Hate Me Today

7 3 0
                                    

Ivony mengecek emailnya antusias. Sayang, tidak ada pesan baru. Nihil. Belum ada balasan dari HRD perihal surat lamaran yang ia kirim. Ivony menghela napas. Ivony ingat kejadian seminggu lalu. Ia memutuskan berhenti kerja. Setelah menerima gaji, keesokan harinya ia resign karena alasan ingin fokus belajar. Untunglah pemilik restoran tidak banyak bertanya. Cendrung beliau mengerti dan tidak memaksa.

Ivony berpamitan pada seluruh karyawan, terutama Kak Poppy dan termasuk dengan Kak Rita. Tidak ada tatapan tajam, umpatan atau apa pun. Untuk kali ini, Ivony melangkah dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri. Tidak ada kemarahan. Ia resign karena demi kesehatan mentalnya sendiri, dibanding terus menjadi samsak Kak Rita.

Sejak itu pula, Ivony rajin mengirimkan lamaran kerja part time ke beberapa tempat. Perusaahan start up, restoran cepat saji dan kafe. Bahkan sampai mencoba mendaftar menjadi tutor online di layanan pendidikan berbasis teknologi. Meski belum ada seorang murid yang mau mendaftar menggunakan jasanya.

Setidaknya ia sudah berusaha, begitu pikiran positif Ivony. Selama tidak bekerja ini, Ivony jadi memiliki waktu untuk tidur sore. Atau membantu Ibunya membuat kue dan mengobrol lebih banyak tentang sekolah.

Namun, Ivony tak bisa menampik kecemasan bahwa ia belum bekerja dan memerlukan uang untuk membiayai ini dan itu. Tabungannya perlahan akan habis kalau cuma digunakan tanpa diisi ulang. Sedangkan kebutuhan jelas tidak bisa dikompromi.

Ivony mencoba menekan rasa cemasnya dengan banyak tersenyum. Semua akan baik-baik saja. Sayangnya, perasaan gundahnya itu terus merongrong dan lebih semakin jelas ketika berhadapan dengan Mia dan Niki.

"Kalau kita punya masalah, akan lebih baik kalau diceritakan pada orang sekitar yang dipercaya. Dibanding dipendam dan membuat stres terus depresi," kata Mia saat baru masuk kelas. Petuahnya pasti karena baru saja membaca buku psikolog yang tidak pernah Ivony mengerti.

Ivony menggeleng dan mengorek isi tasnya mengeluarkan peralatan menulis. Sekarang isi tasnya bahkan lebih rapi dan tertata dibanding saat bekerja. Ya, siapa juga yang inget bebenah isi tas kalau sudah capek? Rasanya berminggu-minggu lalu, Ivony masukkan semua buku pelajaran ke dalam ransel supaya tidak ada yang tertinggal. Atau seringnya, buku pelajaran kemarin akan ikut terbawa di jadwal pelajaran selanjutnya. Sehingga tasnya berat bukan main.

"Ada masalah sama Arlando lagi?" tanya Niki penasaran dari bangku belakang.

Jam pelajaran pertama belum berbunyi. Jadi, murid dari kelas lain bisa bebas nyasar di kelas lainnya tanpa khawatir.

"Ih, kok cowok itu lagi, sih?"

"Ya, terus siapa dong? Biasanya cuma Arlando yang bikin kamu uring-uringan," sahut Niki langsung.

"Aduh, tapi kali ini bukan dia," bantah Ivony jengkel.

Niki berani menyebut nama Arlando. Sebab orang yang lagi diomongin belum muncul batang hidungnya di kelas. Ivony tidak peduli juga. Ia yakin, Arlando lagi nongkrong di luar sekolah atau berencana bolos. Barangkali Arlando ada di kantin dan ketawa bareng teman cowoknya. Mungkin... Astaga, kenapa jadi memikirkannya, sih?

"Udah beberapa hari kamu melamun. Kadang nggak fokus belajar," sahut Mia lembut. "Gara-gara pekerjaan, ya?"

Mia dan Niki yang duduk di dekatnya menatap Ivony lekat-lekat. Mulut Ivony membuka dan menutup. Hingga akhirnya ia menghela napas. Mau tak mau, ia menceritakan tentang keputusan resign dan akibat dari pilihan yang telah dibuatnya.

"Tapi, aku udah coba ngelamar. Bahkan sampai aku daftar jadi tutor pelajaran via online. Kayaknya belum rezeki, udah berhari-hari belum ada yang mau pakai jasaku," keluh Ivony sambil duduk menghadap belakang.

"Kamu coba jadi tutor dari teman adikmu aja. Kamu kan bisa ngajarin adikmu. Pasti kamu juga bisa ngajarin teman sebayanya," cetus Niki bergelora.

"Kamu bisa minta tolong adikmu buat promosiin jasa usahamu," tambah Mia ceria dan meniru posisi duduk Ivony menghadap belakang.

Niki melentikkan jari seolah mendapat ide dahsyat. "Oh. Atau kamu jadi tutornya Arlando aja? Coba kamu ajukan diri. Pasti dia setuju. Lumayan cara cepat, kan?"

Mia yang duduk samping Ivony menepuk pundaknya penuh dukungan. "Benar. Apalagi Bu Rusly selalu menempatkan kalian berdua di pelajaran matematika. Jadi pasti terbiasa."

Ivony memutarkan kedua bola mata. "Niki dan Mia. Sahabatku super baik. Kalian sendiri tahu bagaimana tidak cocoknya aku dan Arlando. Lagian nih, ya. Kalau Bu Rusly enggak minta kami sebangku di setiap pelajaran matematika dulu. Kayaknya nggak mungkin juga aku mau dekat sama dia."

"Tapi nggak ada salahnya menularkan ilmu. Lagian juga itu cara paling cepat supaya kamu bisa bekerja dan berpenghasilan," kata Niki gemas.

"Benar, tuh," sambar Mia. "Menurutku, kalian udah kenal lama. Terus udah terbiasa dengan kebiasaan masing-masing. Kamu juga paling tahu bagian yang nggak Arlando ngerti. Jadi, aku jamin kalian pasti bisa jadi tutoran."

"Aduh." Ivony menepuk kening. "Kalian tahu sendiri, Arlando tuh semberono banget. Dia pernah bawa bukuku dan lupa mengembalikannya. Terus suka seenaknya ngambil makanan aku. Oh, ya. Kami nggak pernah cocok dalam setiap sudut pandang. Kayaknya dia emang suka cari gara-gara...."

"Ivony...." kata Niki memotong.

"Apa?" Ivony menatap Niki. "Niki jangan bilang kamu bela dia? Cowok itu sumber masalah setiap kali masuk ke kehidupan aku. Kayaknya dia sengaja cari mas—"

"Itu... ada orangnya." Mia menengur sambil menggerakkan mata ke depan.

Ivony langsung berpaling ke depan dan mendapati wajah Arlando yang berjarak beberapa inci dari tempat duduknya. Bingung. Gak enak hati. Ivony akhirnya cuma bisa meringis. Sejak kapan cowok itu di situ, ya? Nyali Ivony menciut sendiri.

Jantung Ivony berdetak-detak menunggu reaksi Arlando. Beberapa detik terlewati begitu saja. Jika bisa menggorek lantai kelas dan bersembunyi di dalamnya, Ivony pasti melakukannya sekarang. Mukanya terasa panas dan rasa malunya menggerogoti dirinya seiring detik berlalu.

"Aku pinjem pulpenmu, ya?" ujar Arlando tenang sambil mengambil pulpen di meja Ivony yang tadi sudah ia siapkan untuk belajar.

Tanpa menunggu jawaban, Arlando beranjak ke arah belakang. Mata Ivony, Niki dan Mia mengikuti gerakan cowok itu. Ia duduk di baris ketiga. Asal-asalan memilih kursi yang kosong dan meletakkan tas di sana. Gayanya jelas tanpa beban. Gesturnya seolah tidak memedulikan sekitarnya. Begitu Arlando duduk, Ivony dan temannya langsung menghadap depan lagi. Niki berpamitan balik ke kelasnya sendiri.

"Dia dengerin omonganku nggak, ya?" tanya Ivony berbisik selepas Niki sudah keluar kelas. Ia jadi membenci dirinya sendiri karena membicarakan cowok itu dan tahu-tahu cowok tersebut muncul.

"Aku rasa iya," sahut Mia apa adanya.

Ivony mengembuskan napas resah. Ia juga baru sadar dari tadi menahan napas. Rasanya Ivony yakin dirinya tidak bisa bernapas lega jika Arlando masih di sekitarnya.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang