Radikal

13 4 0
                                    

Lagi ngomongin orang, eh yang bersangkutan nongol. Perasaan tak tentram terus mengikuti Ivony hingga tidur malamnya. Arlando masuk ke mimpinya. Ivony ingat, Arlando mengambil buku matematikanya dan melempar benda itu keluar jendela. Mimpinya jelas absurd. Tapi, perasaan bersalah bahwa ia membicarakan orang dan orang tersebut tahu-tahu muncul, jelas nyata.

Hari ini, Ivony membuat keputusan terbijaknya. Ada pelajaran matematika hari ini. Itu artinya mereka sebangku. Ivony bisa membantunya. Kalau suasana mereka mencair, mungkin ia akan menyelipkan kata maaf di percakapan nanti. Barangkali Arlando juga tidak mempersoalkannya.

Setelah semua berlalu, Ivony yakin tidur malamnya akan nyenyak. Tidak ada perasaan bersalah yang mengikutinya terus-menerus. Dan segalanya kembali normal.

"Kamu kelihatan semangat banget hari ini," cetus Niki sambil merangkul bahu Ivony dari arah belakang. Ternyata mereka barengan masuk ke dalam gerbang. Mungkin karena asik dengan pikiran sendiri, Ivony jadi tidak memperhatikan sekitarnya.

Ivony terkekeh. "Segitu kelihatannya, kah?"

"Sangat jelas," kata Niki tersenyum. "Ada kabar bagus apa?"

"Kamu udah minta maaf sama Arlando?" tanya Mia menginterupsi percakapan. "Dari kemaren, dia memperhatikan kamu terus, loh."

"Justru sekarang ini aku mau minta maaf. Biasalah dibaik-baikin dulu ngajarin matematika," sahut Ivony jujur dan apa adanya.

"Wah, ide bagus," kata Mia semringah. "Siapa tahu Arlando tertarik jadiin kamu tutor matematikannya."

"Nah, bener banget, tuh. Sambil menyelam minum air. Minta maaf sekaligus dapat pekerjaan. Akhirnya dia sadar kalau ternyata cuma kamu yang bisa mengajarkan matematika dengan penuh kesabaran. Sampai menyerap ke otak dia, loh. Itu sudah terbukti di tahun pertama sekolah," timpal Niki melanjutkan.

"Ih, enggak begitu maksudnya. Cuma minta maaf. By the way, aku emang punya kabar bagus. Ada murid yang daftar dan mau menggunakan jasa tutorku, loh. Sepulang dari sekolah, aku bakal nyamper ke alamat rumah dia," ujar Ivony ceria.

Ivony tidak bisa menutupi kegembiraannya yang membuncah. Ia bersyukur ada yang mau menggunakan jasanya. Ia menerima tawaran privat langsung datang ke rumah karena rutenya tergolong dekat. Rumah calon anak tutornya nanti sekitar jalan kastuba, dekat lokasi adiknya bersekolah.

"Wah, selamat ya. Kabarin perkembangannya nanti, Von. Hei, aku masuk kelas dulu, ya," kata Niki saat di koridor dekat kelasnya. Ia melambaikan tangan riang.

Ivony dan Mia bergegas masuk kelasnya sendiri. Dari sudut mata, Ivony melihat Arlando duduk di belakang, sedang asik mengobrol dengan cowok-cowok. Tapi, tas cowok itu ada di samping mejanya. Jelas sekali Arlando akan duduk di sampingnya sejak jam pelajaran pertama. Mia yang melihat sama sekali tidak memprotes. Ia memilih mengambil posisi duduk di belakang Ivony.

Setelah meletakkan tas di meja dan duduk, Ivony merasa tak nyaman. Padahal tadi di luar kelas ia begitu optimis dan percaya diri. Perasaan itu tampaknya langsung menguap karena melihat Arlando langsung di kelas. Mungkin bukan sekarang waktu yang tepat untuk sekadar mengobati rasa bersalah. Ah, terus kapan?

Ivony menggelengkan kepala, mencoba mengusir kemelut di benaknya. Ia akan meminta maaf langsung saja. To do point. Enggak usah berliku-liku, belok-belok daripada tersesat sendiri.

"Kenapa geleng-geleng sendiri? Lagi latihan senam?" tanya Arlando tiba-tiba yang datang dari arah belakang.

Ivony tersentak. Secara otomatis, tangannya memukul bahu Arlando dan cowok itu terlalu lamban untuk menghindar. Arlando mengaduh-aduh di dekatnya. Ivony mencebik.

"Ngagetin aja, sih!"

"Kagetnya enggak usah pakai mukul juga, dong," keluh Arlando sambil memegang bahunya.

Ivony menghela napas. "Aku minta maaf soal kemaren."

"Hah? Kamu ngomong apa tadi?" tanya Arlando menggaruk telinga sembari tersenyum miring mengejek.

Ivony memutarkan kedua bola matanya sebal. Arlando yang berdiri tak jauh darinya tergelak. Suara tawanya merdu. Ivony ingin ikut tertawa mendengarnya, tapi ia menahan diri. Cowok itu memiliki jenis tawa yang menular. Ivony baru menyadari kali ini.

"Aku terima permintaan maafmu. Dengan syarat, temani aku nanti malam," katanya sok misterius.

"Ke mana?"

"Tenang saja, aku nggak bakal ngelukainmu. Kamu cuma perlu berpakaian rapi. Nanti aku jemput. Untuk kali ini. Biarkan aku jemput, Ivony. Jangan datang sendiri ke rumahku."

Sebelum Ivony sempat menyanggah, Arlando berjalan keluar. Ivony mendesah. Ia sudah merasa lega karena berhasil minta maaf, tapi kenapa tetap tidak tenang? Efeknya sungguh dramatisir, ucapan Arlando meresap ke otak Ivony. Tapi konyolnya, ia enggan bertanya ketika mereka duduk sebangku.

Arlando sepertinya seorang aktor yang hebat. Ia berlagak seolah pembicaraan sebelum bel mulai pelajaran berdering tadi bukan hal penting. Ivony nyaris tak percaya ketika Arlando sama sekali tidak membahasnya meski mereka duduk semeja. Karena tidak ada tanda-tanda Arlando akan mengungkitnya, Ivony memilih lebih banyak diam.

Di jam istirahat, Ivony melesat ke kelas Niki, turut serta mengajak Mia. Mungkin Mia yang duduk di belakangnya sudah mendengar. Tapi, Ivony harus tetap ingin membahasnya dengan mereka.

"Kenapa mukamu merah begitu?" tanya Niki sesaat Ivony duduk di sebelah kursinya yang kosong.

Mia terkekeh. "Ada kejadian heboh. Arlando ngajak Ivony dinner."

"Hah? Serius? Wah, kok bisa? Cerita lengkapnya, dong."

Ternyata Ivony tidak perlu menjelaskan apa pun. Mia menceritakan dengan sangat rinci. Ditambah dengan bumbu-bumbu dramatisir seolah ia senang diajak pergi. Ivony menyela berkali-kali mencoba mengoreksi. Sayangnya, Niki juga turut serta menimpali celetukan Mia. Jadilah, ucapan mereka tumpang tindih. Berisik. Tidak ada yang mau mengalah. Diiringi dengan derai tawa.

"Ternyata diam-diam ada yang pedekate juga sama Arlando Kartawidjaja. Ivony akhirnya jatuh dalam pesona cowok itu," seru Niki sambil mengarahkan tangannya dari dada sendiri ke hadapan Ivony dengan lebay. Sebagai tanda seolah Ivony membuka dan memberi hatinya untuk Arlando.

Mia mengangguk. "Seperti yang pernah aku bilang. Benci berakhir cinta."

"Jangan lupa PJ," kata Niki sambil tersenyum lebar.

"Ivony, nanti cerita pengalaman kalian jalan-jalan, ya? Aku penasaran," timpal Mia antusias.

"Stop it! Kalian bukannya ngasih saran yang bagus malah jadi kompor. Terus gimana dong?"

"Ya, enggak gimana-gimana. Mungkin Arlando perlu bantuan sesuatu. Kalau ada apa-apa, telpon aku aja. Aku siap dua puluh empat jam," sambar Niki langsung dengan mimik serius.

"Huh. Arlando enggak mungkin macam-macam. Eh, kita ke kantin beli bakso, yuk," ajak Mia sambil beranjak berdiri.

Ivony menghela napas. Lega setelah bercerita ke kedua temannya meski solusinya terkesan sepele. Ia berjanji akan menemui Arlando setelah urusan Ivony selesai. Yang terpenting, Ivony harus bertemu dengan calon anak tutornya terlebih dahulu. Semoga saja bukan remaja badung yang susah diatur.

Memikirkan tentang kemungkinan calon pengguna jasanya, cukup membuat pikiran Ivony terdistraksi. Meski di perjalanan pulang, ucapan Arlando masih terngiang-ngiang. Apa yang akan mereka kerjakan nanti malam? Semoga bukan sesuatu yang radikal, pikir Ivony sambil manyun.


Hai, apa kabarnya?

Btw ini di microsoft word 1014 words. Tapi pas dipindahin ke Wattpad jadi 980 words. Kenapa gitu, ya?

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang