Penantian

653 83 10
                                    

Ketika Renjun kembali, suasana terasa berbeda. Dia melihat Min Jeong berbicara sambil tertawa, sedangkan Jaemin tampak mendengarkan dengan seksama.

Tanpa banyak berpikir, Renjun menarik kursi dengan kasar, suara logam yang bergesek dengan lantai membuat mereka berdua terkejut. Tatapan yang dilemparkan keduanya membuat Renjun merasa tidak enak, "Maaf, aku tidak sengaja menarik kursi terlalu keras."

"Tidak apa-apa. Duduklah lagi,” sahut Jaemin dengan senyuman yang tampak tulus. “Bagaimana dengan celanamu?”

Renjun mendesah, merasakan kembali emosi yang terpendam. “Basah kuyup—”

“Ah, ayahku tidak bisa menjemputku!” Min Jeong tiba-tiba menyela, menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan room chat dari ayahnya. “Dia ada urusan mendadak,” dia menderkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan lesu.

“Bagaimana ini?” Min Jeong menghadap Jaemin, matanya berbinar penuh harapan. “Bolehkah aku pulang denganmu? Kau tidak berniat pergi lagi setelah ini kan? Rumah kita bersebelahan, bisakah kau membawaku sekalian?”

"Sayangnya aku tidak membawa mobil dan motor tidak diperbolehkan memuat lebih dari dua orang."

"Lalu, aku bagaimana?” Min Jeong masih belum menyerah, suaranya berubah seperti rengekan.

“Biar ku pesankan taksi online,” Jaemin mencoba menawarkan solusi.

“Sebenarnya, aku tidak berani menggunakan taksi online di malam hari sendirian. Akhir-akhir ini banyak terjadi pelecehan seksual. Renjun juga mendengar berita itu kan?” Min Jeong melirik Renjun, seolah meminta dukungan.

“Eh?” Renjun terkejut mendengar namanya disebut. Mungkin Jaemin sudah memberitahu namanya saat dia di toilet tadi. “Ya, itu sering disiarkan di televisi,” jawabnya sambil merasa sedikit canggung.

"Hampir semua korbannya adalah wanita. Itu benar-benar menakutkan. Bukankah tidak ada salahnya mengantisipasi?” Min Jeong melanjutkan, nada suaranya menyiratkan kekhawatiran yang berlebihan.

“Kalau begitu, pulanglah dengan Jaemin. Aku bisa menggunakan taksi,” Renjun menawarkan, berusaha menahan ketidaksabarannya. Dia memilih untuk mengalah, itu lebih baik daripada terus mendengar rengekan yang menyakitkan telinga.

Min Jeong berbinar senang. “Benarkah? Terima ka—”

“Taksinya sudah sampai, ayo aku antar kau ke depan.” Jaemin tiba-tiba berdiri, menarik tangan Min Jeong agar berdiri.

“Kau tidak dengar, bukan aku yang akan naik taksi!” protes Min Jeong, terlihat kesal.

"Aku tidak bilang setuju dengan rencana itu," kata Jaemin setelah berhasil membuat Min Jeong berdiri, "Renjun, tunggu sebentar disini," pintanya sebelum berjalan menjauh.

Renjun menutup mulutnya, tidak ingin orang-orang tau bahwa dia tersenyum sangat lebar. Rasanya aneh, jantungnya bertingkah lagi, berdebar lebih menggebu dari biasanya. Ada apa dengannya? Kenapa dia merasa sangat senang dengan apa yang dilakukan Jaemin?

Namun, kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Waktu terasa berjalan lambat, dan Jaemin tampak menghilang dalam keheningan malam. Sudah hampir dua puluh menit sejak mereka pergi, dan Renjun mulai meragukan apakah Jaemin benar-benar akan kembali. “Apakah dia sedang mengantar Min Jeong pulang?” pikirnya, merasa sedikit cemas. “Kenapa tidak segera kembali? Sebenarnya, apa yang sedang mereka lakukan?”

Perasaan marah mulai merayap pelan ke dalam hatinya, menyesakkan dada seiring waktu yang terus berjalan tanpa kepastian. Tubuhnya semakin terasa lelah, setiap otot seolah menuntut istirahat. Dia hanya ingin segera pulang, mandi, dan menanggalkan celana yang lengket dan tidak nyaman ini! Pikiran tentang kasur empuk yang sudah menunggunya semakin menggoda—tempat di mana dia bisa melepaskan semua keletihan dan kekesalan hari ini.

Preman Sekolah dan Targetnya | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang