07. My Soul in Seoul

4.3K 294 24
                                    

Yey! MSIS reach 1k viewer! ^^/

Nah, sebagai hadiah, ini dia special chapter untuk kalian yang sudah menunggu NathanxGie moments. Love you all ^^

Enjoy!

.

Nathan's POV

Aku baru saja membuka mata ketika kudengar Bibi Seo menjerit entah karena apa. Mimpi tentang Gie yang tersenyum dan memelukku semalam hilang begitu saja. Bergegas kupakai sendal rumahku dan berlari kearah suara Bibi Seo berasal.

Ya Tuhan! Itu berasal dari kamar Gie!

Untung saja kamar pemuda cantik itu hanya beberapa langkah dari kamarku. Berlari sekian detik saja dapat membuatku sampai ke kamarnya.

Mataku terbelalak lebar saat kulihat Bibi Seo memeluk Gie dengan erat sambil berurai air mata. Sedangkan pemuda manis itu hanya tertegun dan tidak membalas pelukannya. Ia kelihatan shock dan kebingungan dengan reaksi Bibi Seo. Matanya kemudian bertumbuk dengan mataku. Aku menatapnya tidak percaya. Gie ... sudah bangun?

Berjalan perlahan, amat sangat pelan menuju ranjang dimana Bibi Seo masih menangis. Saat Bibi Seo sadar bahwa aku berada di sana, ia segera melepas pelukannya.

"Maafkan saya Tuan," ucap Bibi Seo terburu-buru sambil menghapus air matanya.

Aku menggeleng kecil, "bisa ... tinggalkan kami?" tanyaku pelan, seperti berbisik. Ia mengangguk dan bergegas keluar kamar.

Gie menatapku kebingungan. Mungkin ia bertanya-tanya siapa aku. Jadi kuputuskan untuk bicara padanya alih-alih memeluknya erat-erat.

"Kau sudah bangun?" tanyaku lembut. Berjalan mendekat padanya sedikit demi sedikit karena Gie kelihatan ketakutan.

"Siapa kau?" sentaknya. Gie menarik selimut keras-keras menutupi seluruh tubuhnya hingga ke dagu.

"Ssttt ... tenanglah, aku bukan orang jahat. Kau tidak perlu takut," bisikku perlahan. Aku berhenti sekitar jarak satu meter darinya.

"Pembohong! Kau pasti salah satu teman ayah 'kan? Kau memberi ayahku uang yang banyak untuk membeliku 'kan?" jeritnya marah, kesal, takut dan ... sedih.

Aku mengernyitkan dahiku. Apa yang Gie katakan? Apakah ini tentang masa lalunya? Aku berjalan mencoba mendekatinya lagi, tapi tindakan Gie selanjutnya membuatku kaget setengah mati dan berlari ke arahnya.

"Apa ini? Selang apa ini? Apa kau membiusku dengan cairan itu? Jarum ini tertusuk di tanganku! Sialan, kau pasti sudah menyakitiku 'kan? Dasar pria bajingan!"

"Ssstt, tenanglah sayang, tenanglah. Apa yang kau katakan? Mana mungkin aku menyakitimu, sayang? Aku sangat menyayangimu."

Gie berusaha mencabut selang infus yang masih menempel di tangannya. Dia meronta hebat dari pelukanku berusaha melepaskannya. Tapi aku sekuat tenaga memeluknya semakin erat. Beberapa saat kemudian, Gie melemah. Melemah dalam pelukku. Aku mengusap puncak kepalanya, meredakan tangisnya yang semakin kencang.

"Ya Tuhan, m-mengapa ayah tega? Huks ... aku sudah berjanji akan mencari pekerjaan! Tapi, mengapa ia tetap menjualku! Huks ...."

Aku terus membelai rambutnya. Menyurukkan kepalanya dalam dadaku. Membiarkan ia meracau sesuka hatinya. Aku tidak tahu apa yang Gie katakan, tapi sepertinya itu tentang masa lalunya. Karena Gie bilang ia akan mencari pekerjaan, padahal ia sudah mempunyai pekerjaan saat pertama kali bertemu denganku. Mungkinkah Gie hanya mengingat memori lamanya? Apakah ia juga melupakan kejadian saat pertama kali kami bertemu? Sedikit sedih kurasa saat kenyataan bahwa Gie melupakan pertemuan pertama kami. Namun segera kutepis semua itu.

My Soul in SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang