Renjun tersentak saat membuka matanya, langsung berhadapan dengan wajah Jaemin yang begitu dekat. Napas hangat Jaemin menerpa wajahnya, membuat Renjun membelalak kaget. Degup jantungnya terasa semakin cepat, dan tubuhnya seolah menegang dalam sepersekian detik.
Refleksnya yang tiba-tiba bangun mengejutkan Jaemin, tapi untungnya Jaemin lebih cepat. Dengan sigap, dia mundur, menghindari benturan yang hampir terjadi di antara dahi mereka. Jaemin tertawa kecil, menikmati ekspresi terkejut Renjun yang begitu lucu di matanya.
"Kenapa kau di sini? Di mana aku?" tanya Renjun sambil menoleh ke sekeliling, matanya menyapu ruangan yang asing. Dinding putih bersih dengan aksen marmer di sudut-sudutnya, serta sofa empuk berbahan kulit berwarna krem tempat ia terbaring. Di seberang, sebuah jendela besar memperlihatkan pemandangan kota, ditutupi tirai putih tipis yang berayun lembut tertiup angin.
"Kau berada di apartemen Mark," jawab Jaemin dengan nada lembut, tangannya merapikan rambut Renjun yang berantakan.
"Mark?" Ingatan Renjun mulai kembali pelan-pelan, mencerna apa yang terjadi sebelum ia pingsan. Dia meraba dahinya yang terasa nyeri, dan mendapati ada benjolan kecil di sana. Renjun meringis, rasa sakitnya masih terasa.
"Kenapa aku dibawa ke apartemen Mark?"
"Kau pingsan dan tempat ini yang paling dekat," Jaemin menjawab dengan tenang. "Jangan khawatir, aku sudah mengoleskan salep di dahimu."
Renjun mengangguk.
“Kau ingat apa yang terjadi sebelum pingsan?” Jaemin bertanya, kali ini dengan tatapan serius, menunggu jawaban dari Renjun.
Renjun balas menatap Jaemin lebih saksama. Saat itu dia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang menodai wajah tampan Jaemin. Ada dua luka lebam—satu di sudut bibir dan satu lagi di bawah mata.
Renjun melupakan pertanyaan Jaemin, tangannya ingin menyentuh wajahnya yang tampak lebam. Namun, sebelum ia sempat mengusapnya, Jaemin menahan tangannya namun tak mau melepaskan.
"Ada yang terjadi dengan wajahmu?" Renjun bertanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Jaemin tersenyum tipis. "Ini hanya luka kecil, tidak apa-apa. "
Sebelum Renjun bisa bertanya lebih jauh, suara lain terdengar dari jauh. "Kau sudah sadar? Kalau begitu cepat pergi dari apartemenku." Mark muncul dari pintu, wajahnya tampak kusut, dan Renjun bisa melihat beberapa lebam di wajahnya, mirip dengan yang dimiliki Jaemin. Apakah mereka habis berkelahi?
Renjun memperhatikan bagaimana Mark terus memegang bagian bawah dadanya, sepertinya ada luka serius disana.
Jaemin berdiri, membuat Renjun mengalihkan perhatiannya dari Mark. "Ayo, ku antar kau pulang. Bisa berdiri?"
Renjun mengiyakan.
Mereka keluar benar-benar mengabaikan Mark yang masih berdiri disana.
Hari ternyata sudah gelap, dan angin malam terasa lembut namun menusuk kulit. Renjun mengerutkan kening, penasaran berapa lama dia sebenarnya tak sadarkan diri. Lampu jalan yang remang-remang membuat bayangan Jaemin tampak lebih panjang di tanah, sosoknya terlihat lebih gagah di bawah cahaya temaram.
Jaemin berjalan ke arah motornya yang terparkir di depan gedung. Suara langkah kaki mereka bergema di antara jalanan yang sepi. Dia mengambil helm dari motor dan menyerahkannya pada Renjun. "Pakai."
Renjun menatap helm itu, lalu beralih menatap Jaemin dengan sedikit ragu. "Bagaimana denganmu? Rasanya aneh kalau aku yang duduk di belakang yang pakai helm."
"Hm..." Jaemin mendengung, pura-pura berpikir. Jaemin tersenyum, matanya berkilat nakal. "Kau mau duduk di depan? Tenang saja, kepalamu tidak akan menghalangi pandanganku."
Renjun mendengus, wajahnya sedikit memerah. Ia memukul ringan lengan Jaemin. "Bukan begitu maksudku!"
Jaemin tertawa kecil, senyumnya tak pernah hilang. "Pegangan yang erat," katanya sambil melirik ke arah Renjun yang sudah duduk dibelakangnya. Tanpa banyak bicara lagi, Renjun menurut. Tangannya dengan gugup mencengkram bagian pinggang Jaemin, merasakan kehangatan yang aneh menjalar di tubuhnya.
"Mendekat lagi," Jaemin menarik pergelangan tangan Renjun agar memeluk perutnya, "bagaimana kalau kau jatuh?"
Renjun dengan cepat menarik kembali tangannya, dia takut Jaemin bisa mendengar detak jantungnya jika terlalu dekat. "Tidak akan jatuh," katanya gugup.
Jaemin tak ingin berhenti menggoda, berkata dengan senyum jahil. "Bagaimana kalau kau terbang terbawa angin?"
Renjun mendesah sebal, merasa seluruh tubuhnya memanas. "Aku tidak seringan itu! Dasar menyebalkan!" Pukulan ringan di bahu Jaemin kali ini hanya membuat cowok itu tertawa lebih keras.
"Ringan seperti kertas," Jaemin menambah ejekannya, masih tersenyum lebar.
Renjun menggeram. "Cepat jalan saja, kenapa kau suka sekali memancing emosiku!"
"Kenapa marah-marah terus? Bilang saja kalau lapar," jawab Jaemin santai, suaranya sedikit menggoda, sambil memulai laju motornya.
Renjun menggenggam erat bagian pinggang Jaemin, jantungnya kembali berdegup kencang. Rasa nyaman mulai menggantikan kegugupannya. Mereka melaju di jalanan yang sepi, diiringi angin malam yang menerpa wajah Renjun dengan lembut.
Mereka tidak menyadari, dari jendela apartemennya, Mark Lee diam-diam mengawasi mereka berdua. Mata Mark menyipit, tatapannya sulit terbaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Sekolah dan Targetnya | Jaemren
FanfikceSebuah kisah "Slice of Life" yang mengeksplorasi hubungan antara Na Jaemin, seorang pembully, dan Huang Renjun, targetnya. Disclaimer! Kredit semua tokoh dalam cerita ini milik mereka sendiri dan agensi. Mohon untuk tidak disangkut pautkan cerita in...