When the Weather Is Nice

1 0 0
                                    

"Ih, Kak Arlando datang ke sini untuk jemput Kak Ivony, ya? Cie," ejek Kinan sambil cengegesan.

Ivony menggaruk kepalanya linglung. Sama sekali tak menyangka akan kedatangan Arlando. Lalu, benaknya mengingat ketika Kinan yang juga datang ke rumah Arlando. Ia menyatukan kepingan puzzle itu dan tersadar bahwa mungkin keduanya sudah terbiasa saling bertamu ke rumah satu sama lain.

Kemudian, orang tua Kinan yang tampak akrab dengan kehadiran Arlando sudah menjadi jawaban bahwa Arlando memang mengenal orang tua Kinan dengan baik. Ivony mengerutkan kening. Ia seharusnya sudah sadar sejak awal, tapi apa arti hubungan keduanya?

Arlando tertawa. "Ya, aku mau nagih hutang ke dia. Janji adalah hutang."

"Ih, sok nggak punya hutang. Kakak pasti punya hutang juga di kantin."

Arlando terkekeh dan mengacak-acak rambut Kinan dengan akrab. Ivony terperanjat melihat kedekatan itu. Sedekat itu kah mereka sampai kontak fisik dengan bebas seolah di depan tidak ada dirinya? Aneh, pikir Ivony sinis.

Kepala Arlando berpaling ke arah Ivony. "Vony, ayo!"

"Ayo, ke mana? Aku bawa sepeda," ujar Ivony. "Kinan, jangan lupa mengumpulkan PRnya besok di sekolah. Aku pamit—"

Arlando langsung menyela. "Eh, Kinan, sepeda Vony titipin di garasi sini dulu, ya? Besok sepulang sekolah, kita ambil lagi."

"Boleh, sih. Yaudah taruh saja di garasi."

Ivony membuka mulut hendak protes. Sebelum ia sempat berbicara, Arlando sudah bergerak cepat menuntun sepeda Ivony ke garasi bersama Kinan. Berjalan dari pintu rumah ke garasi yang jaraknya tak seberapa itu memicu keduanya mengobrol. Entah apa topik obrolannya, Ivony tak mendengar jelas.

Mereka kembali dengan gelak tertawa seolah baru pulang berkencan. Ivony menepuk keningnya sendiri, merasa konyol karena bersikap sinis. Untuk apa ia sinis? Apa karena ia tidak pernah seakrab itu dengan Arlando yang sekelas berturut-turut? Atau karena cemburu? Ah. Ivony menggelengkan kepala. Tak mau memikirkan lebih larut.

"Kinan, kita pulang dulu, ya?" pamit Arlando yang melambaikan tangan dan berjalan menuju motornya yang berada di perkarangan.

Ivony juga berpamitan dan mengikuti langkah Arlando, serta duduk membonceng ketika berada di luar pintu pagar rumah Kinan. Hari sudah malam. Suara jangkrik dari pepohonan mengerik nyaring. Langit sudah gelap dan berselimut berawan. Tidak ada suara di komplek perumahan itu, kecuali suara deru motor milik Arlando. Semilir angin menerpa wajah Ivony yang berada di belakang boncengan.

"Komplek perumahan memang sepi," kata Arlando seolah mengetahui isi pikiran Ivony.

Ivony mengangguk walau Arlando tak melihat. "Ya. Sangat individualis dengan pagar setinggi dua meter itu."

"Kamu benar, itu yang membuat kondisi sepi. Mungkin juga di balik pagar setinggi dua meter yang kamu katakan itu juga sama sepinya."

"Maksudmu, di dalam rumahnya?"

"Iya."

Ivony merenungkan bahwa ucapan Arlando ada benarnya juga. Tapi ia tak berpikir sampai sana. Lalu terbesit di pikirannya, wajar Arlando bisa berpikir seperti itu karena ia pasti sudah mempunyai pengalaman. Rumahnya juga berada di komplek seperti ini.

"Jadi, dari mana kamu tahu aku di rumah Kinan?"

"Aku sudah menduga kamu akan menanyakannya," kata Arlando sambil mengendari motor beatnya dengan membelok kiri keluar komplek.

"Memang wajar jika ditanyakan juga."

Arlando mengangguk. "Gimana kalau kita makan dulu sebelum pulang?"

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang