Keheningan malam menyelimuti kota, udara malam yang dingin menusuk memberikan inisiatif pada Jaemin untuk mengajak Renjun masuk ke dalam mobilnya.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Di satu sisi Renjun tengah kebingungan bagaimana seharusnya dia bersikap, di sisi lain Jaemin berusaha menjaga hati Renjun, takut Renjun menyalahkan dirinya sendiri.
Dalam rengkuhan hangat, Jaemin menuntun Renjun masuk ke dalam mobil.
"Hati - hati."
Jaemin meletakan tangannya di bagian atas pintu mobil, melindungi Renjun supaya tidak terbentur.
Renjun duduk dengan perasaan gelisah, entah mengapa perasaan gugup tiba-tiba mengambil alih perasaannya.
BLAM
Jaemin duduk di kursi kemudi.
Hening.
Jaemin berusaha merangkai kalimat yang aman untuk di utarakan untuk menjaga hati Renjun.
"Mas antar pulang ya?" Tanya Jaemin.
Renjun menggeleng. "Jangan-"
"Kamu cekcok sama suamimu?"
Hiks.
Isakan tangis terdengar dari Renjun yang tengah tertunduk diam. Jaemin panik bukan kepalang.
"Sorry- sorry, maaf Ren." Ujar Jaemin panik. "Kalau gitu kita ke tempat Mas saja ya?"
Grab.
Tangan Jaemin yang hendak menuju kemudi di tahan oleh Renjun.
"Aku malu jika harus bertemu keluarga mu, Mas."
Jaemin meletakan tangannya di atas punggung tangan Renjun, tangannya yang hangat terasa kontras dengan tangan Renjun yang terasa dingin karena terlalu lama berada di luar.
Jaemin pun melajukan mobilnya, kemanapun dirinya rela asalkan dirinya bersama yang terkasih membelahnya langit pada malam itu.
Renjun hanya menerima saja. Kemanapun Jaemin membawanya pergi malam ini, dirinya akan ikut.
Berjalan tanpa arah, mobil Jaemin sudah jauh meninggalkan wilayah kota entah kemana tujuan mereka pergi, pergi jauh dari kota adalah tujuan utamanya.
Renjun tidak tidur, dia terus diam tanpa mengatakan sepatah kata pun dan Jaemin memakluminya.
Tak seberapa lama mereka menepi.
"Kita dimana?" Tanya Renjun.
Jaemin meraih tangan Renjun. "Bukit Bintang, mau keluar?"
Renjun mengangguk. "Boleh?"
"Tentu boleh."
Keduanya pun beranjak keluar mobil untuk melihat pemandangan kota dari ketinggian bukit. Sepi sekali disini, tidak ada rumah di sekitar bukit juga minimnya kendaraan yang berlalu lalang karena malam sudah larut.
"Ini Jogja?"
Jaemin mengangguk. "Iya."
"Kita pergi sejauh ini?"
"Kalau bersamamu, Mas tidak masalah."
Renjun tidak menanggapi. Dirinya kembali memandang hamparan pemandangan kota dari sisi lain yang belum pernah dirinya lihat. Jutaan lampu terlihat indah jika di lihat dari kejauhan.
Terimakasih untuk Jaemin karena Renjun berhasil melupakan masalahnya untuk sesaat.
"Indah?"
Renjun mengangguk. "Indah."
Seindah Renjun dimata Jaemin. Jaemin paham betul jika tidak seharusnya dirinya seperti ini, menerima hanya akan membuatnya terseret lebih dalam ke masalah rumah tangga Renjun dan Jeno.
Jaemin sendiri mulai goyah kala dirinya mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana Jeno sang sahabat karib yang selama ini dekat, memandangnya rendah sebagai orang miskin yang tidak selevel dengannya.
Jaemin tahu kemungkinan Jeno bersikap seperti itu karena dirinya terbawa emosi sesaat. Namun Jaemin pun belum bisa berpikir jernih sekarang.
Sshhh
Jaemin menyadari Renjun sedikit menggigil, mungkin Renjun tidak kuat dinginnya angin malam.
Jaemin pun berinisiatif. "Mau masuk?"
"Nanti dulu."
Greb.
Tanpa pertimbangan, pelukan hangat Jaemin berikan. Jaemin mengetahuinya saat Renjun tersentak sejenak, mungkin terkejut dengan perlakuan nekat Jaemin pada dirinya.
Namun Jaemin bersyukur, Renjun tidak menolak.
"Hangat?"
Renjun mengangguk. "Iya."
Setelah beberapa lama tinggal di luar menikmati suasana malam, Renjun mulai kedinginan.
"Sebaiknya kita masuk, mas."
Jaemin menyetujuinya. "Baik."
Dengan telaten Jaemin membukakan pintu untuk Renjun, dan setelah itu berlari kecil masuk lewat pintu di sebelah kursi pengemudi.
"Sudah hampir pagi." Gumam Renjun.
Jaemin mengangguk. "Sudah mau pulang?"
"Ya."
"Baik, Mas antarkan kamu pulang."
"Aku minta maaf, Mas."
Jaemin yang semula hendak menyalakan mobil pun, urung.
"Tidak papa, Ren." Ujar Jaemin dengan lembut. "Bukan sepenuhya salahmu."
"Jika aku jujur maka semuanya tidak akan seperti ini."
"Jika mas tidak mencintaimu, mas sudah lepaskan kamu dari dulu- karena kamu istri sahabatku." Jawab Jaemin masih mencoba membuat Renjun tidak menyalahkan dirinya sendiri. "Tapi mas tidak mau melepasmu, karena mas nggak mau kamu hidup menderita lagi."
"Mungkin aku yang terlalu berlebihan."
"Tidak Ren. Kamu tidak berlebihan." Jaemin meraih tangan Renjun untuk dia genggam, sebagai usahanya meyakinkan Renjun. "Kamu berhak bahagia, kamu berhak dicintai."
Renjun tersenyum. "Mas terlalu membelaku."
"Dengar, Ren. Dengarkan mas." Dengan kedua tangannya, Jaemin meraih wajah Renjun. "Kamu pantas hidup bahagia, kamu pantas mendapatkan cinta dan Mas bisa berikan itu. Percayalah "
"Mas- sebaiknya kita berpisah."
"REN-"
"Aku nggak mau Mas Jaemin di cap sebagai perusak rumah tanggaku dan Mas Jeno."
"Kenapa mas harus perduli dengan omongan orang?"
"Aku minta kita berpisah- tapi aku minta Mas Jaemin jangan pergi."
Jaemin mengernyit. "Maksudmu?"
"Sementara kita berpisah saja, setelah aku berpisah dengan Mas Jeno mungkin-"
Di tengah percakapan yang sedih, Jaemin excited. "Kamu sudah mantap ingin bercerai?"
Renjun mengangguk. "Ya."
Cup.
Dengan sembrono Jaemin maju dan mengecup kening Renjun.
"Mas!"
"Kita hadapi sama - sama ya?"
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Teman
Fanfiction[JAEMREN] [BL] Bersakit - sakit dahulu, dapat janda anak satu kemudian 🤲🏻 Keluarga empat orang [Jaemin, Renjun, Jisung, Chenle] + Jeno