Signal

1 0 0
                                    

Ivony telah merenungi ucapan Mia dan Niki. Dua temannya benar. Sinyal itu harusnya sudah Ivony bisa baca sejak awal. Ia lebih menyukai saat bersama Arlando dibanding Bagas

Saat hendak berangkat sekolah, Bagas datang menjemput ingin antar ke sekolah meski Ivony sudah menolak tawaran tersebut. Hingga duduk di mobil berdua lagi dengan situasi yang sama, Bagas berbicara dan Ivony mendengarkan.

"Kak Bagas, ada yang perlu aku sampaikan," ucap Ivony saat Bagas selesai bercerita.

"Apa?"

"Aku memang menyukaimu dulu, tetapi sekarang aku udah enggak cinta kamu, Kak."

Ivony mengatakannya dengan tegas. Ia semakin yakin dengan perasaannya, terutama ketika sesampai di sekolah dan melihat di pagar depan sekolah Arlando berbicara dengan cewek yang sama seperti di kantin. Ivony mencoba menahan diri dengan tidak bertanya dan berlalu lewat masuk ke kelas. Perasaannya berdesakan oleh tanda tanya. Kenapa Arlando belakangan harus dekat cewek lain ketika di saat yang bersamaan ia juga dekat dengan Ivony?

Memikirkan itu semua membuat Ivony jengkel sendiri hingga ia mengabaikan kehadiran Arlando ataupun sapaan ramah yang menarik perhatian kebanyakan cewek. Hatinya sudah terketuk oleh cinta tetapi juga saki hatit. Apakah cowok primadona itu boleh bebas dekat dengan siapa saja sehingga tak sadar diri sikapnya menyakitkan?

Arlando juga tampaknya menyadari itu, ia mencegat Ivony yang ingin pulang menumpang dengan jemputan mobil Mia. Mia hanya melambaikan tangan tanpa membantah dan bersama drivernya hilang, Arlando menegurnya.

"Kamu kenapa seharian jutek?"

Ivony memutar kedua bola matanya. "Orang yang salah seringkali tidak menyadari dirinya salah."

Arlando mengerutkan kening tak mengerti tetapi ia meminta Ivony naik motor bersama untuk ke rumah Kinan, mengajar les. Jalanan ibukota di sore hari macet. Suara klakson bersahut-sahutan dan lampu merah lambat berganti.

"Aku salah apa?"

"Menurutmu?"

"Aku nggak bakal ngerti kalau kamu nggak bicara."

"Kalau aku bicara memang kamu bakal ngerti?"

Setelah lampu merah berganti hijau, Arlando mengendarai motornya menuju pedagang es kelapa. Ia memesan minuman dua gelas tanpa meminta persetujuan Ivony. Ivony menghela napas.

"Aku nggak suka lihat kamu akrab dengan cewek itu," ujar Ivony akhirnya setelah Arlando menyodorkan segelas es kelapa.

Arlando tersenyum miris. "Kamu pikir aku suka lihat kamu akrab dengan Bagas? Sejak awal aku nggak suka. Tapi kamu nggak ngerti kan kalau aku gak bilang gini? Ah, soal cewek itu, dia memang beberapa kali mengajakku mengobrol, cuaca, tugas sekolah, dan sebagainya yang kupikir itu caranya untuk PDKT. Tadi ia sempat mencegatku yang baru datang sekolah dan menyatakan cinta tetapi aku menolaknya. Aku bisa menolaknya, tetapi apa kamu bisa menolak cinta pertamamu itu?"

"Aku juga sudah menolak Kak Bagas, kami nggak cocok."

Arlando yang awalnya bersandar pada bangku kayu langsung menegakkan tubuhnya. "Benarkah? Aku lihat kamu diantar dia ke sekolah."

Wajah Ivony memerah. Ia mengingat ucapan Mia dan Niki bahwa Arlando lah pemenang hatinya. "Dia memaksa dan aku sudah mengatakan padanya bahwa aku udah nggak menyukainya lagi."

"Kamu nggak menyukainya karena sadar sebenarnya kamu suka aku?" Arlando bertanya dengan wajah jenaka.

Ivony menunduk menahan malu.

Arlando mendesah panjang. "Aku sudah berbicara dengan keluarga. Kamu benar. Aku terlalu egois meminta mereka mengerti tanpa aku jelaskan. Ya, walau mereka masih bersikeras bahwa aku fokus sekolah dan menjadi anak baik tanpa terganggu kesibukan menulis, tetapi setidaknya mereka mulai meluangkan waktu untuk sarapan bersamaku pagi ini. Kurasa mereka berusaha memperbaiki jarak antara kami."

"Aku senang mendengarnya."

"Papa juga berkenan membaca puisiku. Bahkan Mama pun berlangganan koran lokal juga jadi bisa mengetahui puisiku jika terbit di koran."

Ivony merekah senyum tanpa bisa ditahan. Ia benar-benar senang atas perkembangan hubungan Arlando beserta keluarganya. Bekerja di rumah Kinan juga menyenangkan, bayaran gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tetap menabung untuk membayar angsuran sekolah.

"Terima kasih kamu sudah membantuku banyak, Arlando."

Ivony meletakkan gelas di pangkuannya dan matanya menatap cowok yang duduk di sampingnya itu. Sementara tangan Arlando mengusap tangan Ivony yang masih menggenggam gelas. Ada kehangatan yang Ivony rasakan walau sejenak karena Arlando buru-buru melepas tangannya karena di pinggir jalan dan ada pedagang es yang mengamati tindak tanduknya.

"Kamu juga sudah mengubah cara pandangku. Makasih ya, Ivony. Aku senang bersamamu," ujar Arlando tulus.

"Seandainya aku tahu hubungan kita akan semanis itu, aku dulu tak akan membencimu," ucap Ivony.

Arlando terkekeh. "IfI knew then ... ah ... seandainya aku juga dulu tahu, benci itu lah yang mengubahnyamenjadi cinta."


If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang