Chapter - 23

96 5 1
                                    

William pov

Malam terakhir di Jogya. Di jogya selama empat hari tiga malam cukup menguras energi juga. Harus ku akui jogya memang istimewa seperti yang orang lain bicarakan, orangnya ramah, adatnya masih cukup kental layaknya di bali, juga setiap sudutnya penuh karya seni. Harus ku akui juga tiga hari bersama Gia cukup menyenangkan. Dia pandai memilih tempat yang unik, yang pastinya sedikit keramaian, karna aku tidak terlalu menyukai keramaian. Mungkin hanya malioboro tempat yang paling ramai diantara tempat lainnya yang kami kunjungi.

Ngomong-ngomong soal Gia, ternyata anak itu tidak terlalu buruk juga. Dia cekatan, pandai menempatkan diri, dia bisa lebut sekali berbicara dengan bahasa Jawa nya. Ternyata dia juga cukup dermawan, tidak segan memberi beberapa lembar rupiah pada orang orang di jalan. Bahkan dengan kucing jalanan yang tidak tau asal usulnya saja dia kasih makan. Eh tunggu, apakah aku sedang menyanjung Gia? Ah tidak, itu hanya sedikit pandanganku saja terhadapnya, masalah perasaanku masih sama.

Hari terakhir ini aku masih sibuk mengotak atik chip yang diberikan Gia waktu itu. Sebenarnya aku juga penasaran apa isi di dalamnya, karna susah sekali terbuka. Sudah hampir satu bulan aku mencoba memecahkannya tapi belum berhasil.

"Mas, makan malamnya di dalam kamar saja ya, aku capek keluar," ucap Gia sambil menyisir rambutnya.

Pandanganku mengarah kepadanya. Baju satin berwarna merah tidak berlengan dengan panjang sepaha, menampilkan putih susu kulitnya. Apakah aku tidak salah lihat? Seperti ada yang menonjol di dadanya. Apakah itu___ ahh tidak, singkirkan pikiran kotor itu William!

"Mas, gimana? Aku telpon aja restauran ya, supaya di antarkan kesini makan malamnya," tawar Gia lagi.

"Iya atur saja bagaimana baiknya." Aku melihat Gia memencet tombol pada telepon nirkabel di atas nakas.

Bukan, aku bukan hanya melihat apa yang dilakukan Gia, aku melihat sesuatu yang lain. Sepertinya memang dia tidak menggunakan bra. Tidak salah lagi, aku cukup hafal bentuknya.

"Gia," dia melihat kearahku. "Kenapa pakai baju seperti itu?"

"Bajuku sisa ini, tidak mungkin aku menggunakan kemeja dan jeans untuk tidur."

"Tidak bisakah pakai jaket saja."

"Enggak ah, gerah tau," tolaknya.

Astaga, tidak taukah dia itu kalau bagian tubuhnya terlihat menonjol sekali.

"Pakai saja kaosku!" putusku.

"Ga mau ah, pasti besar sekali."

Dia benar benar menghabiskan kesabaranku.

"Kenapa tidak pakai bra?" tanyaku yang membuatnya sedikit kaget. Otomatis dia langsung menutup kedua bukit kembarnya dengan kedua tangannya.

"Kenapa kamu tau? kamu mata keranjang," ucapnya.

"Terlihat jelas Gia, makanya pakai kaosku saja sana!"

Gia lari terbirit kembali ke kamar mandi.

Hampir setengah jam di dalam kamar mandi, entah apa yang di lakukan. Sampai bel kamar pun berbunyi.

"Gia, makanan datang," teriakku agar Gia mendengar.

Tidak lama Gia pun keluar dengan kaos putih yang kebesaran di badannya.

"Ayo kita makan," ajak Gia tanpa melihatku, sepertinya dia sedang malu.

Aku letakkan laptopku dan menghampiri Gia untuk makan malam.

"Kenapa ga pakai bra?" tanyaku penasaran.

"Sesak," ucapnya lirih.

"Kenapa tadi ga beli yang agak longgar?"

"Kita makan saja, aku ga mau bahas itu lagi," pungkasnya.

"Baiklah, makan cepat, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan." Gia jawab dengan mengangguk.

***

Mereka berdua telah selesai makan malam. Kini mereka duduk di ranjang dengan William yang fokus melihat laptopnya.

"Ada urusan apa sebenarnya kamu dengan chip ini?" tanya William menyelidik Gia.

"Tidak ada, hanya saja aku penasaran. Seseorang sepertinya sedang bermain denganku. Dugaanku sementara, ini ada hubungannya dengan kasus narkoba yang terakhir aku tangani," jelas Gia.

"Kalau begitu hentikan."

"Kenapa? Apakah ada sesuatu di dalamnya?"

"Ini terlalu beresiko untuk kamu, lebih baik kita hentikan saja."

"Sebenarnya apa isi di dalam chip itu?"

"Ada nama nama orang yang sepertinya adalah keanggotaan sebuah organisasi."

"Siapa namanya? Apakah aku mengenalnya?"

"Tidak. Bukan nama orang disini. Kamu tidak melihat berita sepekan ini?" Gia pun menggeleng.

"Ada penangkapan kartel narkoba di equador dan nama salah satu orang yang tertangkap itu ada di chip ini," pungkas William.

Mata Gia membulat sempurna. Seperti potongan puzzle yang terus berputar di otaknya. Akankah jaringan ini ternyata jaringan internasional? Tidak mengherankan juga karena melihat keuntungannya yang terlihat melalui data pada chip sebelumnya yang begitu fantastis.

"Kita hentikan saja Gia, ini terlalu beresiko."

"Tidak, aku mau selidiki ini."

"Ratusan sipir di equador disandera Gia, belasan polisi meninggal, sudah, ini bukan lawan kamu."

"Aku tetap mau selidiki ini."

"Nekat, benar benar nekat."

William memang seorang pebisnis ulung yang dikenal di hampir seluruh dunia. Perlu ditekankan, dia bukanlah seseorang yang suka berbisnis hitam. Selain dari pada itu, dia juga tidak suka bisnis yang berbau proyek pemerintah. Dunianya memang sering dia habiskan di club malam, tapi itu hanya sekedar melepas penat dan untuk menghibur diri dari pekerjaannya.

***

Di dalam sebuah gedung, lampu yang nampak meredup, ada dua orang yang sedang memainkan catur. Entahlah, mereka lebih menyukai penerangan dari cahaya rembulan yang memang sedang purnama di malam itu. Kegelapan memang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejauh ini.

"Jack, bagaimana dengan anakmu?" Seseorang menghisap cerutu lalu menggerakkan pion nya satu langkah ke depan.

"Baik tuan, istriku ingin memasukkannya ke sebuah pesantren di Jawa Timur," jawab seseorang bernama Jack dengan sumringahnya. Nampaknya dia begitu bahagia menceritakan keluarganya.

Sang tuan pun menyunggingkan senyumnya. "Baguslah, setidaknya dia akan dikelilingi oleh orang yang paham akan agama. Lantas bagaimana dengan istrimu? Apakah dia masih marah?"

Wajah jack pun seketika muram. "Itulah tuan, saya sudah berusaha menjelaskan kepadanya, namun sepertinya masih sulit untuk diterimanya."

"Bagaimana perkembangan ladangmu?" sang tuan berusaha mengganti topik obrolannya.

"Saya tanami jagung tuan, semoga saja nanti panennya melimpah. Rencananya saya juga akan membeli kebun kopi."

"Bagus Jack, setidaknya siapkan untuk masa tuamu juga."

Jack yang mendengar penuturan sang tuan pun tersenyum smirk, "bahkan saya tidak tau apakah masa tua itu akan saya nikmati bersama anak dan istri saya tuan."

"Saya akan pastikan itu Jack," janji sang tuan kepada Jack.

"Bahkan semenjak Jose tertangkap, saya sudah pesimis menjalani hidup. Rasanya saya harus menyiapkan sebanyak mungkin harta untuk menjamin kehidupan anak dan istriku kelak," ujar Jack frustasi.

Sang tuan tersenyum smirk, "orang-orang licik sepertinya sudah sepantasnya mendapatkan itu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang