Arlando Kartawijdjadja

20 6 0
                                    

Dua minggu setelah melewati ancaman itu, setidaknya hidup Ivony tampak normal. Tidak terlambat datang ke tempatnya bekerja. Melakukan tugas-tugas dengan baik. Meski tidak mengubah sikap Rita padanya. Urusan sekolah juga tidak terbengkalai. Walau kegaduhannya dengan Arlando tidak berkurang sedikit pun.

Kenormalan itu tampaknya harus berakhir cepat sesaat jam istirahat. Ivony memesan dua porsi somay. Untuk dirinya dan Mia. Sesaat setelah bel, Mia berpamitan ke ruang klub buku untuk mengambil sesuatu. Di sisi meja kantin dekat kolam ikan sudah ada Niki yang menunggu. Cewek itu sedang mengaduk-aduk kuah baksonya.

Begitu pesanannya jadi dan Ivony bayar, ia beranjak menuju Niki. Dan abnormal itu terjadi bersama berita dari Mia yang mengibaskan beberapa helai koran.

"Niki, kamu ingat kan yang kemarin-kemarin pernah kuceritain soal Arlando?" tanya Mia antusias begitu ia duduk.

Niki mengangguk. "Iya. Masuk koran lagi?"

Ivony mendengarkan dengan linglung. Sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan teman-temannya. Tapi begitu Mia meracau, Ivony langsung tercengang. Takjub, tak percaya dan sedikit hipokrit.

"Ada di beberapa koran lokal. Aku tak sengaja menemukannya. Ada tiga jenis koran dengan edisi minggu berbeda. Tapi inisial namanya benar ada," kata Mia merendahkan suaranya seolah takut orang lain mendengar.

"Menurutku, ia semacam pujangga," sahut Niki tak kalah berbisiknya.

"Ih. Kalian masih saja percaya itu tulisan Arlando idola kalian," timpal Ivony sebal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Arlando di matanya terlihat begitu menjengkelkan.

Mia menunjukkan koran ke hidung Ivony membuat cewek itu melihat lebih jelas. Ivony sedikit kebingungan sesaat membaca. Tertulis dua huruf, AK. Arlando Kartawijdjadja, kata Mia menjelaskan. Tidak dengan embel-embel pelajar sekolah mana. Tapi kalau mengikuti perkataan Mia, jelas menunjukkan inisial. Karena semakin mempersempit wilayahnya dengan menuliskan Jakarta Timur. Ini pasti keliru, batin Ivony.

"Gimana? Masih nggak percaya?"

Tentu saja tidak. Ivony ingin menjawab begitu. Tapi memikirkan penjelasan Mia, entah kenapa rasa siomay tidak lagi semenarik awalnya. Napsu makan Ivony mendadak hilang. Tapi ia tidak menunjukkan hal itu ke kedua temannya. Bukan takut diledek, tetapi usaha menolak kenyataan. Ivony sangsi itu Arlando yang dikenalnya. Karena orang yang ia kenal justru berbeda seratus delapan puluh derajat.

Arlando di mata Ivony tak lebih dari cowok jail, menyebalkan dan membuat emosi. Sulit berbicara dengan cowok itu tanpa membuat kepala mendidih. Apa saja menjadi hal yang perlu diperdebatkan. Pelajaran, kertas, seragam dan pulpen sekali pun.

Namun membaca satu puisi ini membuat dada Ivony sesak. Arlando-jika benar Arlando yang dikenalnya-menuliskan puisi menyayat jiwa. Tentang kesepian dan segala hal yang berkaitan dengan permasalahan tanpa solusi. Seolah ia terjebak pada masalah itu-itu saja. Tanpa menemukan jalan keluar.

Itu kesimpulan yang terlalu cepat. Ivony mengelak meski penasaran. Menggeleng walau sedikit memercayai. Ia tak tahu harus merespons seperti apa, jadi cewek itu melanjutkkan memakan somaynya dengan setengah hati.

"Kenapa diam? Benar kamu nggak percaya kalau itu yang nulis Arlando?" tanya Niki sesaat menelan bakso.

"AK itu bisa menunjukkan siapa saja namanya. Ahmad Kamuna, Aida Kratiwi, Anisa Keradjaan, Angisada Krelka dan kemungkinan lainnya," sanggah Ivony.

"Nah, itu dia. Kemungkinan lainnya bisa saja Arlando," cetus Mia langsung.

"Tapi, rasanya tidak masuk akal," jawab Ivony blak-blakan.

"Memang apa yang masuk akal?" tuntut Niki ingin tahu.

Ivony mengangkat bahu. Ia ingin bilang kalau tidak ada hal logis yang berhubungan dengan Arlando. Tapi orang yang mereka bicarakan muncul. Ivony bahkan tak menyadari kehadirannya yang tiba-tiba itu.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang