Why Do I Feel Weird

1 0 0
                                    

Ivony jadi sering bersikap tidak rasional di dekat Bagas. Ia mendengar cerita dan hari-hari cowok itu dengan riang. Entah cerita temannya yang bilang resign tapi gak pernah resign. Cerita soal bosnya yang pagi dan sore beda keputusan. Atau soal bonus yang cair. Ivony menyambut cerita itu dengan binar mata ceria. Bagas tidak pernah menanyakan hari Ivony dan ia juga tak berniat cerita. Ia lebih suka cerita Bagas. Cerita orang dewasa dan masalahnya. Seolah dengan mendengar cerita Bagas maka Ivony bisa mempersiapkan diri setelah lulus sekolah nanti. Mungkin ia akan mengalami fase serupa sehingga bisa mempersiapkan mentalnya sejak sekarang.

Tanpa janji, mereka dekat berbulan-bulan hingga Salsa selesai berkemah dan sesuai kesepakatan pelunasan pembayaran Ivony akan lakukan besok. Salsa berceloteh gembira tentang perkemahannya di telepon saat Ivony sedang nongkrong dengan Bagas.

"Siapa?" tanya Bagas setelah Ivony selesai bicara dengan Salsa.

"Adikku," jawab Ivony. "Besok aku harus ke sekolah untuk menghadap gurunya, berterima kasih sudah membiarkan aku mencicil membayar kemah Salsa sekaligus melunasinya."

"Aku ada beberapa ratus ribu, barangkali bisa membantumu," kata Bagas sambil mengeluarkan dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribuan. "Untuk membantu melunasi cicilan kemah Salsa."

Ivony menggeleng. "Jangan. Aku ada uang hasil mengajar, kok. Kamu simpan saja. Terima kasih, Kak. Kalau aku minta bantuan, aku akan kasih tahu, kok."

"Kamu yakin?" tanya Bagas ragu.

"Iya. Kamu baik sekali. Oh, ya tadi Salsa cerita soal kemah. Katanya seru banget, kedengarannya lebih seru masa SMPku."

"Tapi kayaknya lebih seru pas aku family gathering," ujar Bagas sambil memasukan uang kembali ke dompet.

"Family gathering?"

"Iya. Itu acara perusahaan yang tujuannya biar akrab antara perusahaan dan karyawan beserta keluarganya. Tapi karena aku belum berkeluarga jadi aku nongkrong bareng sesama bujangan dan main games seru di sana. Ada Waterfall Tracking, Rafting, Offroad dan ada sambung lagu."

Ivony terhanyut mendengar cerita Bagas tentang keseruan kantornya. Ia tak pernah tahu family gathering. Ia tidak pernah tahu kesenangan itu karena belum pernah merasakannya. Lagi-lagi Ivony mendengar bagaimana Bagas berorientasi bercerita tentang kehidupannya. Cowok itu tidak lagi menanyai kabarnya saat seperti pertama kali bertemu. Tapi tak masalah karena itu artinya ia tak perlu bercerita bagaimana lelahnya menahan kantuk.

"Aku memang masih magang tapi syukurlah diajak serta family gathering itu."

"Oh, iya, kok bisa sih Kakak punya asisten bukannya Kakak lagi sibuk kuliah sambil magang di yayasan kesehatan, ya?" tanya Ivony baru teringat sesuatu.

Bagas terkekeh. "Sebenarnya itu asisten pribadi Papi saya tetapi kata Papi boleh minta bantuan kalau ada hal urgent."

"Soal sepeda itu urgent?"

"Ngobrol sama kamu yang urgent. Setidaknya sepeda itu bukan jadi alasan lagi."

Jawaban itu membuat dada Ivony berdegup tak karuan. Ia buru-buru menyerput minum es. Berharap Bagas tak menyadari salah tingkatnya Ivony mendengar jawaban itu.

"Kamu mau tahu detailnya soal acara family gathering itu, gak?" tanya Bagas kembali ke ceritanya.

Ivony mengiyakan. Hari itu dan hari-hari setelahnya, mereka sering bersama. Bagas juga sering mengantarnya ke rumah Kinan. Minggu-minggu berikutnya diisi oleh cerita Bagas.

"Kamu tahu hari ini ...."

"Astaga, bosku hari ini rese banget, deh. Atasanku tuh ...."

"Hari ini aku melayani pasien yang tantrum pas di bagian administrasi padahal aku cuma anak magang dan bukan kewenanganku mengenai biaya perawatan ...."

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang