night

1 0 0
                                    

"Kamu pasti bingung kenapa aku tampak akrab, ya kan?"

Arlando bertanya hal itu ketika mereka keluar dari pintu pagar. Ivony menggunakan sepedanya dan bersisian dengan Arlando di sebelahnya yang menggunakan motor. Malam itu udara terasa sejuk. Awan menggulung-gulung di langit. Suara jangkrik mengerik. Komplek perumahan lebih sunyi dari yang Ivony pikirkan.

Ivony sesekali melirik ke arah Arlando yang tampak serius. Wajah jenaka yang biasa ia tampilkan depan orang lain seakan sirna. Kini yang ia lihat hanya seorang anak SMA yang keningnya berkerut, mungkin sedang bergelut dengan pikiran sendiri untuk mengeluarkan kalimat yang mudah dicerna.

"Sebetulnya aku sama Kinan itu sepupuan," ujar Arlando perlahan. "Jadi ibuku punya adik, nah adik Ibu itu punya anak namanya Kinan."

Ivony mengangguk. Kini rasa penasarannya telah terobati oleh jawaban yang selama ini ia cari tentang kemungkinan hubungan antara Arlando dan Kinan. Ia tersenyum menanggapi penjelasan Arlando. Secarik kelegaan tergambar di wajahnya, merasa seolah menemukan potongan teka-teki yang penuh tanda tanya selama ini.

"Oh, jadi begitu. Awalnya aku sempat bingung, tapi sekarang sudah jelas," ujar Ivony.

Arlando melanjutkan ceritanya. "Aku sebetulnya sering main ke rumahnya. Jadi, bukan hal aneh kalau kita kenal erat."

Ivony mencerna informasi itu. "Menarik sekali. Ternyata kalian punya hubungan keluarga yang dekat, ya.

Arlando mendengus. "Karena orang tuaku sibuk, mereka seolah lebih peduli pada berapa jumlah angka yang di dapat tiap bulan dibanding bertanya nilaiku. Mereka juga lebih sering menatap laptop dibanding menatapku. Namun mereka akan marah jika ada nilai di raportku yang buruk, tetapi tak pernah bertanya alasan raportku bisa buruk di beberapa mata pelajaran."

Ivony bisa merasakan kekesalan dan kekecewaan dalam kata-kata Arlando. Rasa ingin tahu yang tadinya menggelayuti Ivony kini berubah menjadi empati. Ternyata diam-diam, Arlando merawat luka-lukanya sendiri dibalik tawa dan canda yang sering ia tampilkan.

"Kadang-kadang, rasanya seperti aku lebih dianggap sebagai angka-angka di raport saja daripada sebagai anak yang punya perasaan dan mimpi," ucap Arlando mengembuskan napas.

"Aku rasa, setiap orang punya cara sendiri dalam mengekspresikan perhatian dan kasih sayang. Mungkin orang tuamu hanya belum menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya." Ivony mengatakannya dengan hati-hati.

Arlando tersenyum tipis, "mereka tidak mengerti hobiku. mereka hanya memastikan uang saku selalu ada tapi tidak pernah mencoba untuk memahami hal yang lebih membuatku tertarik."

Ivony menyatakan dengan simpati, "Terdengar sulit. Aku yakin mereka punya alasan tersendiri, meskipun mungkin terkadang sulit dimengerti."

Arlando menatap Ivony dengan pandangan yang penuh pemahaman. "Kamu satu-satunya orang yang benar-benar mencoba mengenaliku lebih dalam. Terima kasih, Vony."

Ivony tersenyum. "Kadang keluarga bisa membuat kita merasa serba salah, tapi teman bisa menjadi keluarga yang kita pilih sendiri."

Arlando mengangguk tampak lega setelah bisa berbagi perasaannya dengan Ivony. Percakapan pun berlanjut, Arlando menceritakan tentang kondisi keluarganya. Orang tua sibuk bekerja. Tak ada tempat bercerita. Untung ia mempunyai sepupu dan keluarga sepupu tersebut merangkul dan menerimanya dengan baik. Kadang orang yang tidak tahu menyangka Arlando dan Kinan pacaran saking terlihat akrab, padahal mereka hanya saudara sepupu. Tak lebih.

"Lalu, Papamu tadi ...." Ivony mencoba mencari kata-kata yang lebih sopan.

"Sibuk bekerja. Hanya peduli kalau aku membuat keonaran. Di lain sisi, aku juga malas berurusan dengan guru. Jadi aku menarik orang tuaku dengan cara lain, menulis sampai beberapa kali tulisanku masuk koran lokal. Sayangnya, bukan koran nasional seperti yang dia baca jadi Papi tidak tahu."

Ivony langsung mengingat ucapan Mia dan Niki dulu tentang tulisan puisi Arlando yang masuk koran. Ternyata benar, itu Arlando yang dikenalnya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa temannya mempunyai bakat dan berprestasi, sayangnya tidak didukung oleh orang tuanya.

Ivony menatap Arlando dengan penuh simpati. "Sangat sulit jika orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan. Aku bisa merasakannya."

Arlando menghela napas. " Aku merasa kesepian dan terabaikan. Hanya di rumah Kinan aku menemukan kehangatan dan dukungan yang membuatku bisa melalui hari demi hari. Meski ketika aku kembali ke rumah, perasaan kesepian itu hadir kembali."

Ivony menganggukmengerti. Malam itu, mereka berdua melanjutkan percakapan. Kini, ia merasakankedekatan yang berbeda sejak malam itu. Seolah secara perlahan-lahan, merekamembuka rahasia dan luka masing-masing.


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang