BAB 10 KEMBALI CANGGUNG (1)

294 4 1
                                    

MILLA POV

"Aku belum bisa, karena lagi mens," ucapku dengan penuh keraguan.

Mas Rio terdiam dengan pengakuanku itu. Dia terlihat ragu dan sedikit malu. Dengan perlahan dia turun dari ranjang tanpa mau melihat kearahku. Lalu dia begitu saja pergi keluar kamar sambil membanting pintu.

"Duh ... marah nih pasti," ucapku masih dalam posisi terbaring.

Sampai menjelang pagi pun, tidak ada tanda-tanda mas Rio kembali ke kamar. Aku semakin khawatir, tapi mau bagaimana lagi. Aku bukannya tidak mau, tapi memang sedang menstruasi. Ini pun sebenarnya hari-hari akhir, jadi besok pun sudah bisa berhubungan. Tapi masalahnya mas Rio meminta di waktu yang tidak tepat.

Aku tidak bisa melanjutkan tidurku lagi, seharusnya aku mendatangi mas Rio. Tapi aku malu kalau membahasnya. Aku bahkan tidak tau apa yang harus aku lakukan kalau bertemu dengannya. Jadi aku hanya bisa mondar-mandir di kamar dengan gelisah.

Sinar matahari mulai terbit, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Terlihat mas Rio masuk dengan rambut acak-acakan. Aku merasa bersalah padanya. Suasana begitu canggung, bahkan aku tidak bisa menyapanya dengan benar. Dia berjalan melewatiku begitu saja. Dia pergi ke kamar mandi dan terdengar suara air mengalir.

"Huh ... baru juga pulang, udah ada masalah lagi," gumamku kesal.

Sampai selesai mandi pun, mas Rio masih mengabaikanku. Aku harus bagaimana?. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku mengecewakan suamiku sendiri. Aku benar-benar bingung.

Dia bersiap-siap dan pergi begitu saja ke kantor tanpa menyapaku dan tanpa sarapan. Seperti dia bergegas pergi agar bisa menjauh dariku. Aku terdiam di meja makan.

"Mbak Milla gak sarapan? Tadi mas Rio juga gak sarapan," tanya Neneng, salah satu pelayan di sini.

"Eh, iya sarapan kok. Aku boleh minta tolong gak mbak? Mau rotinya beberapa dimasukin ke kotak makan. Aku mau bawa ke kantor soalnya," pintaku pada Neneng yang langsung mengiyakan permintaanku.

Setelah itu aku pergi ke kantor. Aku masih memikirkan cara agar mas Rio tidak marah lagi padaku. Aku harus bisa bersikap dewasa dan berdiskusi dengan suamiku sendiri. Aku tidak boleh selalu menghindar jika ada masalah.

Sesampainya di kantor, aku langsung bergegas pergi ke ruangannya mas Rio. Aku membawa beberapa roti yang aku bawa dari Penthouse. Aku sempat bertanya pada pak Wisnu untuk memastikan apakah mas Rio sudah sarapan atau belum. Tapi kata pak Wisnu, mas Rio belum makan sejak sampai ke kantor.

Aku mengetuk pintu ruang kerjanya. Setelah beberapa saat, aku mendengar suaranya.

"Masuk!" perintahnya.

Aku langsung membuka pintu dengan pelan dan mengintip sedikit untuk memastikan bagaimana raut wajahnya. Dia terlihat sedang sangat fokus pada berkas-berkasnya.

Aku dengan perlahan masuk, agar tidak berisik. Lalu aku berjalan ke depannya. Dia sama sekali tidak mau melihat kearahku. Aku gugup sekali, tetapi aku mencoba untuk berbicara padanya.

"Mas ... kenapa gak sarapan?" tanyaku gugup. Tapi dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

Aku menghela nafas berat, lalu memindahkan sebuah kursi ke samping kursinya. Lalu aku duduk di sebelahnya. Tapi dia masih terus mengabaikanku. Aku mencoba mengganggunya dengan terus melihat kearahnya dari jarak dekat agar mendapatkan perhatian darinya.

Sampai akhirnya dia terlihat kesal dan akhirnya melihat kearahku.

"Kenapa? kamu gak liat saya sedang kerja? Jangan ganggu saya!" ujarnya ketus.

Aku tentu saja kesal mendengar itu, tapi aku akan terus mencobanya. Aku akan terus mengganggunya. Bodo amat mau marah juga, daripada ngambek terus.

"Mas ... Masih marah ya?" tanyaku sambil memijat lembut tangannya.

"Siapa yang marah? Saya gak marah, saya lagi sibuk!" jawabnya ketus.

"Kalau gak marah, kenapa jawabnya ketus banget?" tanyaku masih memijat tangannya.

"Karena saya lagi sibuk! Udah sana balik ke ruang kerja kamu. Kamu gak kerja emangnya? Udah sana!" ucapnya masih dengan nada ketus.

Aku mengerucutkan bibirku kesal. Aku tau dia marah, tapi kan ini bukan salahku juga. Jadi karena kesal aku keluar dari ruang kerjanya sambil bersungut-sungut.

Sesampainya di ruang kerja, Alda langsung menatap heran padaku.

"Masih pagi udah kusut aja tuh muka," ledek Alda.

"Bodo ah!" jawabku dengan nada kesal.

"Darimana lu? Baru sampai gak pakai nyapa gak pakai apa langsung cabut lagi," tanya Alda penasaran.

"Dari tempat boss besar. Orangnya ngambek, bete banget gua," jawabku kesal.

"Hah? Ngambek? Baru juga ketemu udah ada acara ngambek aja," ledek Alda

"Iya tau tuh, udah gua coba bujuk. Eh malah marah-marah, kan bete gua," gerutuku masih sangat kesal. Alda mencoba menenangkanku yang masih sibuk mengomel.

Lalu setelah itu Bu Ayu memanggilku. Seperti biasa, bu Ayu memintaku untuk mengantarkan berkas dan tanda tangan mas Rio. Sebenarnya aku malas harus kembali ke ruang kerjanya, tapi mau bagaimana lagi, bu Ayu mempercayakan tugas ini padaku. Awalnya bingung, kenapa bu Ayu begitu mempercayaiku untuk mengantar berkas-berkas padahal aku hanya mahasiswi magang. Tapi aku tidak memusingkannya lagi.

Aku kembali ke ruang kerja mas Rio. Sepertinya dia sudah makan roti pemberianku tadi. Karena isi kotaknya sudah kosong. Atau jangan-jangan dia buang?. Tidak, aku harus berpikiran positif.

Aku menyerahkan beberapa berkas yang harus ditandatangani olehnya. Kali ini aku tidak banyak berbicara, dia pun hanya fokus pada berkas-berkasnya.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu masuk. Ternyata mas Leo kembali mampir ke kantor mas Rio. Tapi kali ini tampilannya begitu kusut. Ada apa dengannya?

MY FIRST AND LAST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang