Chapter - 21

61 5 3
                                    

Gia Pov special resepsi pernikahan jawa

Baiklah pagi ini selepas sholat subuh, aku dan ibu pergi ke rumah bu de ku, yang tidak lain adalah kakak dari ibuku. Kami sudah mengantri merias sepagi ini, karna rencananya kami semua akan dirias dengan riasan yang sama. Jangan tanyakan pengantin, karna pengantin sudah dirias mulai dari jam 3 dini hari tadi. Pagi sekali kan? Begitulah adat kami. Katanya kalau tidak begitu, tidak akan selesai tepat waktu semuanya. Maklumlah keluarga kami ini adalah keluarga besar sekali.

Dari malam mas William itu didominasi oleh bapak. Yup, dia lebih mirip kalau disebut anak bapak dibandingkan dengan aku yang anak kandungnya. Tapi aku senang, mas William rajin sekali ke musholla saat di Solo. Semenjak dia mualaf untuk menikahiku, tidak pernah aku lihat dia sholat selama di Bali. Kadang aku juga meragukan kemampuannya sholat.

"Aku dulu sekolah di sekolah dasar negeri waktu di Bali Gia. Di sana diajarkan tata cara sholat, dikasih buku bahan belajar tentang agama islam. Aku juga belajar agama hindu, bisa juga aku sembahyang seperti mereka."

Pikiranku menerawang mengingat jawaban mas William semalam. Senyumku tersungging sedikit, aku melupakan kalau William itu adalah laki laki yang cerdas, dia bahkan bisa mengendalikan perusahaan yang super besar, jadi seharusnya aku juga tidak heran kalau dia masih mengingat pelajaran sewaktu sekolah dasar.

"Gia, kapan kamu sampai nak?" tanya bu lek ku, adik dari mamaku yang paling bungsu. Jadi mamaku ini tujuh bersaudara, mamaku anak nomor tiga.

"Kemarin sore Bu lik," jawabku sambil ku cium tangan beliau.

"Oalah, pantasan kemarin nda lihat kamu pas acara siraman dan midodareni."

"Iya, soalnya mas William masih ada kerjaan jadi nda bisa kita berangkat duluan," jawabku. Bu lik ku yang satu ini tergolong orang yang julid. Bagaimana tidak? dulu saja aku sempat jadi bahan pembicaraannya gara-gara aku belum menikah sedangkan anaknya saja yang masih berusia dua puluh satu tahun sudah menikah. Semoga saja sudah tobat deh, lagian kan aku juga sudah menikah. Bebas dari bahannya bergosip seharusnya.

"Masa sepupu sendiri menikah nda diluangkan waktunya, harusnya bisa datang kemarin kemarin loh," ucapnya lagi sambil duduk di kursi sebelahku yang sedang kosong.

"Ya gimana, Gia kan istri jadi harus menurut sama suami," jawabku seakan aku adalah wanita paling taat pada suami. Pintar juga ini otakku kadang-kadang.

"Eh, gimana sudah isi atau belum?" tanya nya santai sekali.

Duarrr. Berasa ada petir di atas kepalaku. Kupikir sudah tobat ternyata salah permirsa.

"Belum," jawabku singkat. Kali ini aku bingung merangkai kata. Bagaimana mau hamil, melakukan hubungan suami istri saja belum pernah.

"Harus diperiksakan ke dokter itu. Jangan sampai kamu atau suami kamu ada masalah atau sakit apa kita kan tidak tau. Supaya cepat ditangani. Kalau sampai parah sakitnya gimana? takutnya nanti bertahun-tahun menunggu ga hamil-hamil juga. Mau berobat sudah terlambat. Dulu nonik saja sebulan sudah langsung hamil," nasehatnya padaku yang lagi lagi membandingkan dengan anaknya.

"Ya allah bu lik, kita berdoa saja yang baik, insyallah Gia dan suami baik-baik saja, hanya saja belum dipercaya untuk diberi momongan," jawabku yang sebenarnya agak tersinggung dengan ucapannya. Tapi tidak mungkin aku mengumpati bu lik ku sendiri, adanya hanya istighfar dalam hatiku.

"Mbak Gia ayok maju sini!" perintah tukang rias kepadaku.

Yaallah terimakasih, akhirnya terbebas dari bu lik ku dan pertanyaan ajaib nya.

***

Setelah sekitar satu jam aku dirias dan berganti baju sesuai dresscode kebaya berwarna hijau sage, aku bergegas mencari suamiku. Aku harus pastikan dia sarapan. Ibu dan bapakku sudah berdiri berjejer untuk menyambut tamu yang datang.

William hari ini akan menggunakan baju beskap warna hitam, sama seperti keluargaku yang lain.

"Mas," aku panggil suamiku, dia masih memakai beskap yang dipakaikan oleh juru rias.

"Apa?" jawabnya namun tidak melihat ke arahku. Dia memperhatikan juru rias hang sedang melilitkan stagen.

Masyaallah gantengnya suamiku ini. Kelihat sekali kharismanya.

"Kenapa Gia?" tanya nya lagi karna aku masih melongo menyaksikan keindahan tuhan satu ini.

"Iya aku mau ajak sarapan," jawabku.

"Tunggu, sedikit lagi selesai."

Untunglah mas William bukan orang yang rewel saat acara keluarga seperti ini. Mungkin dia juga menyesuaikan dengan situasi. Dia akan makan apapun makanan yang disajikan. Padahal aku juga sudah minta tolong sepupuku misalnya mas William mau minta sesuatu yang tidak ada disini, maka dia siap mencarikan.

***
Tak lama setelah sarapan, kami menghampiri seluruh keluarga yang sudah bersiap di depan rumah untuk mengiring pengantin.

Kami memang terlambat sarapan, seharusnya tadi sebelum dirias sarapan dulu.

Aku melingkarkan tanganku pada tangan mas William yang berjalan di samping kananku. Aku melihat orang orang sekitar seolah menatap ke arah kami. Maklumlah mas William memang bukan orang pribumi, jadi mungkin mereka melihat sesuatu yang langka. Dan juga bukannya aku sombong atau bagaimana, tapi memang postur tubuhku juga bisa dibilang paling tinggi diantara semua saudara sepupuku. Jadi fix kami adalah pasangan paling mencolok di resepsi kali ini.

"Gia, nanti kamu dan suami yang mendampingi pengantin saat temu manten ya!" perintah bu de ku.

"Siap bu de," jawabku.

Mata Mas William menelisik ke arah sekitar. Aku tidak tau apa yang dia cari. Dia lantas pergi dan tidak lama datang membawakan aku kursi dan menyuruhku untuk duduk. Sederhana namun sangat manis. Yaampun, begitu saja aku sudah senang sekali. Dan hal itu pun tidak lepas dari pandangan seluruh keluargaku.

"Cuma ada satu kursinya, sini duduk!" perintahnya.

"Cie....cie perhatian banget sih mas," goda sepupuku di belakang."

"Tinggi sekali heelsnya, nanti capek, masih lama ini acara," jawab mas William santai."

"Takut banget mbak Gia kecapean kah mas?" tanya sepupuku menggoda.

"Iyalah, kalau kecapean kan nanti malem ga dapet jatah tuh," timpal spontan sepupu yang lain disertai tertawaan orang orang yang ada disitu. Keluarga besar sekali jadi memang banyak sepupuku. Ini baru dari keluarga ibu, belum yang dari keluarga bapak.

Seperti ada kupu-kupu yang terbang di atas kepalaku. Ternyata mas William bisa perhatian seperti ini. Senyumku pun mengembang sempurna memperlihatkan suasana hatiku yang sedang bahagia.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang