Markas Gepeng telah dikelilingi oleh garis polisi, guna penyelidikan kasus pembunuhan Darren. Hari ini, jenazah Darren akan dikebumikan, setelah melalu proses autopsi semalam oleh tim forensik. Darren dinyatakan meninggal karena pukulan benda keras pada kepalanya. Selain, itu juga terdapat beberapa luka lebam pada tubuhnya, diduga sempat terjadi aksi baku hantam antara korban dan pelaku. Kini, polisi menyelidiki dan mencari bukti di lokasi markas. Bahkan cctv pun tidak dapat menjadi bukti, karena ternyata sudah disabotase sebelum kejadian.
Selama dua hari pula, Ibu Darren berteriak histeris, hingga kini hanya dapat menatap nanar putranya yang akan dikebumikan. Tubuhnya sudah lemas, air matanya sudah kering.
Semua teman sekolah, guru dan anggota Gepeng ikut mengantarkan Darren ke peristirahatan terakhirnya. Setelah jenazah selesai dikebumikan, beberapa dari mereka pamit untuk pulang. Tersisa anggota Gepenk dan Sarah, Ibu Darren.
"Darren, kenapa pergi ninggalin Ibu, Nak? Katanya mau bahagia bareng sama Ibu?" Sarah mengelus nisan putranya. Perempuan itu terus mencium nisan sang putra. Rea mengelus punggung wanita itu, memberi kekuatan.
"Bajingan! Kalian harus tanggung jawab kematian putraku! Gara-gara geng kalian putraku tiada!"
Serentak mereka menoleh, menatap laki-laki paruh baya yang datang dengan mata memerah itu.
"Saya, Saddam, ketua Gepenk. Saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kejadian yang menimpa Darren. Kami sangat merasa kehilangan. Tak ada yang sebanding untuk menggantikan nyawa sahabat kami. Namun, jika anda meminta pertanggung jawaban, apa yang dapat saya lakukan?"
"Beri saya uang!"
Sarah berdiri menghampiri mantan suaminya itu. Sebuah tamparan keras ia layangkan pada laki-laki di depannya. "Ini semua karena kamu! Kalau aja kamu masih menjadi ayah yang bertanggung jawab! Putraku tak akan pergi secepat ini!"
Adrian menatap nyalang istrinya. Tangannya terangkat hendak memukul wanita itu. Dengan gerakan cepat Saddam segera menghentikan gerakan laki-laki itu.
"Seret laki-laki ini pergi," perintah Saddam pada teman-temannya. Awalnya Saddam kira Adrian memang berduka atas kepergian Darren. Namun, ternyata laki-laki itu hanya memanfaatkan situasi.
"Tante, Saddam mewakili teman-teman meminta maaf yang sebesar-besarnya. Andai saja Saddam datang lebih cepat. Andai saja Darren ikut kami. Tante silahkan marahi kami. Kehilangan seseorang yang berharga begitu sakit, Tante." Saddam berlutut di depan wanita paruh baya itu. Air matanya kembali menetes, merasa gagal menjadi ketua, karena tak bisa melindungi anggotanya.
"Darren itu anak yang baik walaupun bandel. Dia selalu terlihat kuat. Darren itu anugrah terindah bagi Tante. Dulu untuk mendapatkan Darren, banyak sekali yang Tante perjuangkan. Setelah Darren lahir, banyak kebahagiaan yang menyertai. Dulu dengan sabar Tante mengajari Darren berjalan, mengantarnya hingga bisa. Namun, sekarang kenapa harus Tante juga yang mengantarkan Darren untuk beristirahat? Darren itu matahari bagi Tante."
Saddam mendongak menatap Sarah yang juga tengah menatapnya. Bibir wanita itu melengkung membuat sebuah senyuman, walau air matanya terus keluar. Tangannya terulur membantu Saddam berdiri. Sarah merapikan kerah kemeja Saddam yang kusut. "Kamu gak salah. Apa yang terjadi kemarin hingga hari ini memang sudah ditakdirkan. Tante memang sangat merasa kehilangan. Tapi Tante yakin, Darren pasti jauh lebih bahagia di sana bukan? Raganya memang tiada, tapi kenangannya akan selalu ada. Kalau Tante kangen putra Tante itu, boleh Tante peluk kalian?"
Sarah menatap anak muda di sekitarnya, sangat banyak. Sarah tersenyum, Putranya itu memilik banyak teman yang setia.
Saddam mengangguk dengan air matanya yang tak henti turun. "Tante bisa anggap kami putra Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARITH
RandomDengan air mata yang menetes, di depan pusaran makam, laki-laki itu berteriak, "Gue, Saddamar Djanendra, hari ini tanggal 7 Juni 2020 dengan resmi membubarkan Gepenk Genk karena satu dan lain hal." "Saddam, lo gila?" maki Damar menatap kecewa ketuan...