Renjun berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah yang cepat. Udara masih sejuk dan angin dingin menyapa wajahnya. Ini bukan kebiasaan Renjun untuk berangkat sedemikian pagi, tapi ia tidak punya pilihan.
Saat Renjun melewati gerbang, ia menyadari bahwa ia tidak sendirian. Jaemin sudah berdiri dengan tatapan tajam di depan gedung sekolah. Renjun merasa gemetar dalam kebingungan, tidak tahu apa yang telah dia lakukan hingga Jaemin menyuruhnya berangkat lebih pagi.
Jaemin langsung masuk ke dalam gedung. Sedangkan Renjun, seperti anak ayam yang mengikuti induknya, mengikutinya tanpa berani menyuarakan pertanyaan. Renjun berjalan di belakang Jaemin, merasa tekanan yang semakin berat di setiap langkahnya.
Mereka telah sampai di dalam kelas, tanpa berkata apa-apa, Jaemin mengarahkan Renjun ke tempat duduknya. Keadaan kelas sangat sepi, hanya berisi mereka berdua.
Jaemin membuka tasnya, kemudian menatapnya. "Ini, kerjakan sekarang."
Renjun melirik pada sebuah buku tulis yang terbuka di atas meja. "Apa ini... tugas untuk hari ini?"
"Hm, untuk pelajaran pertama. Ada apa? Jangan bilang kau belum mengerjakannya?!" Jaemin berbicara dengan nada sinis, sedikit mendengus diakhir kalimatnya. Renjun rasanya ingin memukul wajah yang menyebalkan itu.
Apa salahnya dengan lupa? Orang lupa tidak ada obatnya!
Renjun bisa menahan untuk merotasikan bola matanya, namun tidak sengaja menghela napas panjang.
"Si idiot ini, kau baru saja menghela napas di depanku? kau mengeluh?"
"Eh, ti-tidak! Aku hanya..." Renjun tergagap, mencoba menemukan alasan yang tepat ketika menemukan Jaemin mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan tajam yang seperti bekerja secara otomatis untuk 'diseting' seperti itu, mengangkat suasana tegang menyelinap di antara mereka.
"... hanya merasa lelah, aku sempat berlari saat-"
"Aku tidak mau mendengar ceritamu. sekarang kerjakan tugasnya!" Sorot matanya menunjukkan ketidakpedulian. Jaemin mengeluarkan ponselnya setelah duduk di bangku tidak jauh dari Renjun. Pemuda Na itu, menyenderkan badannya pada sandaran kursi.
Renjun kembali pada tugas yang harus ia kerjakan. Ada sepuluh soal cerita, dan sepertinya renjun perlu meninjau ulang buku catatannya untuk mencari cara pengerjaan. Ia sedikit lupa.
"Cepat kerjakan!" desak Jaemin walau pemuda itu tidak melepas pandangannya dari layar yang menyala.
"Aku sedang mencobanya."
Tidak lama kemudian, Renjun terkejut dengan keberadaan Jaemin yang sudah mencondongkan tubuhnya. "Ini salah! Hitung ulang," katanya tajam, menyoroti kesalahan Renjun. Renjun merasa detak jantungnya semakin cepat, gugup memperbaiki kesalahannya "kau harus cari nilai a terlebih dahulu," tambah Jaemin, memberikan petunjuk.
"O-oh, oke."
"Kau hitung yang mana? Masih salah. Ulangi."
Renjun menelan ludah dengan susah payah. Wajah Jaemin sangat dekat sampai Renjun harus memundurkan kepalanya, tapi pemuda tinggi itu tidak segera menyingkir.
"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?" Jaemin mengernyitkan dahi, melihat Renjun yang terlihat bingung.
"Ma-maaf Jaemin, akan aku perbaiki," ucap Renjun sambil berusaha merapikan pemikirannya.
"Ck!" Jaemin membuang wajahnya.
"Se-sejujurnya aku belum paham dengan materi ini," aku Renjun dengan nada rendah.
Lagi-lagi Jaemin mendecih. "Lanjutkan, kau pikir bisa kabur dariku?"
"Bukan begitu maksudku." Renjun menunduk. Dari sudut pandangnya, Jaemin hanya melihat puncak kepala yang tertutup rambut yang halus. Entah kenapa ia menganggapnya sedikit imut.
"Cepatlah, kau ingin membuatku tidak mengumpulkan tugas?"
"Bukankah kau lebih memahami materi ini dibanding aku? Kenapa tidak mengerjakannya sendiri?" Renjun sedikit menggerutu saat mengatakannya.
"Kau bilang apa?!" Jaemin memberinya tatapan tajam.
"Eh, tidak!" Buru-buru Renjun memberikan klarifikasi, menyadari betapa cepatnya situasi bisa memanas. Lalu, tanpa menunggu respon lebih lanjut dari Jaemin, ia kembali fokus pada tugas yang sempat tertunda, berusaha meneruskan pekerjaannya dengan cepat. Meski kesusahan.
"Bodoh! Dua kali tiga itu enam! Perkalian saja tidak bisa, kembalilah ke sekolah Dasar!" Jaemin mengeraskan suaranya, Wajahnya penuh dengan ekspresi kesal dengan alis menyatu. Tatapan matanya menusuk tajam ke arah Renjun, mustahil si mungil tidak menggigil.
"Maaf, aku hanya kurang teliti. Kenapa dia selalu marah-marah sih?" Setelah meminta maaf dengan wajah menyesal, Renjun menggerutu lagi dengan merendahkan suaranya pada kalimat terakhir.
"kau bilang apa?"
"Oh? Aku tidak mengatakan apapun." Renjun merasakan bahwa ekspresi pada raut wajah Jaemin dapat menimbulkan masalah untuknya, jadi ia berusaha menyamarkan emosi dengan senyuman yang dipaksakan.
Mentari semakin naik, sekolah mulai ramai dengan kehadiran siswanya, namun Jaemin belum berhenti memarahi Renjun dan memaki betapa bodohnya dia. Siswa di dalam kelas dibuat heran namun tidak ada yang berani menginterupsi.
"Kumpulkan tugas kalian, dan siapkan selembar kertas. Hari ini kita ulangan." ujar guru pelajaran pertama saat melangkah masuk ke kelas dengan kalimat andalannya. Para siswa mengeluh, tapi patuh mengikuti perintah.
Mendengar kata ulangan, Renjun memutar lehernya kebelakang di tempat jaemin duduk. Tidak mungkin Jaemin tau akan hal ini kan? Dan dia mencoba membuat Renjun paham pada materi sebelumnya. Keajaiban macam apa itu?
'Apa?'
Itulah kata yang terbaca dari gerak bibir Jaemin, ketika melihat Renjun masih menatapnya.
*:..。o○ ○o。..:*
Aku memutuskan untuk merubah aku-kamu menjadi aku-kau.
Aku pikir itu lebih cocok. Untuk chap 1 kemungkinan akan diganti juga, biar sama.Thanks for vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Sekolah dan Targetnya | Jaemren
FanfictionSebuah kisah "Slice of Life" yang mengeksplorasi hubungan antara Na Jaemin, seorang pembully, dan Huang Renjun, targetnya. Disclaimer! Kredit semua tokoh dalam cerita ini milik mereka sendiri dan agensi. Mohon untuk tidak disangkut pautkan cerita in...