First Love

1 0 0
                                    

Ivony berusaha menjalani minggu ini dengan baik. Hubungannya dengan Arlando akhir-akhir ini nyaris tanpa perdebatan berarti. Mia dan Niki menatap curiga untunglah Ivony sudah menjelaskan hingga mereka menganggap bahwa sahabatnya sudah jatuh cinta. Ivony tak yakin, apakah keakraban itu tanda cinta? Namun Ivony tak bisa berpikir tentang cinta, adiknya harus ikut serta kemah dan ia sudah mencicil membayar. Syukurlah sisanya bisa dibayarkan setelah kemah selesai, guru mengerti kondisi keuangan keluarga Salsa.

Hal yang tak pernah Ivony prediksi, Bagas datang di depan pagar sekolahnya. Dengan setelan kemeja kerja berwarna biru navy yang melekat sempurna pada tubuh cowok itu. Dari kaca penumpang yang diturunkan, Ivony bisa menyaksikan Bagas lebih tampan dari yang diingatnya sejak terakhir bertemu.

"Kamu tidak pernah menjawab telepon saya. Padahal ada beberapa siswa dari kenalan saya yang bisa saya referensikan," kata Bagas sesaat keluar mobil dan berhenti di hadapan Ivony.

Ivony menggaruk kening. Ia memang sering melewatkan telepon Bagas karena ketika melihat ponsel, hubungan telepon sudah dimatikan, menjadi misscall. Ivony penasaran apakah Bagas ingin memberinya referensi siswa atau ada keperluan lain. Tapi kesibukan sekolah dan mengajar Kinan menyita waktu Ivony hingga lupa menanyakannya ke Bagas.

"Maaf."

"Tak apa. Kamu sudah pulang, kan? Gimana kalau saya antar?"

Jangan. Itu ide buruk. Tidak sadarkah Bagas pernah mengacaukan sistematis konstalasi hidupnya? Ivony menggeleng.

"Tidak perlu. Saya bawa sepeda."

"Sepeda nanti bisa diurus sama asisten saya. Apa ada alasan lain?" Bagas menarik napas dalam-dalam. "Atau kamu ingin menghindari saya?"

Ivony ingin mengiyakan. Karena itu yang terbaik untuk semua orang. Oh, bukan. Itu yang terbaik untuk hatinya. Cowok itu pernah berciuman dengan cewek di gudang sekolah. Tidak ada yang tahu, hanya Ivony. Ya karena itu juga Ivony sakit hati, ia mencintai dan patah hati sendiri.

"Saya sudah lama putus dengannya. Kami ternyata nggak cocok."

Ivony terperangah karena Bagas seolah membaca isi tempurung kepalanya. "Kenapa? Karena nggak cocok?"

Ivony tak yakin kenapa ia begitu kepo. Apakah ia senang dengan kabar itu? Apakah berita putus itu telah membuka sedikit kesempatan untuk bersama Bagas dan mengulang cerita masa SMP? Arlando cinta pertamanya, tetapi masihkah? Ivony tak tahu karena pikirannya sibuk dengan pekerjaan dan tugas sekolah.

"Bagaimana kalau kita mengobrol sambil jalan?"

Ivony berpikir sejenak dan mengangguk. Ia menitipkan sepeda di pos satpam dan Bagas memberitahu satpam bahwa akan ada seseorang yang mengambilnya dengan alasan urgent keperluan keluarga. Ivony terpengarah, Bagas hebat mempengaruhi satpam agar sepakat dengan alasan yang dibuat-buat itu. Setelah urusan sepeda selesai akhirnya Ivony hendak masuk mobil. Namun Bagas sigap memperlakukannya bak putri raja. Cowok itu membukakan pintu mobil untuknya. Lalu setelah Ivony duduk nyaman, Bagas menutup pintu dan berlari ke arah pintu pengemudi dan masuk mobil.

"Jangan lupa pakai seatbelt."

Ivony mengangguk, terbiasa naik sepeda atau motor membuatnya tak terbiasa dengan sabuk pengaman mobil. Setelah itu, mobil bergerak menembus kemacetan kota. Awalnya mereka berdua diam. Ivony duduk kaku dengan menatap keluar jendela. Ia tak tahu harus menuntut jawaban sekarang atau membiarkan Bagas menceritakan duluan.

"Dulu saya salah menciumnya," kata Bagas akhirnya membuka suara. "Itu khilaf dan kesalahan. Seharusnya saya tidak melakukannya. Setelah lulus, kami memang berpacaran tetapi setiap bertengkar, cewek itu selalu saja meminta putus ketika berantem. Saya sudah sering mengalah. Tetapi saya pun lelah dengan pekerjaan, kenapa saya juga merasa lelah dengan hubungan ini? Yah, akhirnya kami putus."

"Putus begitu saja?"

"Putus nyambung tetapi akhirnya benar-benar putus karena ia tidak mengerti kesibukan saya bekerja. Lagipula sekarang ia sudah berpacaran dengan teman sekolahnya yang lebih mengerti kemauannya."

Ivony mengangguk. Bingung mau merespons apa.

"Saya ingat kamu pernah mengamati saya diam-diam. Saya sadar loh ketika sedang berlatih paskibra di lapangan, ada yang lihatin. Saya ingat kamu sering ambil posisi terdekat tapi di belakang orang-orang agar gak kelihatan saya begitu ketara, ya? Tapi posisimu yang seringnya dekat pagar itu malah kelihatan jelas karena itu posisi strategis untuk melihat ke lapangan."

Ivony kehabisan kata-kata. Ia sudah tahu diri ketika bersaing dengan cewek tercantik di sekolah dengan mengamati Bagas dengan tidak begitu ketara. Namun tindakannya yang berulang mengamati Bagas ternyata tampak mencolok di mata cowok itu. Ia menggepalkan tangan di pahanya. Kalau Bagas tahu ada yang mengamati kenapa tidak menegur atau sekadar menyapanya? Apakah ia malu mengenal dirinya?

"Kenapa kita nggak pernah bertegur sapa kalau begitu, ya?" tanya Ivony tak habis pikir.

Bagas memperbaiki posisi duduknya tampak gelisah. "Saya pun juga bingung bagaimana menegur kamu duluan."

Ivony menunduk. Hati kecilnya sedikit gembira karena ternyata Bagas juga menyadari kehadiran Ivony sejak dulu. Andai ia lebih berani bertegur sapa.

"Saya cari kamu di media sosial tapi gak ketemu. Terus saya coba cari kamu minjem akun temen saya ... eh ... ketemu. Kamu ngeblok saya, ya?" tanya Bagas sambil tertawa. "Saya cari kamu."

"Cari aku?" tanya Ivony salah tingkah.

"Ya, saya pengin tahu saja kabarmu," gumam Bagas. "Ternyata makin cantik dan masih pekerja keras."

Ivony merasa pipinya memanas. Bagas hanya memuji sekali tetapi mengingatkannya ketika SMP berharap bisa mengutarakan perasaan itu. Ivony menunduk untuk menyembunyikan rona pipinya yang tak terkontrol.

"Gimana kalau kita makan dulu?"

Ivony mengiyakan tetapi tak bisa berlama-lama karena harus mengajar Kinan. Bagas setuju dan mereka makan nasi goreng bersama. Bagas bercerita tentang kesibukannya sehari-hari. Ivony mendengarkan dan bertanya kenapa cowok itu menggunakan mobil bukan motor. Bagas semakin ceria bercerita bahwa motornya sedang diservice dan beberapa hari sedang rutin menggunakan mobil. Hari itu, Ivony mendengarkan update kehidupan Bagas yang tak pernah Ivony tahu.

Waktu berlalu begitu cepat, Bagas pun mengantar Ivony ke rumah Kinan. Cowok itu juga sudah meminta asistennya untuk mengantar sepeda ke rumah Ivony.

"Kamu mau dijemput?"

Ivony menggeleng. "Nanti aku pesan ojek online saja."

"Jangan ditolak terus tawaran saya dong. Kamu mengajar sampai jam berapa? Nanti saya ke sini lagi."

"Hanya dua jam. Tapi serius, aku bisa pulang sendiri."

"Saya lebih tenang kalau antar kamu pulang. Nanti dua jam lagi saya ke sini untuk jemput kamu, ya?"

Ivony akhirnya mengiyakan karena tidak ingin berdebat lebih panjang. Dua jam mengajar Kinan, Ivony lalui dengan ceria. Ia merasa aneh karena tidak sabar ingin dijemput Bagas. Ivony ingin mendengar cowok itu bercerita lebih banyak meski Ivony tidak melakukan hal sebaliknya. Namun sesaat Ivony ingin pulang, Arlando muncul di teras rumah Kinan.

Arlando berdiri mencegah jalannya dan mengerutkan kening. "Kamu diantar cowok itu ke sini?"

Ivony tak heran jika Arlando muncul di rumah Kinan. Karena memang begitulah kedekatan Arlando dengan Kinan.

"Kak Bagas maksudmu? Iya, dia yang mengantarku dan katanya mau jemput juga. Sudah, ya. Aku harus standby depan pagar rumah biar bisa langsung pulang."

"Kok kelihatannya senang banget?"

"Lah, aku harus pasang muka cemberut?" Ivony memutar bola mata tak habis pikir dengan jalan pikiran Arlando.

"Aku juga bisa mengantarmu ke sini."

"Dia yang datang tiba-tiba depan sekolah, kok."

"Tapi kamu bawa sepeda, begitu alasanmu menolakku setiap mau diantar."

"Ya, memang. Tapi ada asistennya yang mengurus sepeda dan kebetulan ada yang perlu dibicarakan dengan Kak Bagas."

"Bicara soal apa?"

Ivony terbelakak."Kenapa nadamu judes dan menginterogasi begitu, sih? Sudah, ya. Aku duluan."


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang