Chapter - 11

198 23 1
                                    

12 Oktober

Kalian tau itu hari apa?? Bali akan sangat padat pada hari ini. Beberapa sekolah dan perkantoran di liburkan. Orang orang turun ke jalan untuk serentak berdoa. Aku bukan orang bali, aku juga bukan salah satu keluarga korban, tapi semenjak di bali aku selalu mengikuti kegiatan ini. Berdoa di monumen, lalu berjalan ke tempat pemakaman dan menabur bunga.

Pagi pagi aku sudah bersiap. Dari hari kemarin william tidak pulang. Aku tidak tau dia kemana? Tidak ada kabar dan aku juga tidak berminat untuk bertanya kabarnya. Jika dia merasa aku adalah seseorang yang penting di hidupnya, seharusnya dia memiliki kesadaran untuk sekedar memberiku kabar melalui pesan singkat.

Kenyatannya aku tidak penting bagi william! Jadi ya sudahlah, kejadian waktu itu membuatku sadar dan kucoba untuk menarik diri dari william. Aku takut! Aku takut pada akhirnya aku jatuh terlalu dalam dan sedangkan william tidak pernah menganggapku ada. Biarlah setiap doa doaku yang mendekat kepadanya. Ku pasrahkan hatiku kepada sang pencipta.

Ku tahu, bali akan sangat mancet, jadi aku naik motor saja. Biar mudah juga cari parkirnya. Sebelumnya aku berhenti di sebuah toko bunga di sekitar jalan legian.

Bunga mawar tabur satu keranjang, dan bunga mawar merah dua puluh tangkai. Aku akan menaburkan bunga pada setiap makam makam di sana. Dan mawar merah akan aku berikan untuk setiap anak anak kecil yang menangis. Aku suka anak kecil, imut dan menggemaskan.

Motor aku titipkan pada penitipan sepeda motor dekat monumen. Peringatan bom bali di mulai pada pukul sepuluh pagi, masih ada lima belas menit sebelum proses.

Doa dipimpin oleh tetua adat bali, doa diadakan menurut adat kepercayaan mayoritas penduduk bali, yaitu hindu. Bagi selain pemeluk hindu dibolehkan mengikuti acara, dan dalam hati melantunkan doa doa yang sesuai dengan adat kepercayaan masing-masing.

"Hiks hiks mama mama."

Ku mendengar ada seorang anak perempuan menangis, sedangkan orang tuanya masih khusyuk berdoa. Ku dekati dia.

"Adek kenapa?"

"Sakit." Dia memegang lututnya yang nampak tergores.

"Kamu jatuh?" dia menjawabnya dengan mengangguk.

"Sini kakak tiupin." Aku meniup lutut anak itu, ku usap usap untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Udah nggak sakit kan?" Anak itu kembali menangguk.

"Anak manis nggak boleh manangis lagi dong, kan udah sembuh kakinya."
Aku tersenyum, dia terlihat mengusap ingusnya dengan tangan.

"Kakak ada bunga, kamu mau?"

"Mauu."

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Nama kamu siapa?"

"Kesya."

"Syaratnya, kesya harus berhenti nangis, terus duduk di samping mamahnya, diam, nggak boleh menganggu mamahnya berdoa, setuju?"

"Setuju kakak."

"Anak pintar, kamu mau bunganya berapa?"

"Duaa." Tangannya diacungkan ke atas, isyarat angka tiga.

"Itu namanya tiga sayang, gini ni yang bener." Aku membenarkan tangan kesya.

"Dua kakak." Kali ini kesya menjawab sengan senyumnya.

"Ini." Aku memberi dua tangkai bunga mawar merah yang aku bawa.

Selalu ada anak yang menangis di acara ini. Ini acara besar, kemungkinan banyak diantara mereka yang membawa keluarga besarnya. Hanya aku yang datang sendirian ke sini, maybe.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang