Fragment

0 0 0
                                    

"Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri?" tanya Ivony hati-hati.

Air wajah Arlando sulit dimengerti. Keningnya berkerut. Ekspresinya datar dengan tatapan kosong. Lalu, mengikuti kata hati, Ivony mengulurkan tangannya untuk mengelus pundak Arlando. Entah dorongan nekat darimana ia berani melakukannya, tapi ia hanya ingin menenangkan seseorang di depannya. Seseorang yang ia kenal lama, ternyata menyimpan kesedihan sendiri. Seseorang yang terlihat ceria memang seringkali menyimpan kepedihannya dengan rapi.

Arlando mengembuskan napas. "Ya, itu persisnya yang dilakukan oleh orang tuaku. Mereka jarang di rumah. Sibuk bekerja. Sibuk urus bisnis. Sibuk meeting. Sibuk ke sana kemari alih-alih di rumah dan sekadar bertanya kepadaku, bagaimana harimu di sekolah?"

"Mungkin karena orang tuamu ingin memberikan yang terbaik untukmu, seperti makanan dan sekolah yang layak," ujar Ivony langsung mengingat betapa orang tuanya sendiri berjuang keras untuk menyekolahkannya hingga tanggung jawab itu berpindah ke pundak Ivony sebagai anak pertama.

Ia anak pertama. Harapan orang tua. Oleh karena itu, Ivony juga berpikir bahwa tindakannya mungkin akan ditiru oleh Salsa, adiknya. Jika ia santai-santai saja dan tidak mau berjuang atau belajar maka Salsa akan meniru juga.

"Tapi buat apa memberikan yang terbaik, kalau aku enggak dianggap ada?"

"Enggak dianggap ada gimana? Itu buktinya mereka bekerja keras buatmu."

Ivony tak mengerti jalan pemikiran Arlando. Bagaimana bisa orang tuanya tidak anggap dia ada? Sedangkan orang tuanya bekerja keras untuk membayari sekolah, makanan, dan baju yang ia pakai.

Kalau orang tuanya membiarkan ia begitu saja itu baru bisa disebut anak tidak dianggap. Nyatanya, orang tuanya melaksanakan tanggung jawab merawat Arlando dengan baik. Bahkan orang lain pun bisa melihat betapa bersih seragamnya, seolah tidak boleh ada noda membandel di sana. Kemudian sepatu Arlando yang mengkilap, seratus kali lipat lebih baik dibanding sepatu Ivony yang tetap kusam meski disikat pun tak mengubah warnanya menjadi seperti semula.

Arlando menyemburkan napas. "Ah, kamu nggak paham. Sudahlah, kita makan dan setelah itu aku antar kamu pulang. Besok, aku jemput ke sekolah sekalian pas pulang ambil sepedanya."

"Bagian mana yang aku nggak paham?"

"Semuanya," gerutu Arlando.

Ivony hendak memprotes soal itu sebab cerita Arlando seolah menggantung begitu saja tanpa kejelasan. Namun Arlando sudah menunjukkan gelagat makan dengan lahap dan cepat, mau tak mau Ivony meniru. Setelah selesai makan, Arlando segera membayar dan bergerak ke parkiran motor. Langkahnya yang buru-buru seolah menengaskan dirinya yang ingin segera pulang dan menyudahi pembicaraan ini.

Maka di jalan pulang saat membonceng, Ivony lebih banyak diam. Sesekali Arlando menawarkan jajanan di pinggir jalan untuk di bawa pulang. Somay. Batagor. Nasi goreng. Namun Ivony menolak. Jika Arlando ingin pulang maka ia akan membantu mempercepatnya tanpa perlu mampir jajan ini itu.

"Terima kasih sudah antar aku pulang," ujar Ivony tulus.

Arlando mengangguk. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Besok kita berangkat bareng ke sekolah."

Ivony tak membantah. Lagipula sepedanya sendiri di rumah Kinan. Berangkat bersama Arlando lebih baik dibanding lama menunggu angkutan umum dan berakhir telat, lalu dihukum. Entah lari keliling lapangan atau membersihkan toilet, jelas keduanya bukan hukuman yang mau diambilnya secara cuma-cuma.

Setelah kepergian Arlando, Ivony memasuki rumah dan segera ke kamar untuk berganti pakaian. Situasi rumah hening, pintu kamar Ibu dan adiknya sudah tertutup rapat. Tanda orang rumah sudah tertidur lelap. Setelah membersihkan diri, Ivony juga beranjak tidur.

Badannya rebah diranjang tetapi pikirannya berkelana ke sana kemari. Ivony kembali mengingatucapan Arlando. Tentang orang tuanya. Lalu, ia kembali mengingat tentangkegemaran Arlando menulis. Apakah benar puisi yang ia tulis itu adalah milikArlando sendiri? Kalau iya, apakah ia mencurahkan isi hatinya lewat puisi juga?Ivony seolah seperti menemukan fragmen demi fragmen tentang kehidupan Arlandodan ia memikirkan itu semua hingga tertidur lelap.


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang