16. My Soul in Seoul

2.6K 209 30
                                    

Gie's POV

"Ayo, satu langkah lagi!"

Ya Tuhan, rasanya kakiku ingin copot sekarang!

"Ayo gerakkan sedikit lagi! Kau pasti bisa!"

Huft... harus kucoba. Hanya satu langkah lagi...

"Woah! Kau berhasil!" Nathan bersorak riang setelah aku sampai dengan terhuyung dihadapannya. Pria itu tersenyum lebar sambil satu tangannya memegang pundakku dan yang satu lainnya melingkari setengah tubuhku. Aku menyengir lebar.

"Pelajaran berjalan hari ini selesai," ucapnya. Seakan aku anak kecil yang baru saja tumbuh. Nathan mengambil kursi roda di sampingnya lalu mendudukanku di sana.

"Perkembanganmu sangat cepat. Terhitung belum genap seminggu kau diperbolehkan memakai tongkat," katanya lagi. Mendorong kursi rodaku menuju ruang menonton.

"Aku 'kan hebat," banggaku. Padahal besok tepat seminggu aku boleh memakai tongkat. Nathan terkekeh, mengacak rambutku gemas.

"Iya, aku tahu kau hebat," katanya. Nathan lalu mengambil tempat di sofa panjang. Ia melirikku sedikit, menitahku untuk duduk disampingnya.

"Kau yakin tidak akan pergi ke rumah sakit lagi? Ini akan jadi hari ke-tiga kau tidak bekerja," ujarku setelah berhasil bangkit dari kursi roda dan duduk di sofa. Sudah dua hari kemarin Nathan tidak bekerja. Ia memboyong seluruh pekerjaannya ke rumah. Untung saja dia bilang tidak ada jadwal check up pasien. Dia ini benar - benar keterlaluan.

"Aku 'kan sudah bilang mau menjagamu. Lagi pula ini masa - masanya kau mencoba berjalan lagi. Aku harus lihat perkembangannya," katanya, merangkul bahuku sambil mengambil remote menyalakan televisi.

Aku mencebik. Tidak masuk akal! Selambat - lambatnya Nathan pulang pasti hanya sampai jam tujuh malam, tidak lebih. Ia tetap akan tahu bagaimana perkembanganku walau ia ke rumah sakit untuk bekerja. Aku bosan diperlakukan seperti anak kecil...

"Nath," panggilku, pelan. Nathan hanya mendengung dengan tatapan tetap pada layar televisi. Aku berpikir, menimbang - nimbang apakah sekarang waktu yang tepat untuk bertanya.

"Ada apa, sayang?" Sekarang wajah Nathan sudah lekat menatapku. Aku malah makin bimbang untuk jadi bertanya atau tidak. Kening Nathan mengerut, "Ada apa, hum?"

"Sebenarnya... bagaimana aku di matamu?"

Aku mengatakannya cepat. Aku menciut. Nathan terdiam. Ya Tuhan harusnya aku tidak bertanya tad-

"Kau di mataku? Tentu saja lucu, imut, cantik, menggemas- bffp!" Sebelum semua kata itu berlanjut, segera kubekap mulutnya. Ish, kan bukan itu yang kumaksud!

"Aku bukan wanita!" seruku lantang. Nathan terkikik geli. Ia mengeratkan rangkulannya dan membawa kepalaku bersandar di bahunya. Aku meronta.

"Lho, tadi 'kan kau sendiri yang tanya bagaimana kau di mataku. Nah, itulah jawabanku," katanya, disertai kekehannya yang menyebalkan.

"Maksudku, siapa aku bagimu? Menurutmu aku ini bagaimana untukmu?" Kuberanikan untuk mengatakan ini sekarang. Nathan mengerutkan dahinya kembali. Ia lalu menghela napas.

"Aku sudah bilang berkali - kali padamu, kau adalah kekasihku. Orang yang kucinta. Kali ini apa yang membuatmu bertanya begini? Apa ada gosip yang kau dengar lagi? Siapa yang mengatakannya?"

Aku kaget. Nathan tidak pernah menunjukkan emosinya begini dihadapanku. Ketakutanku di awal terjadi juga.

"Maaf, aku... hanya bertanya," lirihku. Padahal aku ingin Nathan menjelaskannya dengan tenang. Akhir - akhir ini ada hal yang membuatku kembali ragu akan hubunganku dengan Nathan. Membuatku banyak berpikir hal negatif. Aku hanya... ingin kepastian. Walau aku tahu jawaban Nathan akan selalu sama.

My Soul in SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang