Opposite Direction

12 6 0
                                    

Ivony meributkan hari mereka akan bekerja kelompok. Kalau tidak ada urusan sepulang sekolah sih tidak masalah kapan saja. Tapi Ivony punya kehidupan lain selain sekolah. Ia tidak mengatakan alasan tersebut ke Arlando. Hanya membuka kartu-kartunya saja dan semakin terbaca jelas. Mungkin juga cowok itu akan mengatakan segala hal bertajuk kompilasi sindiran yang tepat.

"Pokoknya jangan hari ini. Jangan sepulang sekolah. Aku nggak bisa. Minggu itu waktu yang bagus." Ivony menuntut.

Arlando menggaruk kepala. "Tapi bukannya semakin cepat dikerjakan semakin bagus?"

Tidak bisakah cowok itu menurut saja? pikir Ivonya geram. Sekarang ia harus memikirkan alasan tepat. Lagi-lagi dua temannya hanya mengamati tanpa komentar. Bagus memang tapi kali ini ia butuh pendukung.

Di jam istirahat kedua, selesai ibadah, Ivony mengajak Mia dan Niki ke kantin membeli minuman sambil ngobrol. Di luar dugaan, Arlando mengekor di belakang. Ivony tak mengira cowok itu akan ikut duduk bersamanya.

Awalnya, Ivony mengusir terang-terangan. Sayangnya, Mia malah tak keberatan dan menegurnya yang tak sopan. Sedangkan Niki hanya mengangkat bahu, tak berminat membela siapa pun.

"Ya, memang, sih. Tapi aku nggak bisa kalau pulang sekolah sekarang," kata Ivony. Rasanya ia kembali lagi ke percakapan di awal.

"Kenapa nggak bisa?"

"Pokoknya nggak bisa," ujar Ivony tak mau kalah.

"Ya sudah sepulang sekolah besok."

"Tidak bisa. Aku kan sudah bilang tidak bisa kalau sepulang sekolah."

"Kalau sepulang sekolah, kamu ada les? Kursus sesuatu? Aku bisa menunggu sampai selesai."

Ivony akan tertawa terbahak kalau saja bukan Arlando yang bertanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah bagus. Ia tak akan membuang uang untuk hal bukan prioritasnya. Selama bisa belajar sendiri, Ivony akan melakukannya. Beruntung Salsa tak banyak menuntut kursus atau les tertentu. Meski jika adiknya meminta, Ivony akan menyanggupi setelah melewati beberapa pertimbangan tentunya.

"Aku tak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu. Lagi pun apa hakmu menanyakan itu padaku setelah membuat kegaduhan di kelas tadi?" Ivony tak bermaksud ketus, tapi nada yang keluar dari mulutnya begitu pedas.

"Kamu harusnya berterima kasih karena aku menyelamatkanmu dari Kayla. Karena kalau cewek sekelompok itu hanya diisi dengan gosip bukan belajar."

Ivony mendengus. "Alah, sama kamu juga paling aku yang belajar. Kamu sibuk dengan duniamu sendiri. Lalu tugas kelompok tetap dilabeli nama kita, bukan namaku saja. Apa bedanya?"

"Hei. Hei. Sudah. Kok malah berantem, sih?" Mia akhirnya berkomentar. Menyikut Ivony agar tak semakin menjadi-jadi dalam berkata.

Ponsel Arlando berbunyi. Cowok itu merogoh saku celananya dan mengecek. Ivony jelas tidak tahu siapa yang menghubungi cowok tersebut. Tapi perubahan ekspresinya layak diamati. Kening berkerut lalu berakhir Arlando mengembuskan napas lelah. Tangannya memasukkan ponsel ke sakunya kembali.

Arlando menoleh ke Mia. "Tidak masalah, Mia," lalu kepalanya berpaling ke Ivony. "Oke, hari Minggu kita kerja kelompok."

Sesudah berkata begitu, Arlando bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi. Ia bergabung dengan kerumunan cowok dan tertawa seolah tahu hal yang baru saja diperbincangkan. Beberapa cewek mendekat akrab. Seakan tidak terjadi apa pun. Lantas, Ivony tercengang. Sudah begitu saja? pikirnya. Jadi buat apa ribut panjang lebar, hanya membuat haus dan sempat memancing beberapa mata ke arah mejanya.

"Reaksimu berlebihan, Vony," kata Niki heran.

Sebab, aku tak mau dikasihani. Nyatanya kata yang keluar dari mulut Ivony justru berbeda. "Aku kan sudah bilang, aku enggak mau ada orang lain yang tahu tentang masalahku. Cukup kalian saja."

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang