Chapter - 1

622 30 1
                                    

New york, Amerika Serikat

Seorang pria yang memiliki setengah kesadarannya mencoba memasukkan password sebuah penthouse. Dengan langkah gontai dia ditopang oleh seorang wanita.

tut...tut...tut

"Shit, berapa nomornya," gumam lelaki itu, dengan sisa kesadarannya dia terus berusaha memasukkan digit angka.

Pip!

"Yeahh, ayo masuk sayang!" Akhirnya dia bisa membuka pintu itu. Dia menyalakan lampu penthouse nya dan melangkah menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ada suara seseorang menyapanya.

"Kali ini siapa lagi wanita yang kamu bawa?"

"Kakek__ sejak kapan kakek disini?"

"Kenapa? Kamu nggak suka kakek disini?"

"Bu-bukan begitu, hany___"

"Kamu siapa? Jalang darimana lagi kali ini?" Mata lelaki tua yang dipanggil kakek itu menajam, menyorot dan menilai penampilan wanita yang dibawa cucunya. Baju yang nampak kekurangan bahan, sangat tidak layak disebut baju, makeup tebal, lipstik merah merona, bau alkohol yang menyengat, bahkan lelaki tua itu bisa mencium aroma rokok. Jelas terlihat bahwa dia seorang jalang, sangat jauh dari kata baik. Cucunya memang sering membawa wanita ke rumahnya. Meskipun cucunya itu selalu menutupinya, namun sang kakek tau kelakuan cucu satu-satunya itu.

"Kamu pulang dulu malam ini! besok kita lanjutkan lagi, ini credit cardku bawalah, sebagai ganti malam ini, belanjalah sesukamu9" bisik william ditelinga wanita yang dia bawa.

Seketika wajah wanita itu langsung berseri, karena memang inilah yang dia suka dari william. Uang yang dia dapatkan dari william atas jasa menghangatkan ranjang sangat jauh lebih dari kata cukup. Bahkan tidak jarang william hanya memberi cek kosong pada wanitanya, sehingga sang wanita bebas menulis berapapun nominal yang dia inginkan.

"Thankyou william, I love you so much dear, see you tomorrow," ucap wanita itu sambil mencium pipi william dan melangkah keluar penthouse.

William melangkah menuju kamarnya meninggalkan sang kakek. Langkahnya terhenti ketika suara kakeknya kembali terdengar.

"Kakek ingin kamu menikah."

William menoleh kepada george, "hmm" lalu melanjutkan langkahnya kembali.

"Kali ini kakek serius, kakek sudah menyiapkan seorang wanita yang akan kamu nikahi. Setuju atau tidak, kakek akan menikahkan kamu."

William nampak tertarik dengan pembicaraan ini, pasalnya selama ini george selalu mengatakan hal serupa namun tidak pernah ada kelanjutannya. Wanita yang akan dikenalkan kepada william pun sampai sekarang juga tidak pernah muncul.

William membalik badannya, mengubah langkahnya menuju tempat kakeknya duduk. Dia membawa tubuhnya untuk duduk di sova sebelah george.

"siapa?"

"Yang pasti dia wanita baik, tidak seperti wanita jalang yang selalu kamu bawa itu."

"Apakah seseorang yang kukenal?"

"Tidak, dia wanita yang baru saja ku kenal."

"Bagaimana kakek bisa percaya sama dia, sedangkan kakek saja baru mengenalnya." William berbicara dengan nada meremehkan sang kakek.

"Ingat william, kakek tidak akan menyerahkan delwyn enterprise selama kamu belum menikah."

"Terserah kakek lah, yang penting kakek senang."

William membawa kakinya melangkah menuju kamar. Dia merasa percuma berbicara dengan sang kakek. Selama ini dia selalu kalah, bukan karena dia tidak bisa melawan atau takut tidak mendapat perusahaan, dia tidak takut sekalipun tidak mendapat bagian dari delwyn enterprise, karna dia memiliki beberapa usaha atas namanya sendiri, yang dia dirikan tanpa bantuan kakeknya. Hal yang dia takutkan adalah penyakit jantung kakeknya kumat. Dia tidak menginginkan kakeknya pergi menyusul nenek ataupun mamanya, saat ini hanya kakeklah yang dia miliki, olehkarenanya dia akan berbuat apapun untuk bisa membuat kakeknya bahagia, sekalipun itu harus menikahi wanita yang tidak pernah ia cintai.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang