Wound

13 5 0
                                    

Ivony berjalan di sepanjang koridor dengan senyum lebar. Ia sudah menata hati sejak kejadian kemarin. Ivony tak ingin kehadiran Bagas mengacaukan konstalasi sistematis di kehidupannya. Yang sudah berlalu, tidak perlu dikenang kembali. Tapi senyumnya langsung surut sesaat masuk kelas.

"Kan pelajaran agama," kata Arlando seolah membaca pikiran Ivony.

Pak Haris memang memerintah hal itu dan peraturan tersebut selalu berlaku di kelasnya. Baik kelas satu, dua dan tiga. Alasannya supaya cowok nggak berisik. Jadi, cewek dan cowok duduk sebangku. Tapi masalahnya, Ivony biasa sebangku dengan Niko. Justru yang sekarang dilihatnya Niko sebangku dengan Mia di belakangnya persis. Sedangkan Arlando duduk di sebelah bangkunya.

"Kamu mau berdiri di depan pintu sampai kapan?"

Ivony langsung bergegas duduk dan bergumam jengkel. Arlando langsung menengurnya dan mengajak bercanda. Tentu saja cewek itu tak punya energi untuk hal tersebut. Sayangnya, Arlando tampak tidak sependapat dengan sikap tak acuh itu, ia justru menggeser secarik kertas ke arah Ivony.

Ivony membaca sekilas. Kata Pak Haris kita nggak boleh menggerutu, begitu yang Arlando tulis. "Kan bisa bilang langsung?" tanya Ivony sambil menoleh ke arah Arlando.

Arlando hanya cengegesan. Saat itu Ivony menyadari di hidung cowok itu ada hansaplast. Seingatnya kemarin tidak ada. Tapi lucu juga melihatnya seperti itu, mau tak mau Ivony tersenyum. Cowok tersebut malah mengambil kertas yang tadi diberikan, menulis sesuatu, lalu mengembalikannya lagi.

Nah, senyum gitu bagus. Kamu harus sering berlatih tersenyum.

Ivony langsung memusnahkan senyum di bibir. Menahan diri. Lalu menuliskan kalimat balasan, tepat di bawah kalimat Arlando tadi.

Kamu bisa mengatakannya langsung.

Ia memberikan kertas itu ke arah Arlando. Disambut wajah serius membuat Ivony penasaran. Ketika sedang mengamati ekspresinya, mata Ivony justru menjelajah ke arah lain. Ia baru menyadari kalau ada tahi lalat mungil di daun telinga kiri. Lalu, bulu matanya lentik meski ia seorang cowok. Lucu juga, Ivony senyum-senyum sendiri.

Ini yang namanya seni menulis.

Ivony langsung memalingkan muka ke arah lain ketika Arlando menoleh. Entah kenapa Ivony merasa seperti kucing yang terciduk mencuri ikan di meja makan. Ia segera mengambil kertas yang disodorkan cowok tersebut.

Ah. Menulis. Hal ini mengingatkan Ivony tentang percakapan Mia dan Niki tempo hari. Mungkin ia bisa mengorek sedikit informasi. Memikirkan hal itu membuat pipi Ivony terasa panas. Ia tidak bermaksud gapil hanya sekadar ingin tahu. Pergulatan di benaknya segera ia tuntaskan dengan menulis pertanyaan di kertas.

Sepertinya kamu tahu banyak perihal menulis.

Tidak juga. Kenapa menyimpulkan seperti itu?

Ivony mendengus. Ia teringat kalimat Arlando ketika mereka pertama kali sebangku untuk bekerja kelompok. Tangannya segera menulis dengan tergesa.

Sikapmu berbicara dengan lantang.

Arlando terkikik geli. Langsung membalasnya dengan cepat.

Haha. Kamu pintar membalik omongan orang.

Kamu juga pintar bersilat lidah.

Ivony melihat Arlando tertawa dan menyimpan surat itu di sakunya. Ia menarik retsleting tas, mengeluarkan buku paket pelajaran jam sekarang dan mengambil amplop merah yang menempel dengan coklat batang. Dilhat dari caranya mengeluarkan barang itu, dengan kening yang berkerut dan iris matanya yang melebar, Ivony menduga Arlando terkejut dengan kehadiran benda tersebut.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang