Already With You

27 9 3
                                    

"Waduh. Kenapa mukamu kusut begitu?" sambut Mia.

Ivony langsung melempar tas ke meja begitu masuk kelas dan duduk. Ia tidak menggubris pertanyaan Mia, justru melipat tangan di atas tas dan merebahkan kepalanya di sana. Rasa kantuk masih menguasai otak. Bahkan di jalan menuju ke sekolah, beberapa orang sempat mengklakson gara-gara sesekali oleng membawa sepeda. Syukurlah ia sampai dengan selamat.

Karena tak direspons, Mia menggoyangkan bahu temannya. "Vony, kamu kurang tidur lagi?"

Cewek itu membuka kelopak matanya enggan meski masih dengan posisi yang tak berubah. "Iya. Enggak sengaja."

"Enggak sengaja gimana? Kamu tidur jam berapa semalam? Kamu bilang ngambil closingan di restoran kalau Sabtu. Jatah libur dikasih Minggu. Sedangkan sekarang saja masih hari Selasa. Apa sudah ganti jadwal?" tanya Mia tak tega.

Ivony menghela napas. Dari sekian banyak teman di kelas, hanya Mia yang tahu. Dari kelas lain, mungkin Niki saja. Awalnya ia tidak menceritakan hal ini ke mereka. Tapi mata panda, pakaian yang kadang berantakkan dan sesekali terlambat, tidak bisa menutupi kekacauan yang tampak jelas. Uluran bantuan dari Mia dan Niki acap kali hadir, begitu juga dari orangtua mereka, tapi lebih sering Ivony tolak. Ia masih bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tidak ingin merepotkan orang lain juga.

"Enggak berubah, Mia. Aku saja yang masih pengin tidur. Jadi, jangan ganggu, ya? Masih ada lima menit sebelum bel."

Ia bersyukur temannya menurut. Waktu lima menit yang ia gunakan sebaik mungkin untuk tidur. Saat bel berdering, Ivony mengusap muka. Di sampingnya, Mia duduk anteng seperti biasa. Rambut keritingnya dikuncir banyak membuat ia terlihat imut.

"Mia, tumben Niki enggak ke sini?"

"Iya. Lagi sibuk ngurus cheerleadernya. Kan mau ada lomba," sahut Mia ceria sambil mengorek isi tas. "Oh, ya, aku mau ngasih tahu kamu sesuatu, Vony."

"Apa?"

"Arlando nulis puisi terus masuk koran. Hebat, ya? Lihat, deh." Mia mengatakan itu sambil menunjukkan koran lokal yang tadi ia simpan di dalam tasnya.

"Ah, masa?" Ivony melihat ke arah telunjuk Mia. Benar saja. Ada lima puisi tersusun vertikal di halaman koran. Letaknya pojok kiri. Sisa sisi atas, kanan sampai bawah di isi dengan resensi buku yang tidak ia perhatikan judulnya. Di akhir puisi itu tertulis Arlando, pelajar Jakarta.

Too good to be true. Ivony langsung mengembalikan koran dengan ekspresi tak yakin. Seingatnya di kelas satu, cowok itu tidak pernah tampak membaca tekun. Atau membawa novel seperti cara Mia. Kalau membawa masalah, sih, itu sudah pasti.

"Nama Arlando di Jakarta, kan banyak banget. Enggak mungkin ia, ah," sahut Ivony langsung.

Mia menggaruk kepala. "Iya, sih. Tapi nama Arlando yang kita kenal kan cuma ia."

"Tapi belum tentu. Jakarta kan luas. Bukan cuma Jakarta Timur tempat kita doang. Banyak Jakarta lain. Bisa juga itu nama pena dan lokasi palsu. Pokoknya enggak mungkin banget tuh cowok rese masuk koran," bantah Ivony. Kantuknya langsung ilang seluruhnya.

"Hm. Mungkin juga. Tapi mudah-mudahan emang Arlando teman kita, ya. Soalnya ini kan prestasi, harus kita ucapkan selamat, Vony," ujar Mia kalem.

Bel tanda masuk berdering. Ivony merasa tidak perlu repot-repot untuk mendebat perkataan teman sebangkunya itu. Tapi emosinya justru terkuras ketika wali kelasnya—Pak Elang—masuk. Bersama Bu Rusly yang juga membawa serta seorang anak murid. Mata Ivony melebar tak percaya. Sedangkan beberapa teman sekelasnya tampak antusias.

"Selamat pagi, Anak-anak! Hari ini kita mendapat murid pindahan dari kelas Bu Rusly. Namanya Arlando. Bagi yang pernah sekelas waktu kelas satu mungkin sudah tahu. Karena baru satu minggu kegiatan belajar mengajar, secara otomatis setiap anak murid diizinkan pindah kelas sesuai syarat dan ketentuan tiap wali kelasnya. Bu Rusly ingin Arlando pindah ke kelas ini karena Ivony. Saat kelas satu, nilai matematika Arlando cukup memuaskan dengan bantuan Ivony."

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang