panggilan

851 88 4
                                    

Chapter 20. Panggilan

Hati-hati typo bertebaran

Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Rendy menutup pintu di belakangnya tanpa tenaga, berjalan menuju sofa sebelum menjatuhkan tubuhnya yang merasa lelah di sofa itu. Rendy mencoba mengatur nafasnya sepelan mungkin untuk meredakan emosi yang sedari tadi dirinya tahan tapi dia tidak bisa.

Rendi dengan putus asa merampas vas bunga yang tidak berdosa di atas meja di depannya sebelum membantingnya ke lantai.

"Brengsek!!" Tangannya yang gemetar mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

Dia menangis di rumah sakit dan sekarang menangis lagi ketika dia sendiri. Dia bukan orang yang cengeng, bahkan saat kedua orang tuanya bercerai saat dirinya masih membutuhkan keluarga yang utuh dia sama sekali tidak menangis. Tapi kali ini dia bingung.

Tangan yang menutup wajahnya jatuh di kedua sisi tubuhnya, matanya yang memerah karena menangis menatap ruang kosong di depannya tanpa kehidupan.

***

Tangan pemuda itu hendak membuka taksi yang dia pesan saat tiba-tiba saja telepon di sakunya berdering. Alis Jeno terangkat heran saat melihat orang di panggilan itu.

Mengedikkan bahu Jeno tanpa curiga mengangkat panggilan itu dan berbicara.

"Hal-"

"Pulang!"

Tut...Tut...

Mulutnya masih ternganga saat suara panggilan terputus terdengar. Jeno kemudian sadar dan memandang layar ponselnya dengan bingung.

"Kok asem yah!"gumamnya dengan senyum masam. Jeno memasukan kembali ponselnya dan memberikan alamat rumah orang tuanya kepada supir taksi. Padahal dia berencana untuk langsung pulang ke apartemen hari ini juga. Dia masih khawatir dengan Rendy, takut pemuda itu melakukan hal-hal nekat karena terlalu kalut.

Tapi panggilan ayahnya juga lebih penting, siapa tau dia mau di kasih hadiah karena udah berhasil kasih ayahnya cucu di usianya yang masih muda.

Jangan heran kenapa dia bisa menebak seperti ini, dia sudah tahu sifat bundanya. Berita sebesar ini tidak mungkin bertahan lama di mulut bundanya, pasti sang bunda sudah memberitahu sang ayah dan itulah mengapa sang ayah menelepon nya tidak lama kemudian.

Hanya saja Jeno tidak tahu bahwa hadiah yang akan di berikan ayahnya tidak seindah ekspektasi nya. Btw ekspetasi Jeno adalah di belikan mobil baru oleh ayahnya, hehe.

Jeno turun dari mobil setelah memberikan uang kepada supir taksi. Dia menyapa satpam yang membukakan pintu gerbang sebelum melenggang masuk ke rumah masa kecilnya.

Meskipun bundanya adalah seorang dokter yang sangat sibuk, tapi soal hobi sang bunda tidak pernah melupakannya. Lihat saja pekarangan rumah yang lebih terlihat seperti hutan kecil karena tangan ajaib bundanya. Bukan hanya bunga yang ada di sana tapi juga pohon yang dimana di dominasi oleh pohon buah-buahan yang tumbuh subur.

Saat melintasi pekarangan Jeno tidak bisa menahan tangannya dan memetik buah anggur yang kebetulan sedang berbuah dan memasukannya ke dalam mulut. Rasa asam dan manis memenuhi mulutnya membuat Jeno tidak tahan tubuh memejamkan mata.

"Enak juga"gumamnya. Lalu dia memetik beberapa buah lagi dan melanjutkan langkahnya.

Jeno memasuki rumah dengan santai lalu tiba-tiba berteriak dengan kencang tanpa dosa.

"Jeno pulang!!! Ayah!! Mana nih hadiahnya"tagih Jeno dengan santainya dan juga tidak sadar dirinya.

Tidak menyadari bahwa di sofa ayahnya sudah duduk dengan tangan terlipat di dada dan juga raut wajahnya yang terlihat serius.

For Our Baby 🔞 | NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang