be a guest

0 0 0
                                    

Raut wajah Arlando serta merta berubah murung. Ia jelas tak bergairah lagi untuk sekadar berdebat atau bercanda dengan Ivony. Maka, Ivony cukup peka untuk mengusap pundak Arlando. Ia tak mempunyai kata-kata untuk menghibur jadi Ivony berpikir bahwa usapan itu sudah cukup mewakili empatinya.

Tak lama, pagar terbuka dan menampilkan wajah Bi Ani, asisten rumah tangga di rumah Kinan. Wajah teduh Bi Ani langsung menyambut Arlando dan Ivony. Sambutan hangat itu membuat Arlando menetralkan situasi hatinya. Ia mengulas senyum tipis.

"Eh, ada Bi Ani," sapa Arlando sambil mencium punggung tangan Bi Ani.

Bi Ani mengibaskan tangan setelah Arlando takzim kepadanya. "Masih ada salim, ke Ibu dan Bapak saja salimnya."

"Nggak apa-apa, kan Bibi juga orang tua saya juga," sahut Arlando sambil terkekeh.

Ivony bertemu Kinan sesaat memasuki rumah. Tampak Kinan belum lama pulang sekolah, rambutnya masih terikat pita merah khas saat ia pertama kali bertemu cewek itu di sekolahnya. Lalu, Kinan juga belum berganti pakaian dan masih menggunakan seragam. Cewek itu melambaikan tangan.

"Jorok belum ganti baju," komentar Arlando dengan eskpresi sok jijik.

"Aku baru saja pulang sekolah, keasikan nongkrong di kantin sampai lupa waktu Kak," ujar Kinan sambil tertawa. "Bi Ani udah masak, loh. Makan bareng, yuk! Kak Ivony juga yuk makan bareng."

Ivony melihat jelas keakraban yang terjalin antara Arlando dan Kinan. Sikap ceria dan terbuka Kinan menjadi sinyal untuk mudah bergaul. Ia sendiri belum tahu hubungan Arlando dan Kinan seperti apa. Mereka dekat. Namun Arlando juga sama seperti Kinan yang mudah bergaul dengan siapa saja, jadi sulit untuknya mengidentifikasi hubungan keduanya.

Di lain sisi, jelas bukan hubungan pacaran. Karena Salsa yang menceritakan bahwa Kinan tidak diizinkan pacaran oleh orang tuanya. Namun tidak diizinkan pacaran bukan berarti tidak boleh naksir. Bisa saja HTS (Hubungan Tanpa Status). Ih. Ivony menepuk keningnya, merasa aneh dengan jalur pemikirannya sendiri.

"Kenapa?" tanya Arlando melihat gelagat aneh Ivony.

"Ayo, masuk!" ajak Kinan.

Arlando dan Ivony memasuki rumah mengekori Kinan yang menuju ruang makan. Ternyata sudah ada Ibu Kinan yang sedang menyiapkan piring dan Ayah Kinan yang sedang membaca koran. Kepala orang tua Kinan langsung menoleh melihat kedatangan tamu. Arlando yang dengan ceria menghampiri Ibu Kinan dengan mencium punggung tangannya lebih dulu, lalu dilanjut ke Ayah Kinan.

"Gimana tadi di sekolah, Arlan?" tanya Ibu Kinan sambil mengambil dua piring tambahan dari rak piring dan meletakkan di meja.

Ivony tak menduga, Arlando berbicara banyak. Ia memang suka berbicara banyak padanya di sekolah atau pada teman-teman. Namun hal ini berbeda ketika Ivony membandingkan antara Arlando berbicara ke Papinya tadi dan Arlando mengobrol ke orang tua Kinan. Sedekat dan seerat itu mereka, pikir Ivony sambil menyimak Arlando yang menceritakan tentang pulpennya hilang sesaat ditinggal di meja.

Mengapa orang yang dikenalnya itu bisa memiliki kepribadian yang berbeda hanya dalam satu waktu. Ivony tak mengerti. Di depan Papinya tadi, Arlando tampak jarang berbicara dengan Papinya, terlihat jelas seperti menahan banyak kata-kata. Namun di depan orang tua Ivony, ia bisa luwes berbicara seolah sudah sering melakukannya.

"Aku juga heran kenapa pulpen ditinggal di meja bisa cepat hilang," keluh Arlando sesampai di ruang meja makan dan duduk di salah satu kursi kosong di meja makan.

"Ih, sama di kelasku juga begitu," sambung Kinan yang memilih duduk dekat Ayahnya di seberang Arlando duduk.

Ayah Kinan melipat korannya dan meletakkan di belakang kursi. "Kamu juga pasti suka ambil pulpen orang Arlan, ya kan? Makanya pulpenmu juga hilang."

Arlando terkekeh. "Sebetulnya itu juga pulpenku, Yah. Aku menemukannya di meja guru. Karena sampai akhir kelas selesai nggak ada guru yang ambil jadi aku wakilkan saja."

"Ah, ada-ada saja kamu ini. Mirip Ayah dulu juga begitu." Ayah Kinan tertawa terbahak.

"Aduh, kalian sama saja, suka ambil pulpen waktu sekolah," keluh Ibu Kinan. Kepalanya berpaling ke arah Ivony. "Kenapa masih berdiri, Nak? Ayo, duduk bareng. Kita makan bareng."

Ivony yang sedari tadi berdiri canggung menanti penawaran duduk tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, Ivony berpikir duduk samping Kinan atau duduk di samping Arlando. Meja makan itu terdiri dari enam kursi yang teratur mengelilinginya, menciptakan formasi simetris.

Setiap kursi memiliki desain yang sama, dengan bahan kayu yang kokoh dan dudukan empuk berwarna netral yang memberikan sentuhan kenyamanan. Kursi pertama diletakkan di sisi meja yang berlawanan, menciptakan pusat pandangan yang membagi meja menjadi dua bagian yang seimbang. Kursi-kursi berikutnya diatur secara bergantian, memberikan ruang yang cukup untuk setiap orang yang akan duduk di sana. Pengaturan kursi ini memberikan kesan terbuka dan ramah, memastikan bahwa setiap orang di meja memiliki pandangan yang baik dan dapat berinteraksi dengan yang lainnya. Oleh karena itu juga, Ivony tidak ingin canggung apabila duduk di samping Kinan. Namun ia juga terlalu malu jika terlihat ingin duduk dengan Arlando. Di lain sisi, hanya Arlando yang ia kenal akrab.

Ketika Ivony sedang memikirkan itu, Arlando menarik kursinya dan menepuk alas bangku memberi kode untuk duduk di sampingnya. Ivony mendesah lega. Ia tak akan terlihat seperti orang kepedean yang ingin duduk samping Arlando. Karena untungnya cowok tersebut yang menawarkan.

Sedap aroma makanan yang lezat menyambut ketika Ivony duduk. Piring-piring diatur rapi di atas meja, dan setiap kursi memiliki gelas minuman di sisinya. Sendok dan garpu ditempatkan di sisi piring, siap digunakan untuk menyantap hidangan yang ada di depan. Ibu Kinan duduk di sebelah anaknya dan meminta suaminya memandu doa. Setelah doa bersama, mereka melanjutkannya dengan makan. Awalnya Kinan bercerita tentang situasi sekolahnya. Lambat laun Arlando ikut terlibat juga sambil berkomentar. Makan bersama itu diisi suara tawa dan obrolan ringan, menciptakan suasana akrab di antara keluarga.

Makanan yangdisiapkan dengan penuh kasih sayang juga begitu lezat di lidah Ivony, dan setiapkali ia menyantap makanan sesekali Ivony melirik ke Arlando yang makan denganlahap. Seolah tadi tidak terjadi apa pun. Ivony berpikir mungkin ia sebaiknyajuga tidak berkomentar soal kejadian Papi Arlando dan Arlando tadi.


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang