Strong

30 8 1
                                    

"Baguslah hari ini kamu tidak terlambat."

Jantung Ivony tersentak hanya dengan mendengar komentar dari suara familier itu. Ia bersyukur tangannya sibuk mencuci piring jadi tidak ada alasan untuk seseorang menyerangnya dengan kalimat terlihat bermalas-malasan. Ia menoleh ke arah Rita yang bersedekap di sampingnya.

Cewek itu berharap ketenangan dan kedamaian bekerja sehari saja tanpa diusik oleh atasan. Tapi itu tampak hal mustahil. Karena Rita selalu hadir di Restoran Jingga Malam. Seolah ia tidak pernah menggunakan jatah libur sehari dalam seminggu.

Rita memang bagian penanggungjawab di restoran ini. Tapi Ivony merasa kalau Rita selalu mengoreksi seluruh pekerjaannya. Meski begitu, ia tidak berdaya untuk melawan. Dulu, adik Rita—Sasika—yang meyakinkan kakaknya agar Ivony bisa bekerja part time di sini setiap pulang sekolah. Tanpa tes apa pun. Ivony meletakkan harapan hingga akhirnya terwujud. Mungkin karena itu juga Rita terus mengawasinya. Agar tidak melakukan hal bodoh.

Ivony tersenyum, seketika waspada terhadap serangan apa pun. "Ya. Hari ini tidak ada tugas sepulang sekolah. Tidak ada PR juga."

Bohong besar. Harapan tanpa PR justru kebalikannya. Ivony punya segunung PR bahasa Indonesia. Matematika di LKS. Merangkum Sejarah bertema masa kolonial VOC. Tapi yang ada di benaknya sekarang, kolonialisme belum berakhir jika bekerja dibawah kekuasaan Rita.

Namun ia harus bertahan. Sejak ayah meninggal, bukan hanya emosional yang terguncang tapi juga keadaan ekonomi keluarga. Ibu memasak kue dan menjualnya di warung-warung. Untung tidak seberapa. Bahkan kadang Ibu kasihan dan tidak tegaan jika ada yang berhutang. Adik Ivony, Salsa, masih SMP. Ia juga menjual kue Ibu dengan menitipkannya di kantin.

Harus dititipkan di kantin. Begitu pesan Ivony selalu. Ia tidak ingin pelajaran Salsa terganggu kalau adiknya nekat berjualan sendiri dengan keliling kelas. Untung adiknya menurut dan tidak membadel. Sedangkan, Ivony memutuskan bekerja di restoran. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya ia pernah bekerja di laundry dan jaga konter pulsa. Tapi gaji di restoran ini yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan. Bayar keperluan sekolahnya dan Salsa tiap bulan.

"Bagus kalau gitu. Kamu bisa kerja sampai closing," kata Rita ceria.

Ia berdeham. "Tapi, besok masih sekolah, Kak. Aku sekolah pagi, bukan siang."

Kening Rita berkerut. "Oh, gitu. Baiklah. Harusnya kamu bisa lebih pintar mengatur waktu sekolah dan kerja, Ivony."

"Ya, Kak. Terima kasih."

Terima kasih untuk apa? Ivony sendiri tidak tahu tapi kalimat itu yang terlontar. Karena sepengetahuannya, ia sudah mengatur waktu dengan baik. Sekolah pagi sampai sore jam empat. Pulang ke rumah. Berganti baju. Dari jam lima sore sampai sepuluh malam kerja di restoran. Pulang sampai rumah bisa pukul setengah sebelas atau setengah dua belas malam. Faktornya beragam. Tapi yang lebih utama karena menggunakan sepeda untuk pulang yang jarak rumah-restoran lumayan jauh atau membersihkan ini itu tambahan atas perintah Rita. Kalau ingat mandi, ya ia mandi. Tapi lebih seringnya pulang langsung tidur karena lelah. PR dikerjakan pagi. Ya, ia sudah pintar mengatur waktu. Saking pintarnya lebih sering ngantuk.

"Ya, sudah. Habis cuci piring ini. Buang sampah. Oh, ya, jangan lupa pel lantai teras," ujar Rita sambil beranjak pergi.

Ivony tak tercengang. Sudah biasa disuruh dadakan. Lompat kerja ini dan itu. Padahal kesepakatan awalnya hanya mencuci peralatan makan konsumen. Pemilik restoran juga sudah mengiakan dan sangat toleransi, mengingat Ivony masih sekolah. Tapi pemilik restoran tidak selalu ada di restoran. Jadi setiap hari, pekerjaan Ivony bisa melebar membersihkan apa saja.

Rita sangat berbeda dengan Sasika. Sasika begitu ramah dan sesekali membawa makanan untuknya. Sikapnya tidak pernah merendahkan orang lain. Bahkan cendrung lemah lembut. Di sekolah pun ia begitu meski kini tak lagi sekelas.

Disyukuri saja, batin Ivony sambil bekerja. Begitu selesai mencuci piring. Ia mengangkut plastik sampah yang penuh di setiap sudut ruang. Lalu, memindahkannya ke tong sampah besar yang berada di belakang restoran. Berlanjut mengambil sapu dan pengki untuk menyapu teras. Lantas di pel. Balik lagi ke tempat cuci piring.

Sampai pukul sepuluh jelang restoran tutup, ia berpamitan pada pegawai lain. Mendapat nyinyir dari Rita bahwa ia terlalu on time pulang. Ivony tak menggubris. Setengah jam kemudian saat sampai rumah, ia merebahkan tubuh di kasur. Kaos berkerah bertulis Restoran Jingga Malam berwarna kuning merah lengket menempel di tubuhnya. Ibu dan adiknya sudah lelap. Cewek itu pun tak repot-repot menyalakan lampu kamar. Biar saja cahaya lampu jalanan menerebos jendela kamar yang sengaja ia buka.

Rasanya baru sebentar ia tertidur ketika guncangan di bahu membangunkannya. Ivony terjaga penuh ketika melihat wajah bundar Salsa. Sulit menilik ekspresinya di ruang gelap. Mau tak mau, ia menyalakan lampu.

"Salsa? Ada apa?" tanya Ivony sambil mengucek matanya.

"Kak, maaf ya. Padahal masih dini hari dan kakak baru saja pulang. Aku enggak bermaksud membangunkan kakak, kok. Cuma mau meletakkan amplop aja di meja. Sekalian nyelimutin kakak," jelas Salsa dengan senyum setengah hati.

Ivony tahu pasti ada yang ingin Salsa bicarakan. Biasanya berhubungan dengan sekolah. Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah pasti mengeluarkan biaya. Tidak semua, sih. Ada juga yang tentang prestasi atau kabar adiknya memenangkan lomba. Tapi dengan ekspresi Salsa yang sedih pasti jelas tujuannya ke sana.

"Amplop apa?" tanya Ivony langsung. Seingatnya ia sudah datang ke sekolah Salsa sebulan lalu untuk mencicil LKS dan meminta guru koperasi tidak perlu menangih adiknya. Kasihan. "LKS, ya? Akhir bulan kakak pasti bayar sisanya."

"Bukan," sahut Salsa. "Surat dari sekolah. Undangan rapat orangtua untuk membahas acara perkemahan yang mau diadakan sekitar Mei, Juni dan Juli. Tergantung situasi."

Kemungkinan isi rapatnya membahas tentang dana. Seperti tahun sebelumnya Salsa kemah. Memang sih ada tentang keselamatan dan perlengkapan. Tapi jelas masalah utamanya, dana.

Ivony menenguk ludah. Ia sudah mendapat firasat bahwa isi dompetnya akan melayang dengan cepat. Tapi tidak ia sangka akan secepat ini. Cewek itu tak keberatan kalau Salsa ikut perkemahan. Justru ia mendukung. Karena sejak awal masuk SMP, Ivony sudah mendorong adiknya untuk semangat jika ikut eskul pramuka.

"Kalau kakak enggak bisa datang. Salsa izin ke guru. Pasti mereka paham," katanya.

Meski sudah mencoba tegar, ada nada ketidakberdayaan yang jelas tersirat. Ivony mengusap pundak adiknya dengan penuh kasih. Ia sudah berjanji untuk menjadi perisainya. Biar Ibu di rumah dan tidak perlu beraktifitas yang tak perlu. Cukuplah memasak dan berdagang. Urusan sekolah Salsa, selama ia bisa tanggung biar ia yang mengurus.

"Enggak usah. Nanti kakak datang rapatnya. Kapan?"

"Nanti jam lima sore. Kakak bisa?"

Lagi-lagi kegiatan tak terduga. Ivony mengangguk. "Bisa. Kakak pasti datang sesudah pulang sekolah. Kamu langsung pulang aja. Jaga Ibu di rumah."

Salsa senyum semringah. Ia berpamitan keluar kamar Ivony dan ingin melanjutkan tidurnya. Ketika pintu kamar ditutup dari luar, Ivonya langsung terperangah. Nanti jam lima sore? Bukan besok. Maksud adiknya nanti karena sudah ganti hari. Pantas saja Salsa memberitahunya segera. Sedangkan ia saja baru tidur sebentar. PR belum juga dikerjakan. Ivony melirik jam di dinding kamarnya. Pukul dua dini hari.

Pagi itu, waktu yang sama baiknya untuk menjejalkan pakaian bebas sopan ke tas. Bukan untuk bolos. Tapi menghadiri rapat sepulang sekolah. Hidup yang luar biasa, gumam Ivony menahan kantuk.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang