Assembly

22 9 0
                                    

Setelah motor Niki yang membonceng Mia menjauh, tak lagi terlihat di pelupuk mata, Ivony beranjak pergi ke arah berlawanan. Biasanya jalur mereka pulang searah ke jalan kenanga dan baru berpisah di perempatan jalan begonia . Maklum Niki dan Mia tinggal di komplek daerah itu. Sedangkan Ivony tinggal di jalan asoka, perumahan warga yang tak jauh dari pom bensin.

Tapi khusus hari ini, mereka langsung berbeda arah pulang saat di lampu merah. Dua kilometer dari jarak sekolah. Ivony sudah memberitahu Niki dan Mia bahwa ia akan datang rapat ke sekolah adiknya. Mereka menawarkan diri menemani.

"Akan sangat aneh tiga cewek SMA menjadi wali satu cewek SMP. Mau rapat atau ke mall?"

Ivony memberi alasan terlogis yang disambut derai tawa dua temannya itu. Karena sudah memahami, mereka tak mendesak. Langsung pulang saja.

Kini, Ivony memacu sepedanya ke SMP Kaisiepo di jalan kastuba. Melewati restoran burger yang aromanya membuat lapar. Melintas konter-konter pulsa berspanduk kuning cerah. Hingga sampai tujuan yang disambut banyaknya pedagang kaki lima. Dari cilok, batagor, siomay, burger mini, bakso, dan sejenisnya yang membuat Ivony menenguk ludah.

Ia bergegas masuk sekolah itu dan memakirkan sepedanya di tempat parkiran sepeda. Lalu mengamati lapangan. Di lihatnya beberapa orang bergerombol di sisi timur. Aula, pikirnya teringat lokasi di undangan rapat. Ketika berjalan di lorong, Ivony bertemu seorang cewek berpita merah yang duduk sendirian di salah satu bangku kayu panjang.

"Hei." Ivony menyapa meski tak mengenal.

Cewek berpita itu menoleh. Wajah ovalnya yang masam berubah netral. Matanya menatap Ivony penuh tanya meski kelelahan tampak jelas di binar netranya. "Ya?"

Ivony memikirkan respons apa yang sebaiknya diberikan. Otaknya bekerja luar biasa. Entah karena empati atau sekadar kasihan. "Kok belum pulang?" tanyanya heran. Ia yakin cewek berpita merah itu seumuran adiknya. Kalau benar, harusnya ia sudah pulang saat jam dua siang tadi seperti Salsa.

"Aku sedang menunggu jemputan," jawabnya.

Oh. Ivony tidak terpikir sampai situ. Mungkin cewek itu sedang menunggu orangtuanya yang rapat. Itu bisa saja. Ia tak tega membiarkan cewek itu sendirian. Menunggu berjam-jam sendirian pasti sangat membosankan. Tapi tidak mungkin menemani karena harus masuk ke aula segera. Jadi, Ivony mengacak-acak isi tas. Ia sempat membeli makanan ringan kalau lapar saat jam istirahat di sekolah tadi. Sekarang, ada seseorang yang lebih membutuhkan.

Setelah ketemu, ia meretselting tas. Lalu Ivony berjalan menghampiri cewek itu. Hal tersebut membuatnya melihat lebih jelas badge nama yang melekat di seragam bagian dada sebelah kanan cewek itu. Tertulis: Kinan.

"Kinan, kalau kamu lapar, kamu bisa makan ini," kata Ivony mencoba meramah tamah dengan menyebut nama cewek itu. Sekaligus mengulurkan tiga makanan ringan ke arahnya.

Kinan menggeleng. "Terima kasih, Kak. Ibu bilang, aku enggak boleh makan makanan pemberian orang asing. Sebentar lagi kakak sepupuku juga jemput, kok."

Oh, menunggu kakak sepupu. Pantas tega!

Lalu teringat ucapan Kinan barusan, Ivony tak merasa tersindir karena orangtuanya sendiri juga berpesan hal serupa. Tapi ia tak yakin dengan kata sebentar. Terdengar seperti jawaban spekulasi untuk orang yang sedang menyembunyikan keraguan. Lantas memberi probabilitas yang terkesan melegakan. Entah ditujukan untuk menguatkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain.

Namun tak ada waktu untuk berbasa-basi. Karena semakin lama ia berbincang di lorong. Maka semakin banyak ia tertinggal informasi di aula. Jadi Ivony membuat keputusan impulsif. Ia meletakkan makanan itu di samping Kinan duduk.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang