He is not into you

1 0 0
                                    

"Ada teman sekelasku yang menjengkelkan. Ia mengomentari hidupku dengan sembarang di depan orang-orang," ujar Ivony begitu bertemu Bagas yang menjemputnya dengan mobil.

Meski mobil ber-AC tetapi Ivony merasa otak dan benaknya mendidih oleh amarah. Ia ingin melanjutkan perdebatannya dengan Arlando. Namun cowok itu terlihat gelisah dan pulang buru-buru seolah ada masalah yang harus diselesaikan. Kalau saja hubungan mereka akur, Ivony pasti sudah bertanya tetapi ia masih marah dengan Arlando. Seolah Arlando memang sengajar menghindarinya.

"Ah, teman kantorku juga menjengkelkan kok. Padahal aku magang, tetapi ia sering gak masuk. Akhirnya tugasku sering double untuk bantu handle tugas magangnya. Ya, niatnya sama-sama selesai tepat waktu, tetapi kalau begini terus jadi berat."

Ivony memijat pelipisnya. Harusnya ia sudah tahu Bagas tak akan mendengarkan. Ia rindu saat Bagas pertama kali bertemu dengannya dan ingin tahu kabarnya, bukan sibuk bercerita sendiri. Kini Bagas lebih sibuk cerita dengan subjeknya diri sendiri. Seolah yang mempunyai masalah dan keluhan hanya Bagas. Kenapa Ivony menyadarinya dengan terlambat begini? Rasanya, Bagas tidak menyukainya hanya senang ada yang mendengarkan ceritanya.

"Kamu harusnya tegur temanmu itu, Kak," respons Ivony seadanya.

Bagas mengendarai mobil dengan fokus sambil berbicara. "Sudah ditegur tetapi masih begitu. Nggak sadar diri banget, kan? Aku cuma ingin selesai magang dengan baik apalagi bawa nama Papi karena tempat magangku itu kenalan kawan Papi."

"Sama sih kaya temanku menjengkelkan. Sejak awal memang dia sumber masalah, sih," kata Ivony mencoba mengarahkan kembali ke sesi curahan hatinya sendiri, berharap sebentar saja Bagas mendengarkan.

Bagas menghela napas. "Ya, menjengkelkan kaya temanku. Aduh, aku tuh ngeluh ke Papi. Tapi kata Papi, magang itu tanggung jawab mahasiswa jadi harus diselesaikan dengan bijaksana. Jawaban Papi kaya nggak mengatasi keluhanku, kan?"

Ivony sedang tak bersemangat merespons cerita Bagas. Jadi hari ini, ia meminta langsung diantar ke rumah Kinan saja. Tanpa sesi makan bareng dulu.

"Aku pulang sendiri saja, Kak. Hari ini sesi belajarnya agak lama," alibi Ivony begitu sampai di depan pagar rumah Kinan.

"Iya. Aku juga kayaknya perlu istirahat, lelah juga. Aku duluan, ya?"

Ivony lega begitu Bagas beserta mobilnya menghilang dari pandangan. Ia masuk ke rumah Kinan setelah asisten rumah tangga mempersilakan masuk. Namun ia terkejut sesaat melihat Arlando yang tertunduk lemas di bangku teras.

Cewek itu terkejut karena Ivony melihat Arlando sudah pulang duluan. Tak menyangka ternyata cowok itu malah sudah sampai rumah Kinan duluan. Kinan yang duduk di sisi kanan Arlando hanya mengangkat bahu saat melihat mimik Ivony bertanya-tanya.

Apa hari ini Kinan memang meminta Arlando untuk datang mengajar biologi? Apakah belajar biologi sesudah matematika atau sebaliknya? Ivony tak sempat bingung lebih lama karena Arlando memanggil namanya seolah pertengkaran tadi di sekolah tak pernah terjadi.

"Ivony." Arlando memanggil kedua kalinya.

"Ya?"

"Kenapa ya aku nggak akur sama orang tua? Kamu pernah ribut sama Ibumu? Atau kamu pernah ribut sama adikmu? Rasanya aku nggak ingat pernah ribut sama Kinan ataupun orang tuanya."

Ivony melongo karena Arlando seperti senapan mesin yang mengeluarkan peluru dengan cepat. Terlalu banyak pertanyaan yang diajukan. Ia akhirnya meminta Kinan menunggu di dalam karena perlu mengobrol berdua sebentar dengan Arlando.

"Ia tampak sedih pas tadi ke sini," bisik Kinan ke Ivony, lalu masuk rumah.

Ivony mengangguk, lalu mengambil posisi duduk tempat Kinan tadi. Duduk di samping Arlando terpisah meja mungil yang tersaji es teh. Ia melihat rambut Arlando acak-acakan.

"Aku ribut sama Papa. Papa masuk kamar dan lihat tulisanku di koran di atas meja. Aku kira Papa bangga tetapi sebaliknya, ia memaki. Katanya aku nggak serius sekolah dan buang-buang waktu menulis. Papa bilang ia sibuk bekerja dengan Mama untuk kepentinganku. Tapi kenapa mereka harus marah, Vony? Mereka kan nggak pernah peduli ke aku."

"Mereka cuma nggak paham maumu. Kamu pernah bilang apa yang kamu ingin ke mereka?"

Arlando menggeleng. "Mereka aja sibuk, bagaimana mau dengar apa yang aku mau?"

"Kalau nggak pernah coba, kita nggak pernah tahu."

Wajah Arlando yang kesal dan tidak berdaya itu mendongak menatap Ivony. Wajah resahnya berangsur hilang. Ia seolah mendapat ilham.

"Kamu benar. Aku emang nggak pernah bilang apa mauku. Aku sudah keburu jengkel duluan karena mereka sibuk."

"Mendiang Bapakku dulu sibuk bekerja juga, kata Ibu itu demiku dan Salsa. Ya, setelah tabungan yang Bapak sisakan untuk keluargaku bertahan hidup, aku tahu Bapak memang bekerja untuk kami."

"Mendiang Bapakmu hebat," respons Arlando.

Sahutan singkat Arlando seketika menyadarkan Ivony betapa kontras Arlando dan Bagas. Arlando selalu merespons ucapannya. Apa pun itu ucapan Ivony, Arlando akan mendengarkan atau merespons. Berbeda dengan Bagas yang hanya berorientasi cerita tentang dirinya sendiri dan tidak menyimak cerita Ivony.

"Papamu juga hebat," balas Ivony.

Arlando mengacak-acak rambutnya membuat Ivony terpana. Ia melihat seluruh eskpresi Arlando, senang, sedih, tidak berdaya, dan uring-uringan. Sudah terlanjur mereka membuka diri sendiri untuk satu sama lain.

"Aku selalu lari ke rumah Kinan setiap bertengkar dengan orang tuaku. Tadi di sekolah, Papa menelepon soal koran di meja belajarku. Papa jengkel dan Mama tampak menenangkan Papa di ujung telepon. Menjengkelkan. Tidak ada yang bertanya tujuanku menulis itu. Untungnya Papa nggak baca diariku yang isinya puisi."

"Puisi?"

Arlando mengusap muka tampak salah tingkat. "Sudahlah. Lupakan. Kamu tumben ke sini lebih cepat, nggak makan dulu dengan Bagas?"

"Mau mulai perdebatan lagi, ya?"

Arlando menggeleng. "Maaf, soal sikapku di perpustakaan. Nggak seharusnya aku bilang begitu."

"Kata Mia, kamu cemburu. Aku bilang kamu memang suka cari masalah denganku."

"Apa yang Mia bilang memang benar, kok. Aku cemburu kalau kamu dekat Bagas. Apa hebatnya cowok itu selain bawa mobil?"

Ivony terbelalak mendengar jawaban spontan Arlando.

"Cemburu?"

"Aku suka kamu, Ivony. Nggak sadar sampai sekarang? Aku sengaja cari gara-gara sama kamu. Aku juga yang mohon-mohon ke guru supaya bisa pindah kelas dan sekelas denganmu dengan alasan diajarkan matematika. Jujur, aku sangat senang melihatmu marah-marah saat kita dihukum bersama atau pas kamu terganggu olehku. Aku nggak pernah keberatan melakukan apa pun asal sama kamu."

Pipi Ivony merona. Harusnya ia sudah mendapat sinyal itu sejak awal. Namun rasa jengkelnya lebih besar sehingga tidak sadar bahwa Arlando menyukainya.

"Aku cemburu kamu mendadak dekat Bagas, puncaknya di perpustakaan tadi, sorry ya. Yah, tapi aku juga nggak bisa melarangmu. Dia kan cinta pertamamu. Kedekatanmu dengan dia juga sudah menjadi jawaban jikalau aku nembak kamu, kamu pasti milih dia."

"Aku emang nggak pacaran dengan Bagas," ujar Ivony lirih.

"Apa?"

"Iya. Aku emang sering sama dia tetapi hanya mengobrol, lebih tepatnya mendengarnya mengobrol. Obrolanku sama Kak Bagas nggak seperti caraku mengobrol dua arah denganmu, Arlando. Aku lebih sering dengar cerita Kak Bagas dibanding saling bertukar cerita."

"Kalau gitu aku masih punya kesempatan."

"Kesempatan untuk?"

"Bikin kamu jatuhcinta."


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang