Setelah beberapa menit berkendara, Jaemin tiba-tiba mengarahkan motornya ke sebuah tempat makan cepat saji yang masih cukup ramai meski sudah malam. Lampu-lampu terang dari logo restoran menyinari jalanan, menarik perhatian Renjun yang duduk di belakangnya. Dia sedikit mengerutkan dahi, heran kenapa Jaemin berhenti di sini.
"Kenapa kita berhenti di sini?" tanya Renjun, meski firasatnya sudah mulai menebak apa yang akan Jaemin katakan.
Jaemin menoleh ke belakang, menatap Renjun sambil tersenyum lebar. "Aku kan bilang, mungkin kau lapar," jawabnya santai sambil mematikan mesin motor.
Renjun mendengus, "Aku tidak lapar," sahutnya cepat, meski suara perutnya yang kecil namun jelas, mengkhianati ucapannya. Wajah Renjun langsung memerah.
Jaemin tertawa kecil, "Jadi suara itu apa? Suara angin?" sindirnya sambil turun dari motor.
Mereka berjalan masuk ke dalam restoran yang cukup ramai, dipenuhi dengan aroma kentang dan ayam goreng yang menguar dari dapur. Jaemin memilih tempat duduk di pojok, yang agak jauh dari keramaian. Renjun duduk di seberangnya, berusaha menjaga wajahnya tetap netral, meski sesekali matanya melirik Jaemin, menyadari bahwa ia merasa lebih nyaman berada di dekatnya.
"Aku yang pesan, kau tunggu di sini," kata Jaemin sambil beranjak menuju counter, tanpa menunggu jawaban dari Renjun.
Renjun mengamati Jaemin dari kejauhan. Meskipun sikapnya terkesan seenaknya, ada sisi lembut yang tidak bisa diabaikan. Jaemin selalu tahu bagaimana membuat Renjun merasa nyaman, meski dengan caranya yang usil. Renjun menghela napas, menyadari debaran aneh yang semakin kuat setiap kali dia berada di dekat Jaemin. Ini bukan sekadar karena perhatian yang Jaemin tunjukkan, tapi sesuatu yang lebih dalam yang mulai dia rasakan namun belum berani diakui.
Tak lama kemudian, Jaemin kembali dengan nampan berisi dua porsi ayam goreng krispi, tiga jenis burger, kentang goreng besar, dan dua gelas soda bergelembung.
"Kau pesan banyak sekali!" Renjun memprotes, melihat makanan yang tampak berlebihan.
"Ayo, makan dulu. Setelah itu, baru kau boleh marah-marah lagi," sahut Jaemin sambil tertawa kecil.
Renjun mendengus, tapi dia mengambil sepotong ayam dan mulai makan.
Tiba-tiba, seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan gaya kasual muncul di depan meja mereka. Renjun menghentikan aktivitasnya dan menatap gadis tersebut, merasa sedikit terkejut.
"Jaemin?" suara gadis itu terdengar akrab, lembut, dan penuh kehangatan. "Aku tidak menyangka kau disini."
Jaemin menoleh ketika namanya dipanggil. "Min Jeong? Tumben sekali kau keluar di malam hari?"
"Aku baru saja menyelesaikan tugas di rumah teman. Tapi aku lapar..." Min Jeong melirik meja penuh makanan. "Kalian memesan sebanyak ini untuk berdua saja?"
"Hei, sedikit sopanlah, ada temanku disini." Kata Jaemin memperingatkan.
Min Jeong mendengus kecil, tapi tetap tersenyum. "Aku hanya bertanya. Memangnya kalian sanggup menghabiskan semuanya?" Tatapannya bergantian dari Jaemin ke Renjun, dan berhenti lebih lama di Renjun, memperhatikannya dalam diam.
Renjun tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah meskipun merasa canggung. "Kalau kau mau, ambil saja. Lagi pula, ini semua dipesan oleh Jaemin."
"Baiklah, aku ambil yang ini," kata Min Jeong, tanpa ragu mengambil salah satu burger yang belum tersentuh. Namun, dalam gerakan cepat itu, lengannya tanpa sengaja menyenggol cup soda di meja. Cairan dingin segera mengalir tumpah, membasahi celana Renjun.
Mata Renjun membelalak kaget, sementara Min Jeong menutup mulutnya, menahan tawa yang sulit disembunyikan. "Aduh... maaf, aku tidak sengaja!"
"Astaga," Jaemin buru-buru bangkit dari tempat duduknya, ekspresi santainya langsung berubah menjadi cemas. "Kau tidak apa-apa?"
Renjun hanya tersenyum tipis, mengangkat tangannya seolah tak mau membuat situasi jadi lebih besar dari yang seharusnya. "Santai saja, ini cuma soda. Aku ke kamar mandi sebentar untuk membilasnya, aku akan kembali lagi."
Min Jeong menatapnya dengan raut bersalah, namun Renjun bisa menangkap sekilas rasa geli yang berusaha disembunyikan di balik senyum tipisnya. "Maaf ya, aku benar-benar tidak sengaja," katanya dengan nada setengah menahan tawa.
Renjun hanya menggeleng pelan, senyum ramahnya masih tergambar meski sedikit terpaksa. "Tidak apa-apa, santai saja," balasnya dengan tenang. Dia berdiri perlahan, mengambil napas dalam untuk menenangkan diri, lalu melangkah menuju kamar mandi.
●○●○●○●○
Renjun menatap bayangannya di cermin besar dengan napas berat. Dia merasakan kain celananya yang basah menempel dingin di kulit, dan sisa soda membuatnya lengket. Rasa marah mendidih di dalam dirinya, tapi dia tak bisa menunjukkannya tadi—tidak di depan Min Jeong, dan terutama tidak di depan Jaemin. Dia hanya bisa menekan amarah itu dalam-dalam.
"Kenapa ini terjadi padaku?" gumamnya pelan sambil menggosok celana yang basah. Dia ingat tawa kecil yang hampir keluar dari Min Jeong saat dia meminta maaf. Itu bukan sepenuhnya kesalahan gadis itu, tapi Renjun tak bisa menahan rasa kesal yang meluap. Ini seperti tamparan kecil yang tak boleh dia balas.
Dia mengusap wajahnya, merasa lelah. Bukan hanya karena insiden tadi, tapi juga karena perutnya yang masih keroncongan. Saat pertama kali duduk, dia benar-benar lapar dan menantikan makanan yang sudah terhidang. Namun sekarang, keinginannya untuk makan telah hilang begitu saja.
Renjun menatap bayangannya sekali lagi, lalu membasuh tangannya di bawah air mengalir. "Sudahlah, lupakan saja," katanya pada dirinya sendiri, mencoba menghilangkan rasa kesal yang menggerogoti. Tapi dia tahu, ketika kembali ke meja, dia tak akan bisa menikmati makanan itu lagi. Suasana hatinya sudah terlalu kacau.
●○●○●○●○
Nih double up
Inikan yang kalian mauuu
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Sekolah dan Targetnya | Jaemren
फैनफिक्शनSebuah kisah "Slice of Life" yang mengeksplorasi hubungan antara Na Jaemin, seorang pembully, dan Huang Renjun, targetnya. Disclaimer! Kredit semua tokoh dalam cerita ini milik mereka sendiri dan agensi. Mohon untuk tidak disangkut pautkan cerita in...