heather

1 0 0
                                    

"Ternyata ucapan Mia dan Niki itu benar, orang itu kamu," ujar Ivony.

Kini, Ivony tidak lagi meragukan ucapan Mia dan Niki. Ia sadar bahwa orang bernama Arlando yang tertulis karyanya di koran dan menulis puisi itu adalah Arlando, kawan sekelasnya. Itu cara cowok itu menarik perhatian orang tuanya. Cara yang cerdas dan menarik. Ivony sendiri tidak terpikir sampai situ.

"Mereka emang ngomong apa?" tanya Arlando dengan kening berkerut.

"Mereka pernah ngasih tahu karyamu di koran, aku pikir itu nggak mungkin kamu," jawab Ivony dengan tersenyum malu. Ia meragukan kawannya sendiri. Orang yang seharusnya ia kenal karena setahun di kelas sama.

Arlando mengibaskan tangan. "Ah, itu karena kamu belum mengenalku. Kita memulai pertemanan dengan cara buruk. Tapi, sekarang apa kamu juga bisa cerita ke aku alasanmu bekerja keras selama ini? Alasanmu bekerja sambilan."

Ivony hanya membagi kesulitan dan kesenangannya ke Mia dan Niki. Hidupnya sudah melelahkan tetapi ia selalu berusaha tampil baik-baik saja di depan kawan sekolahnya, terutama Arlando. Sekarang rasanya ia ingin cowok itu tahu betapa rapuh dan lelah jalan hidup yang Ivony pilih, seperti Arlando yang berbagi masalah hidupnya.

"Aku terlalu malu. Kupikir kamu hanya tahu soal aku membuka lowongan jasa mengajar ternyata kamu tahu banyak."

Arlando tersenyum hangat. Ini pertama kali Ivony melihat seseorang tersenyum sehangat itu. Rasanya menenangkan dan penuh pengertian.

"Aku tahu setelah pulang sekolah, kamu bekerja di restoran. Itu juga alasanmu menolak ajakanku saat mengerjakan tugas individu tempo hari di rumahku, ya kan?"

Ivony melongo tak percaya. "Kok kamu bisa tahu? Mia dan Niki yang memberitahumu, ya? Ah, aku sudah minta mereka untuk diam dan berpura-pura nggak tahu tentang—"

"Aku tahu sendiri," potong Arlando. "Saat itu kamu tampak gelisah buru-buru pulang, kupikir ada sesuatu yang ingin kamu kerjakan atau mau ketemu seseorang. Jadi aku mengikutimu, ternyata kamu langsung pulang ke rumah. Aku pikir kamu hanya lelah dan ingin segera istirahat. Tapi saat hari senin, kamu tampak gelisah ingin cepat-cepat pulang juga, maka aku ikutin sepedamu yang berhenti di restoran makanan. Aku melihat kamu melayani pelanggan, kadang menyapu dan mengepel teras sambil menguap. Lalu aku tak sengaja dengar soal kamu resign tak lama dari itu. Kenapa sih kamu mau melakukan itu?"

Jantung Ivony berdegup tak karuan. Ia tak menyangka Arlando mengikutinya. Bahkan lebih parahnya, ia sendiri tak sadar bahwa Arlando memedulikannya. Sebagian cewek di sekolah menganggap bahwa Arlando adalah primadona sedangkan Ivony menganggap bahwa Arlando adalah sumber masalah yang harus dihindari. Namun malam ini berbeda.

"Aku butuh uang," jawab Ivony pendek sambil menghela napas berat. "Kondisi ekonomi keluargaku hancur bersamaan dengan kepergian Bapak. Setelah Bapak meninggal, uang tabungan habis untuk membiayai hidupku dan adik. Ibu yang awalnya hanya seorang ibu rumah tangga biasa akhirnya membuat kue untuk dijual, sayangnya tidak cukup membiayai semua pengeluaran. Sebagai anak pertama, aku harus bantu dengan bekerja untuk membiayai kehidupan kami dan pekerjaan part time di restoran yang paling memberi upah lumayan dibanding pekerjaan part time sebelumnya."

Arlando mengernyitkan kening. "Lalu, kenapa berhenti?"

"Seniorku sering berperilaku kurang enak ke aku, kupikir karena aku diberi kemudahan oleh atasan jadi bikin iri. Namun aku salah. Seniorku begitu karena aku mengingatkannya ke adiknya yang meninggal. Dia punya adik dan salah satunya meninggal karena lelah bekerja. Ya begitulah, kecelakaan tabrak lari."

"Tapi, itu kan adik seniormu, bukan salahmu."

"Karena kita bisa mengingat orang yang sudah meninggal dengan melihat di diri orang yang masih hidup. Itu juga yang dilakukan seniorku. Dia melihatku sebagai adiknya yang bekerja di restoran," ujar Ivony mengingat ucapan seniornya, Kak Poppy. "Bekerja di restoran bukan hal mudah. Enam hari masuk, satu hari libur. Badan remuk. Berpotensi terjangkit penyakit tipes karena kelelahan atau kutu air kalau mencuci piring tanpa alas kaki di lantai yang lembap."

Arlando mengangguk mulai memahami. "Aku turut berduka cita."

"Untungnya setelah aku keluar dari sana, aku bisa dapat pekerjaan baru. Internet itu keren sekali bisa menghubungkan pemilik jasa dengan pengguna jasa. Hal yang tak terduganya, ternyata Kinan sepupumu. Aku pikir kebetulan, tetapi kamu ternyata selama ini telah diam-diam membantuku banyak. Maaf sudah berperilaku kurang menyenangkan ke kamu selama ini."

Percakapan berhenti sesaat Ivony sudah sampai di rumah. Ia memberhentikan sepedanya di depan pagar rumah sedangkan Arlando berhenti di sisinya dengan motor pribadi. Cara mengantar yang unik, Ivony tersenyum sendiri. Sebenarnya bisa sampai lebih cepat tetapi karena sambil mengobrol keduanya memperlambat laju kendaraan masing-masing tanpa ucapan terang-terangan.

"Aku mencoba membantuku sebisaku, seperti kamu yang mencoba mengajariku matematika dengan sabar," ujar Arlando sambil tersenyum lebar.

Ivony tertawa. "Kita berdua benar-benar simbiosis mutualisme sekali secara enggak langsung, ya?"

Arlando yang awalnya tersenyum kini mengubah mimik wajahnya dengan serius. "Besok, gimana kalau aku jemput aja? Kita ke sekolah bareng. Lagian pulangnya bisa kuantar ke rumah Kinan juga. Kali ini tolong jangan ditolak."

"Bukan mau menolak lagi tetapi lebih menyenangkan prosesnya saat aku berusaha keras," ujar Ivony yang tidak ingin menyusahkan orang lain.



If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang