seoul... kota yang begitu megah dengan segala hiruk pikuknya itu kini terpampang di depan mataku. Aku mulai melangkahkan kaki ku keluar dari stasiun bersama dengan Eun Soo Noona di sampingku. Rasanya begitu asing dengan segala ke modern-an yang tersaji di Seoul ini.
"Kita akan kemana Noona?" tanyaku saat kami sudah sampai di pinggiran jalan samping stasiun.
"Entahlah, namun kita harus mencari tempat tinggal terlebih dahulu," ucapnya sambil melihat sekitar, "Terima saja bila kita harus menempati kamar kecil di sini. Kehidupan di Seoul begitu mahal."
Eun Soo Noona membawaku berjalan kaki menyusuri pinggiran kota Seoul ini, ia mulai bertanya-tanya pada para pejalan kaki atau orang sekitar tentang di mana kami dapat menemukan kamar sewa dengan harga yang miring. Mungkin karena ini masih pagi, kebanyakan orang yang berlalu lalang adalah orang-orang sibuk yang akan pergi bekerja, sehingga tak jarang pertanyaan kakak ku hanya di anggap angin lalu bagi mereka.
Aku mulai kesal dengan situasi ini. Belum lagi kaki ku yang sudah terasa keram karena berjalan terlalu lama dan jangan lupakan bahwa kami baru saja berlari marathon tadi pagi -dini hari.
"Sabarlah...," ucap Eun Soo Noona sambil menepuk bahu ku. Aku sedikit meringis karena jari-jari kakak ku mengenai luka gesekan peluru tadi. "Mianhae...," katanya sambil meringis kecil.
Kami mulai berjalan lagi dan melihat seorang wanita setengah baya seorang tukang sapu jalan sedang mengangkat sampah dan memasukkannya ke tong yang ada di sisinya. Kakak ku mendekati wanita itu dan mulai bertanya,
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul in Seoul
RomanceJung Gie Soo tak menyangka hidupnya akan begini menderita. Setelah sang ibu meninggal karena penyakit kanker yang di deritanya sejak lama, membuat sang ayah menjadi begitu putus asa dan mulai pulang larut serta minum-minum. Kakak perempuan nya, Jung...