Chapter - 2

310 25 1
                                    

Suara deburan ombak, kicau burung yang saling bersautan seolah menandakan betapa masih alaminya suasana di tempat ini. Nampak ada seorang anak kecil berlarian saling mengejar dengan sang ayah dan ibu yang menunggu dibawah pohon kelapa.

"Hey, kemari kamu, ayah akan menangkapmu," sayup sayup suara suara itu terdengar oleh indera william dan membuatnya menyunggingkan senyumnya. Merindukan masa kecilnya.

Ya, ini adalah pantai privat, bisa dibilang demikian, hanya segelintir orang yang bisa masuk ke area pantai ini. Pantai yang memang hanya dikhususkan bagi pelanggan hotel dan tidak untuk umum. Juga memiliki akses yang cukup jauh dari jalan raya, sehingga suara suara orang dapat mudah didengarnya.

Dia ada di bali, tentu saja untuk memenuhi permintaan kakeknya beberapa saat yang lalu. Tepat pukul 00.00 WITA pesawat yang membawa william dan sang kakek tiba di bandar udara internasional ngurah rai. Hotel adalah pilihan untuk menjadi tempat istirahatnya. Bukan berarti dia tidak memiliki mansion, dia punya, hanya saja dia terlalu malas berada di sana. Sepi, tidak ada orang hanya ada petugas kebersihan, itupun hanya datang seminggu sekali atau kadang dua kali saja. Tidak hanya mansion, dia juga memiliki beberapa properti di daerah bali ini. Waterpark, mall, restourant mewah, resort, hotel di beberapa tempat, dan salah satunya yang ia tempati saat ini. Tentu saja itu semua bawah naungan delwyn enterprise.

Room service....room service....

Terdengar suara yang menghentikan lamunannya

Ceklek

"Excuse me sir, saya akan membersihkan ruangan ini, dan anda sudah ditunggu tuan george di lobi."

Tidak ada jawaban suara, hanya berupa anggukan sebuah isyarat william mengerti ucapan sang petugas hotel. Mengambil dompet dan ponsel nya lantas berlalu menuju lobi hotel.

"Selamat pagi tuan." James yang melihat tuannya datang segera berdiri, membungkukkan badannya untuk menyambut william.

"Pagi, pagi juga kek."

"Nanti malam kita akan berjumpa dengan gia di restoran ini, jangan lupa."

"Gia?" siapa gia, seingatnya tidak mengenal seseorang bernama itu, pertanyaan yang membuatnya bingung.

"Iya gia, wanita yang akan menjadi istrimu."

***

James mengikuti langkah sang tuan ke kamarnya. Duduk di sebuah sova dan mengamati william menyesap rokoknya di balkon kamar hotel.

"Kamu tau siapa gia james?"

"Tidak tuan"

"Apa kakek tidak memberitahumu?"

"Saya sangat yakin gia cocok untuk william, dia lembut, pemberani, meskipun kadang suka marah marah tapi aslinya dia baik james, saya bisa melihat ada ketulusan di hatinya____ itulah yang tuan sampaikan saat breakfast tadi tuan," kata james yang dibuat dengan suara menyerupai george. Itulah salah satu yang william suka dari james, james selalu menyalin semua ucapan seseorang persis seperti aslinya, tidak ada yang ditambah maupun dikurang, bahkan intonasinya pun sama.

"Cari tau semua tentang gia, apapun tentangnya, saya mau hasilnya nanti malam."

"Pesan disalin, ada lagi tuan?"

"Bagaimana dengan nippogoup?" Baiklah, daripada memikirkan gia yang dia sendiri tidak tahu siapa itu, lebih baik memikirkan pekerjaan.

"Anda dijadwalkan akan menemui ceo nippogroup pada hari rabu pukul 9 pagi di hotel seminyak."

"Siapkan sebuket mawar merah!"

"Pesan disalin, ada lagi tuan?"

"Siapkan mobilku, aku akan menyetir sendiri dan aku tidak ingin ada gangguan dalam bentuk apapun james." James nampak sibuk menyalin perkataan william dalam sebuah notes kecil yang selalu dia bawa kemanapun.

William membuang puntung rokoknya, berlalu meninggalkan balkon menuju kamar mandi.

"Satu jam dari sekarang semua harus tersedia," lanjut william sambil berjalan.

"pesan disalin, ada la____"

Ceklek

Belum selesai ucapan james, pintu kamar mandi william sudah tertutup, james menutup notes nya dan berlalu meninggalkan kamar william. Selalu seperti itu, tuannya itu tidak pandai mengucapkan kalimat penutup yang baik, pergi sebelum mengakhiri pembicaraan.

***

Hari ini gia sedang dihadapkan dengan banyak kasus. Ini adalah efek beberapa hari yang lalu, ya... gia terlalu larut memikirkan perkataan orang tuanya dan jawaban untuk george, sampai sampai pekerjaannya terbengkalai. Sidang kasus narkoba yang seharusnya sudah selesai hari ini dan akan disidangkan senin depan belum selesai dia kerjakan. Padahal gia adalah orang terkenal akan kesidiplinannya.

Flashback on

"Ibu apakabar?"

"Kabar ibu tidak baik, bapak juga."

"Ibu bapak sedang sakit? Sudah coba diperiksakan ke dokter?" nada suara gia pernuh kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. Selama ini yang paling ia takutkan adalah mengetahui orangtuanya sakit sedangkan ia tidak ada didekatnya untuk merawat. Gia sungguh merasa menjadi anak yang tidak berbakti.

"Tidak perlu ke dokter, secara fisik kami sehat," ucap sang ibu sarkastik

"Lantas?" jawaban yang membuat gia bingung

"Batin kami yang sakit gia, kamu tahu ibu baru saja selesai kondangan, kamu tau siapa yang menikah? Susi yang nikah, bulan lalu mila menikah, minggu depan ana menikah, mereka semua adek kelas kamu gia, teman teman kamu semua udah punya anak, teman teman ibu kalau ke pasar juga suka bawa cucunya, ibu pengen begitu," ucap ibu gia yang terdengar emosi, menaruh harapan tinggi agar gia segera menikah. "Halo, gia__ kamu masih disitu kan?" lanjut ibu gia yang merasa tidak ada respon apapun dari gia.

"Ehh i iya bu."

"Begini saja, kalau kamu memang sudah tidak bisa mencari calon suami mu sendiri, biarkan ibu dan bapak yang akan mencarikan untukmu."

"TIDAK." membayangkan saja gia tidak bisa, pasalnya gia tau ibu dan bapaknya itu akan mencarikan menantu layaknya menawarkan barang kepada setiap orang, tentu saja akan membuat harga diri gia secara tidak langsung akan jatuh.

"Baiklah baiklah, gia akan segera membawa calon suami ke hadapan ibu dan bapak ya," lanjut gia.

"Gitu dong, ibu tunggu ya sayang, kamu jangan capek capek kerjanya, jaga kesehatan, dan inget ibu bapak menunggu kehadiranmu bersama calonmu." Suara sumringah ibu gia terpampang nyata terdengar melalui sambungan ponsel.

Flashback off

"Gia, dipanggil dari tadi juga, ngelamun aja."

"Iya ada apa?"

"Aku tanya berkas narkoba yang kamu pegang itu, apakah kamu tidak merasakan ada yang ganjil?" tanya ruben, rekan seprofesinya sesama jaksa.

"Ganjil maksudnya? Ini lagi aku dalami."

"Coba kamu baca ulang lagi, pasti kamu tau maksudku." Suasana hening seketika, gia membuka semua berkasnya, membaca dengan teliti kasus dihadapannya itu.

"Dia sangat tenang, tidak ada tanda tanda menyerupai seorang pemakai, bahkan selama di kantor polisi selama kurang lebih satu bulan ini tidak ada sama sekali keluhan dia sakit, tutur katanya seperti orang normal, tapi narkoba yang di temukan di tasnya sangat banyak, 100gr."

"Itulah yang kumaksud, sangat berbeda dari kasus yang selama ini kita tangani."

"Apakah kita berpikir yang sama?" matanya memicing ke arah ruben, nampak berpikir keras, dan ruben mengangguk.

"Oke, aku akan tinjau ulang kasus ini," Jawab gia mantap sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah ruben.

Tingkah mereka memang layaknya sepasang kekasih, banyak yang berpikir demikian. Bagi gia, ruben adalah sosok kakak yang tidak pernah ia miliki. Yup, gia adalah anak tunggal. Ruben yang selalu menolongnya selama dia hidup jauh dari orang tua. Tapi tanpa gia tau, selama ini ruben memiliki harapan lebih padanya, namun tidak pernah ruben ungkapkan, karena ruben tau gia tidak pernah menganggap ruben lebih dari kakak.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang