Kinan

10 7 0
                                    

Selepas Asar, tugas kelompok sudah selesai. Arlando mengajak untuk mengerjakan tugas individu sekalian. Itu ide menarik. Sayangnya, Ivony harus menolak. Ia perlu istirahat untuk Senin depan. Awal bulan pasti restoran ramai. Cowok itu tampak kecewa kendati bisa mengontrol diri dengan cepat.

"Mungkin lain kali. Aku benar-benar harus istirahat," kata Ivony menghibur.

Cowok itu mengangguk sambil mengantarkan Ivony sampai gerbang. Tapi betapa kagetnya Ivony ketika Arlando mengayunkan pintu utama. Menampilkan cewek yang belum lama dikenalnya.

"Kak Arlando!" pekik cewek itu gembira.

Arlando tercengang tapi senyumnya langsung terulas. "Hai, Kinan."

"Hai, Kak. Aku kecepatan dua jam. Habis aku benar-benar frustrasi dengan Biologi. Apa aku mengganggu?"

Arlando menggeleng. Lalu Ivony melihat Kinan menyadari kehadirannya. Oh. Tidak. Dunianya benar-benar sempit, batin Ivony. Kinan kenal dengan Arlando. Bahkan cendrung akrab. Wajar sih Arlando memang jenis orang yang mudah membaur. Apa mereka pacaran? Otak Ivony memproses seluruh data-data baru yang didapat.

Ekspresi Kinan sama terperangah dengannya. "Kak Ivony?"

Perkembangan luar biasa. Ia sudah tahu namaku, pikir Ivony. Opsi terakhir berarti berbohong. Tapi satu kebohongan akan mengantarkan ke kebohongan yang lain. Untuk situasi sekarang mungkin bohong menjadi pilihan terbaik, dibanding Arlando tahu.

Ivony melihat Arlando sama terkejutnya. "Kalian saling kenal?"

Kinan mengangguk. "Ia yang pernah aku ceritain, Kak. Ia yang—"

Tanpa permisi, Ivony langsung memotong cepat. "Kami kenal di jalan. Aku sempat membantunya. Biasalah, remaja. Jatuh. Tidak hati-hati. Kinan pasti pernah menceritakan itu padamu."

Kinan mencoba menyanggah, Ivony langsung memelotot. Sedangkan Arlando memicingkan mata bercampur menyelidik ke arah Ivony. Sikap cowok itu memaksa Ivony untuk tersenyum. Senyum ceria dengan sudut-sudut bibir melengkung ke atas.

Ivony tak salah lihat, Arlando terpana. Binar matanya mengkilat dan lekuk pipinya sedikit bersemu merah. Entah kenapa, sikap itu membuat Ivony salah tingkah dan melenyapkan senyumnya. Ketika ingin memerhatikan lebih detail, Arlando memalingkan muka dan menoleh ke arah Kinan. Menyuruh cewek itu masuk.

"Aku pulang dulu, ya," kata Ivony ketika Kinan sudah masuk.

"Kamu yakin tidak perlu kuantar?"

"Aku kan bawa sepeda."

"Aku bisa menggiringi lajumu sampai rumah dengan motorku. Itu termasuk mengantar dalam artian eksplisit," jelasnya sambil berjalan menuju pagar dan membukakan.

"Tidak perlu."

"Take care, Vony."

Ketika Arlando hendak menutup pagar, Ivony memanggil cowok itu. Sesaat cowok tersebut menoleh justru Ivony sendiri yang merasa kebingungan. Hingga akhrinya ia menemukan pertanyaan dengan penyampaian tepat.

"Apa kamu suka membaca?"

"Ya. Emang kenapa?"

"Apa kamu suka menulis?"

"Pada akhirnya orang-orang yang gemar membaca akan mulai menulis. Itu seperti awan dan hujan. Hubungan yang saling berkaitan."

"Oh." Ivony tidak tahu harus bertanya apa lagi. "Aku pamit."

Setelah berhasil keluar dari perumahan tempat tinggal Arlando, Ivony menggenjot sepedanya lebih rileks. Benaknya lagi-lagi memutar ekspresi cowok itu. Rona merah di pipi seseorang ternyata bisa menular hanya dengan memikirkannya, karena kini Ivony merasa pipinya memanas. Ia tak perlu mematut diri depan cermin untuk tahu warna di pipinya kini.

Ketika menuju belokan di lampu merah, ia nyaris menabrak seorang pengendara sepeda motor. Untung saja Ivony langsung mengarahkan stang sepedanya ke kanan, menghindar secermat mungkin dan berhenti hanya untuk melihat pelakunya. Forbidden. Orang itu berkendara melawan arah.

Memang sih jalanan sepi, tapi sikap seperti itu membahayakan pengendara lain. Seandainya Ivony tak sigap menghindar pasti tabrakkan tak terelakkan terjadi. Sama halnya dengan orang-orang yang melanggar lampu lalu lintas atau palang kereta api. Demi apa pun, ini bukan jalanan nenek moyang satu orang! Ivony ingat fakta bahwa ia taat membayar pajak. Jadi, ia punya hak diperlakukan sama. Semangat reformasi untuk menyatakan persaamaan posisi bergelora di dada Ivony.

"Hei! Kamu enggak punya SIM, ya? Naik kendaraan kok enggak punya aturan begitu?" Ivony berseru lantang.

Ia tidak tahu perdebatan itu bertujuan menantang, memberitahu atau mencoba menang. Karena ketiganya tampak tidak menghasilkan apa pun. Motor harley itu berhenti, tidak melanjutkan perjalanan. Kepala pengendaranya menoleh tepat ke wajah Ivony.

Ivony tahu kalau pengendara itu laki-laki dari postur tubuhnya. Jika ingin bertengkar, harusnya lelaki itu membalas teriakannya. Tapi tidak. Tidak ada balasan. Tidak ada makian. Orang itu hanya menatapnya. Seakan menemukan kuda bisa berenang.

Sulit mengetahui ekspresi lelaki itu karena ia menggunakan helm full face. Ivony merasa kalah telak karena tidak disahutin. Lewat dari semenit, dua menit, Ivony kembali berteriak. Tepat ke wajah pengendara itu.

"Lain kali bawa motor jangan melawan arah. Ini jalanan bukan punya kamu sendiri," seru Ivony dengan wajah masam seperti lumpia rebung yang baru matang. Ia tahu tak akan ada tanggapan dari si pengendara bodoh yang hanya menatapnya itu. Jadi, Ivony melanjutkan perjalanan dan pulang meski dongkol.

***

"Oh. Iya. Ia pernah titip ucapan terima kasih ke kakak. Aku lupa memberitahu," seru Salsa sambil menutup buku paket PKNnya. "Kami pernah sekelas di kelas satu. Tapi di kelas dua kami pisah. Kinan anak yang ramah kalau sudah kenal akrab."

Setelah sampai rumah dan membersihkan diri, Ivony merasa kepalanya lebih jernih. Ia langsung menuju kamar adiknya. Awalnya bertanya tentang keberadaan Ibu. Ternyata Ibu sedang pergi ke warung untuk menitipkan kue. Mungkin sambil bercakap-cakap dengan warga jadi lama. Lalu percakapan bergulir ke kegiatan Salsa di sekolah hingga berakhir menanyakan soal Kinan yang tahu namanya.

Jawaban Salsa membuat Ivony mengangguk. Ternyata benar Kinan mengenal adiknya. Lalu, tercetus pertanyaan lain.

"Apa Kinan punya pacar?"

Salsa menggaruk kepalanya. "Kenapa kakak bertanya begitu?"

Giliran Ivony yang kelabakan. "Eh? Pengin tahu aja."

"Setahuku sih Kinan tidak punya pacar. Tidak diizinin pacaran oleh orangtua, katanya. Terbukti tiap cowok mencoba dekat, Kinan tidak merespons, Kak. Cewek itu benar penurut. Ia pernah bilang, takut berubah jadi batu kayak Malin Kundang."

Kening Ivony mengerut. "Tapi Malin Kundang berubah jadi batu bukan karena nggak nurut sama orangtua. Tapi karena nggak mengakui ibunya sendiri."

"Oh. Benar juga. Aku akan bilang itu ke Kinan besok di sekolah."

"Eh. Jangan-jangan. Nanti kalau ia berubah bandel, orangtuanya bisa nyalahin kakak."

Keduanya tertawa. Rasa hangat menjalar ke dada Ivony. Ia dan adiknya memang dekat. Tapi sejak memutuskan bekerja di restoran yang menguras tenaga, waktunya menyempit. Berimbas pada waktu luang untuk Ivony dan Salsa berbincang santai. Memang sih mereka selalu menyempatkan bicara. Namun kali ini bukan tentang uang sekolah atau biaya-biaya yang membengkak mendadak.

"Tapi aku suka melihat kakak sepupunya. Bukan cuma aku, sih. Cewek-cewek yang lain juga. Kakak sepupunya sering jemput Kinan pulang soalnya," ujar Salsa sesaat derai tawa berkurang.

"Oh, ya? Kamu tau dari mana itu kakak sepupunya?"

"Kinan yang bilang," kata Salsa. Lalu matanya berbinar penuh harap. "Kakak sepupunya itu tinggi, putih, rambutnya agak tipis di sisi kiri kanannya, wajahnya tanpa jerawat, sering bercanda juga sama aku dan teman-teman sebelum pulang. Senyumnya benar-benar cemerlang dan meluluhkan hati kami."

Ivony tertawa mendengarnya. Ia mengacak-acak rambut Salsa gemas. "Lebay. Tapi kayaknya jenis kakak sepupu yang menyenangkan, ya?"

"Ya. Memang. Kakak pasti akan senang ngobrol dengan dia. Kapan-kapan kalau ada rapat kuberitahu, kakak sepupunya Kinan suka dateng ngejemput walau orangtuanya sudah siaga."

Ivony kembali tertawa. "Ya. Semoga saja."

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang