Part 21 Jauzan Mareng

24 1 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu. Berbondong-bondong para siswa keluar untuk menuju rumahnya.

Di lapangan basket sepasang kekasih tengah bermain basket bersama. Teriknya matahari dan peluh keringat justru membuat keduanya semakin bersemangat.

"Lempar!" teriak laki-laki itu.

Perempuan itu mengangguk. Namun, saat akan melompat tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri, sehingga bola yang dilemparnya meleset.

Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak melihat pacarnya terjatuh. Kakinya melangkah menghampiri sang kekasih. Tangannya terulur untuk membantu kekasihnya berdiri.

"Cemen banget Lo, gitu aja jatuh."

Perempuan itu melirik sinis laki-laki di depannya. "Tali sepatu gue anjir, Jang!"

Laki-laki itu berdecak pelan. "Can you stop call me, Ujang?"

"Sayang?" senyum perempuan itu menggoda sembari menarik turunkan alisnya.

"Aduh, Neng Sacha, kapan gas ke pelaminan?" tanya Jauzan.

Keduanya kembali tertawa terbahak-bahak, menyadari kekonyolan masing-masing. Hingga sebuah teriakan mengalihkan keduanya.

Aruna datang sambil memegang kepalanya. Wajahnya begitu muram dengan alis yang menukik. "Kalian bisa main basket gak sih?"

Jauzan dan Sacharist saling melirik. Keduanya asyik bercanda sehingga melupakan ke mana melesatnya bola basket itu.

"Aduh sorry banget, Kak. Tali sepatu gue lepas jadi keinjak. Bolanya melesat," jelas Sacha menatap kakak kelasnya itu.

Saddam bersama teman-temannya datang menghampiri lapangan basket. Apalagi melihat Aruna dengan wajah muramnya.

"Lo kira ini gak sakit?" marah Aruna menatap tajam adik kelasnya itu.

Jauzan kembali berdecak. Yang awalnya menatap bersalah, kini menatap Aruna dengan sebal.

"Ada apa?" tanya Saddam ketika sudah berada di samping Aruna. Matanya menatap Aruna dan sepasang kekasih di depannya itu.

"Mereka main basket dan kena kepala gue." Aruna menunjuk Jauzan dan Sacharist.

Sacha geram, tangannya terulur menghempas telunjuk Aruna. "Gue udah minta maaf, tapi Lo malah nyolot."

Aruna menggeram marah, telapak tangannya terkepal erat. Matanya menatap nyalang adik kelasnya itu. "Lo gak pernah diajari sopan santun."

Jauzan tersenyum miring, sedetik kemudian meludah di samping Aruna. "Kita udah ngakuin salah dan udah minta maaf dengan tulus. Tapi apa jawabannya? Lo malah marah-marah. Kita bisa bersikap sopan, kalau sama manusia."

"Berani banget Lo!" teriak Aruna dengan menatap tajam laki-laki yang tengah berbicara itu.

Jauzan terkekeh pelan. "Kenapa gue harus takut?"

"Lo tahu siapa kita?" tanya Saddam dengan tenang. Pasalnya, hampir semua orang, jika terkena masalah dengan anggota Harith lebih memilih diam.

Jauzan kembali menatap Saddam. Dia baru menyadari jika mereka ada beberapa orang lagi, membawa jaket dengan lambang yang sama. "Oh anggota Harith? Katanya geng motor itu?"

Aruna sedikit tersenyum miring, menanti reaksi laki-laki sombong di depannya. Apalagi kini Saddam sepertinya ikut membantu dirinya.

"Benar, lo gak takut?"

Jauzan terdiam, sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. Matanya menyorot rendah orang-orang di depannya. "Selama gue ngelakuin hal benar, gak ada kalimat takut di kamus gue. Mau kalian anggota geng atau apa, bukan jadi urusan gue!"

Saddam mengangguk kemudian menampilkan senyum penuh arti. "Oke, santai. Gue mau ucapin sorry buat kalian berdua atas perilaku anggota gue yang kurang mengenakkan. Kami Harith, selalu memegang teguh keadilan. Atas kejadian ini gue mewakili Aruna minta maaf."

"Saddam?" protes Aruna menatap Saddam tak terima.

"Lo salah, Runa. Mereka udah minta maaf. Dan lo? Marah kan?"

Aruna terdiam sembari mengepalkan telapak tangannya.

"Oke. Lain kali bilangin ke anggota Lo itu. Gak usah sok berkuasa, di mata gue dia bukan apa-apa."

Aruna mendengus pelan, menghentakkan kakinya kemudian pergi meninggalkan lapangan. Saddam mengangguk, kemudian berpamitan untuk pergi.

Mata Jauzan melirik ke arah lutut Sacha yang berdarah. Kemudian menatap wajah Sacha yang juga tengah menatapnya. "Anjir! Lo ngapain plonga plongo!"

Sacha mengedipkan matanya beberapa kali. Helaan napas terdengar dari mulutnya. "Gue males lihat drama. Padahal jadi murid baru ada aja cobaannya. Kan gue mau sekolah yang normal aja."

Jauzan tergelak mendengar penuturan kekasihnya. "Lo aja gak normal." Laki-laki itu menarik tangan Sacha, membawanya duduk di kursi yang ada di pinggiran lapangan.

"Sini kaki Lo," perintah Jauzan.

"Mau ngapain?"

"Mau gue amputasi. Ya gue obatin lah. Nggak lihat tuh kaki berdarah." Jauzan menunjuk luka di lutut perempuan itu.

Sacha melirik kemudian terkekeh pelan. Kakinya diangkat kemudian ia luruskan dan topang pada paha Jauzan. "Babu yang baik hati obatin luka nyonya gih."

Jauzan kembali mendengus. Dengan telaten mengobati luka di lutut Sacha. Sebuah ide jahil terlintas di otaknya. Kapas dengan obat merah itu ia tekankan pada luka Sacha.

"Ujang babi!" maki Sacha memekik karena kaget. Matanya menatap tajam laki-laki yang tengah tertawa itu.

"Lihat ini, ini, ini." Jauzan menunjuk beberapa luka di kaki Sacha. Beberapa tinggal bekasnya dan beberapa masih luka basah. "Tiap hari ada aja lukanya."

Sacha melirik sinis Jauzan. Kakinya masih ia letakkan di atas paha laki-laki itu. "Serius lo ngomong gitu? Mau gue kasih lihat luka lo yang lebih banyak itu? Di kaki, tangan, pipi, perut dan banyak deh."

"Ya beda tai. Lo cewek, gue cowok."

Sacha menarik kakinya yang sudah selesai diobati. Matanya menatap intens Jauzan. "Emang kenapa kalau gue cewek? Gak boleh luka?"

"Ya kan cewek asli harus jaga kulitnya. Biar gak kegores, lah lo malah nyari luka tiap hari. Ntar kalau nikah suami lo gak mau gimana?"

"Ohhhh gitu? Lo kira gue cewek jadi-jadian? Terus apa maksud suami gue nggak mau? Ohhhh lo gak ada niat sama gue terus? Gitu? Cukup tau gue," ucap Sacha mendramatisir sembari membuang mukanya.

Jauzan meraup mukanya sebal. "Gue khawatir anjing! Kalau kegores doang, gue yakin juga lo gak akan ngeluh. Kalau ketusuk? Atau ketembak? Lo harus hati-hati, Sacha. Kalau sama gue, pasti gue lindungi. Kalau lo sendiri? Gue tahu lo bisa bela diri. Tapi tetap aja di luar sana itu banyak bahaya."

"LO DOAIN GUE KETUSUK TERUS KETEMBAK?" teriak Sacha.

"Fuck you, SACHET!" umpat Jauzan kesal, kemudian berdiri meninggalkan perempuan itu.

Sacha tengah tertawa karena berhasil membuat Jauzan kesal. "I love you too, Ujang!" teriak Sacha kemudian berjalan menyamai langkah lebar Jauzan.

"Ujang bokap gue tai. Lo mau sama bokap gue? Heran gue punya cewe kaya lo." ucap Jauzan menoleh pada perempuan di sampingnya.

"Yaudah sih, Jang. Gue jadi nyokap tiri lo aja gimana? Seru tuh, pacarku menikah dengan Ayahku."

Jauzan mengapit leher Sacha dengan gemas. Perempuan itu terus memberontak. "Mentang-mentang lo tinggi jangan seenaknya anjing!" teriak Sacha terus meronta meminta lepas.

"Derita orang pendek gak sih?" tanya Jauzan sembari melepas tangannya.

"Heh gue tuh tinggi! Lo aja yang kaya tower!"

Jauzan kembali tertawa, benar kata Sacha, perempuan itu tergolong tinggi. Hanya saja dibanding Jauzan, Sacha lebih pendek. Sepanjang perjalanan pulang keduanya terus saja bercanda.

Jangan lupa tinggalkan jejak di sini 🙌🙌🌞

HARITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang