Packed Lunch

1 0 0
                                    

Ivony terbangun dari tidurnya. Matanya masih terasa kantuk tapi ingatannya tentang Arlando akan datang menjemput menggerogoti pikirannya. Ia tidak mau Arlando sampai menunggu lama. Jadi, kali ini ia bangun lebih tergesa-gesa dari biasanya. Menurut Ivony, lebih baik ia yang menunggu dibanding Arlando harus menunggu dirinya sebagai pihak yang dijemput.

Setelah selesai shalat, Ivony segera memasak telur orek dan menghangatkan nasi sisa semalam untuk sarapan. Ia membuat sarapan untuk ia dan Salsa. Setelah selesai memasak telur, ibunya yang baru selesai shalat datang menghampiri Ivony di dapur.

"Mau telur orek juga, Bu?"

"Enggak. Ibu masih ada ubi rebus sisa semalam."

Jawaban Ibu yang seringkali Ivony sudah tebak karena sudah tersaji sepiring ubi rebus tertutup tudung saji berwarna merah. Namun meski sudah tahu, Ivony tetap akan bertanya jikalau ibunya ingin memakan masakannya yang terkadang asin.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Ibunya ketika duduk sambil menuang air dari ceret ke gelas.

Ivony jarang menceritakan kehidupan sekolahnya dengan detail ke Ibu. Apalagi jika berhubungan soal bayaran sekolah. Namun, Ivony belum menceritakan tentang ia resign dari restoran dan bekerja sebagai tutor pelajaran. Maka pagi itu, Ivony bercerita singkat ke Ibunya. Cerita itu selesai ketika Salsa terbangun untuk berwudhu ke kamar mandi dan menunaikan shalat, lalu kembali untuk duduk bersama di meja makan.

"Kakamu jadi pengajar tutor sekarang," kata Ibu begitu Salsa duduk di meja makan.

Salsa bertepuk tangan. "Keren sekali. Selamat ya, Kak. Terima kasih juga untuk sarapannya. By the way, Kakak mengajar tutor pelajaran apa?"

"Aku baru dapat satu siswi dan ia butuh diajarkan biologi. Nggak tahu kalau ia butuh diajarkan pelajaran lain."

Salsa mengangguk. "Aku bisa bantu promosikan jasa Kakak ke teman-temanku."

Ivony bersiul takjub. Adiknya memang supportif, sebagai Kakak, Ivony bersyukur. Pagi itu, ia dan Ivony bercerita ke Ibu tentang kehidupan di sekolah. Setelah usai sarapan, Salsa mencuci piring dan Ivony menyiapkan bekal nasi goreng. Lalu dilanjutkan mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah.

"Kok bikin bekalnya tiga, satu lagi buat siapa?" tanya Ibu ketika Ivony usai mandi.

"Eh ... itu ..."

"Buat pacar kali," ledek Salsa yang sedang mengambil salah satu bekal dan memasukkan ke dalam tasnya.

Tak lama dari ucapan Salsa, terdengar bel tanda ada tamu. Lalu disambut ucapan salam dari seorang cowok. Suara yang Ivony langsung kenali. Suara Arlando. Tampaknya Salsa juga mengenali suara itu karena keningnya seketika berkerut dan bibirnya berkomentar.

"Suaranya familier, ya. Kaya pernah dengar," ujar Salsa. Ia melirik ke arah Ivony. Sedangkan Ivony langsung buru-buru memasukkan kedua bekal yang sudah disiapkannya ke dalam tasnya.

"Aku pamit dulu, Bu," ucap Ivony tergesa-gesa sambil mencium punggung tangan ibunya dan berpamitan pergi.

"Aku belum salim sama orang tuamu," protes Arlando ketika Ivony sudah duduk membonceng dan memberi perintah untuk on the way.

"Kapan-kapan saja, jangan sekarang."

Ivony terburu-buru memakai sepatu sampai ia sadar lupa mengikatnya ketika sudah di pertengahan jalan. Diboncengan, Ivony bergerak perlahan-lahan untuk menyimpulkan tali sepatu agar talinya tidak bergelantungan di jalan. Akibat melakukan hal itu, pundaknya bertubrukkan dengan punggung Arlando beberapa kali yang memicu cowok itu menepikan motornya.

"Ada apa?"

"Aku lupa ikat tali sepatu," ujar Ivony jujur.

Arlando melirik ke footstep tempat kaki Ivony berpijak. Tak terduga, tangan cowok itu menyelipkan tali yang menjuntai ke sisi dalam sepatunya. Ia melakukan itu ke kedua sepatu.

"Untuk sementara diselipkan dulu, nanti sampai sekolah, kamu ikat sendiri."

Arlando mengatakannya dengan ringan, lalu kembali membawa motornya menembus kemacetan di pagi hari. Pagi itu, langit biru dengan awan tipis berlalu-lalang. Suara cicit burung bergabung dengan suara kendaraan bermotor di jalanan. Hingga simfoni keramaian jalanan itu terganti dengan suara gelak tawa dan obrolan siswa begitu sampai sekolah.

"Wah, Nak Arlando bonceng cewek, nih," seru Pak Satpam jail.

Arlando tertawa. "Lumayan usaha sampingan buat jajan."

Ivony ikut terkekeh mendengar jawaban Arlando yang di luar pemikirannya. Ternyata ia bukan hanya humoris, tapi cerdas berbahasa sehingga jawabannya otomatis memancing gelak tawa ia dan Pak Satpam seketika.

Di parkiran, Ivony melompat turun dari motor. Ia membuka ritsleting tasnya dan mengeluarkan bekal yang sengaja ia persiapkan untuk Arlando. Tangan kanan Ivony mengulurkan kotak bekal itu.

"Buat makan nanti siang."

"Wah, makasih, ya! Eh, tapi kamu juga bisa memberikan bekal itu di kelas. Kan kita satu kelas dan bisa makan bareng juga," protes Arlando yang awal wajahnya bersinar riang berubah kebingungan dengan cepat.

Ivony menggeleng. "Nanti fansmu ribut lihat idolanya makan sama cewek lain. Lagipula, bekal ini tanda terima kasihku karena kamu mengantar berangkat ke sekolah jadi aku tidak ada hutang budi ke kamu. Oh, ya, aku juga nggak mau makan bekal bareng kamu."

Arlando tergelak. "Panjang betul penjelasanmu. Kita makan bekal bersama saja nanti biar seru."

Tanpa menunggu jawaban atau protes dari bibir Ivony, Arlando sudah memarkirkan motor, mencabut kunci motornya, dan berjalan ke kantin menyambut teman-temannya di sana. Ivony mendengus. Cowok itu memang kurang ajar!


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang