Guru Kang baru keluar dari kelas, buru-buru Renjun menghampiri Jaemin. "Jaemin, Jaemin, kau piket hari ini kan, tolong hapus papan tulisnya," kata Renjun sambil menunjuk ke papan tulis yang penuh dengan tulisan.
Jaemin memandang Renjun lama, sedikit curiga dengan apa yang dia lakukan. Sebelumnya Renjun tidak pernah mengurusi jadwal piket Jaemin. "Sudah ada yang menghapusnya." katanya sambil menunjuk seseorang yang berdiri didepan dengan dagunya.
Renjun menggeleng pelan, menunjuk ke bagian atas papan tulis yang masih penuh dengan tinta spidol. "Lihat, Wonyoung tidak bisa menggapai bagian atas. Harus kau yang melakukannya."
Jaemin menghela napas, lalu menatap ke depan kelas di mana Wonyoung sama sekali tidak berusaha menggapai bagian atas. Wanita itu sengaja menyisakan bagian untuk Jaemin kerjakan.
Tanpa menjawab apapun, Jaemin berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan kelas. Langkahnya cepat, namun ada sedikit keengganan di wajahnya. Sesampainya di depan, dia meraih penghapus satu lagi dengan gerakan cepat.
Wonyoung menoleh, tersenyum cerah padanya, "Terima kasih, Jaemin."
Jaemin mengabaikannya, lalu mulai menghapus papan tulis dengan gerakan yang tegas dan efisien.
Renjun mengamati interaksi tersebut dengan senyum tipis. Dalam hatinya, dia merasa bahwa mereka terlihat cocok bersama, meskipun ada rasa nyeri yang tak terduga di sudut hatinya.
Saat Jaemin sejajar dengan Wonyoung, Renjun diam-diam menyenggol Jaemin agar bahu mereka saling bertabrakan. "Maaf, aku terpleset tadi," ujarnya dengan senyum lebar, menaik turunkan alisnya.
💢
Jaemin melirik Renjun dengan tatapan dingin, bibirnya menipis, namun tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya melanjutkan tugasnya, menghapus sisa coretan tinta dengan gerakan yang lebih kuat.
*:..。o○ ○o。..:*
Bel istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Selama itu juga Renjun terus menatap pintu masuk kantin, mengabaikan Jaemin yang duduk di depannya. Di atas meja, nampak dua piring nasi goreng yang setengah termakan, tetapi perhatian Renjun sepenuhnya tertuju pada pintu masuk kantin.
Jaemin mengangkat alisnya sambil memandang Renjun yang tampak gelisah. "Aku takut makananmu masuk ke hidungmu," sindirnya, mencoba menarik perhatian Renjun kembali ke makanan mereka.
Renjun tersenyum samar, tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu. "Tidak akan," jawabnya singkat.
Tiba-tiba Wonyoung memasuki kantin dengan langkah ringan. Renjun segera melambai dengan antusias. "Wonyoung, ke sini, ayo makan bersama."
Wonyoung melihat ke arah mereka, ragu sejenak sebelum akhirnya berjalan mendekat. "Apakah boleh aku bergabung?" tanyanya dengan suara lembut, matanya melirik Jaemin yang duduk dengan ekspresi datar.
"Tentu saja," jawab Renjun dengan penuh semangat, menarik kursi menggunakan kakinya agar Wonyoung bisa duduk diantara mereka.
Ketika Wonyoung duduk, Renjun tiba-tiba berdiri. "Aku harus ke kamar mandi. Aku duluan," katanya sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Wonyoung, memberi isyarat yang tak terlalu halus bahwa dia bermaksud memberikan mereka waktu berdua.
Jaemin mengamati gerakan Renjun dengan tatapan tajam, rahangnya mengeras. Setelah Renjun pergi, Jaemin membanting sendok yang dia gunakan ke piring dengan suara keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh.
Wonyoung tersentak sedikit, namun mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan. "Jaemin, apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya pelan, sedikit cemas melihat reaksi Jaemin.
Jaemin menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak menunjukkan lebih banyak kemarahan. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat, meskipun nada suaranya terdengar kaku dan tidak ramah.
Jaemin menyusul Renjun ke kamar mandi. Langkahnya lebar agar bisa segera menangkap mangsanya, dan begitu menemukannya, dia segera menyudutkan Renjun ke wastafel. Mengurung tubuh kecilnya, cukup dengan kedua tangan. Renjun tampak sangat terkejut apalagi melihat ekspresi Jaemin yang penuh dengan kemarahan.
"Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?" Jaemin bertanya dengan suara rendah namun penuh intensitas.
Renjun mencoba tetap tenang, meskipun jantungnya berdetak sangat kencang. "Apa maksudmu?" jawabnya.
Jaemin mendekatkan wajahnya ke Renjun, matanya menatap tajam. "Apa kau sedang menjodohkanku dengan Wonyoung?"
Renjun mengangguk, namun tidak berani menatap langsung, "Iya! Karena kau sangat lambat dalam bergerak, aku berniat membantumu sampai kalian jadian."
Jaemin menggeram, suaranya penuh dengan frustrasi. "Aku tidak butuh bantuanmu."
Mendengar itu, tanpa sadar Renjun menatap Jaemin dengan bingung. "Kenapa?"
"Bodoh, berhenti melakukan itu mulai sekarang," kata Jaemin dengan nada suara yang lebih lembut. Dia menarik napas dalam-dalam, hampir tergoda dengan keimutan wajah bingung itu.
"Oh, apa kau akan berinisiatif sendiri sekarang?" Renjun bertanya riang.
Jaemin menggeleng, menghela napas panjang (lagi). "Berhentilah untuk menjadi lebih bodoh lagi," keluhnya dengan nada lelah. Dia melepaskan Renjun dan berbalik, berjalan menuju pintu keluar.
*:..。o○ ○o。..:*
Sampai sini, bagaimana menurut pendapat kalian?
Kalau ada yang ingin memberikan saran, dipersilahkan ya
Tapi aku nggak janji sih bakal aku turutin hehe
Aku masih ada draf untuk 3 chapter, tapi belum menemukan inspirasi lagi buat chapter selanjutnya
.
Aku kepengen cepet-cepet namatin buku ini agar bisa ngelanjutin yang lain
.
Oh kalau misalnya aku buat special chapter untuk buku ini ada yang tertarik nggk ya? Soalnya bakal aku upload di karyakarsa hehe
.
Oke segitu aja dari aku, terimakasih sudah vote dan komen, aku seneng tiap dapet notif dari kalian tau!Bye..
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Sekolah dan Targetnya | Jaemren
FanficSebuah kisah "Slice of Life" yang mengeksplorasi hubungan antara Na Jaemin, seorang pembully, dan Huang Renjun, targetnya. Disclaimer! Kredit semua tokoh dalam cerita ini milik mereka sendiri dan agensi. Mohon untuk tidak disangkut pautkan cerita in...