Dua Minggu liburan sekolah telah terlewati. Hari ini mereka kembali memasuki sekolahan dengan adanya murid baru. Setelah pembubaran Gepenk, Saddam membatasi interaksi dengan teman-temannya. Penyelidikan Darren juga sudah dihentikan. Sarah yang meminta karena tak kunjung mendapat titik temu. Polisi hanya menemukan barang bukti berupa gelang.
Saddam turun dari motornya. Matanya menatap gedung sekolah, kemudian menatap pintu gerbang.
"Kamu kenapa?" Agrea menyentuh lengan kekasihnya itu.
Saddam menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Biasanya Darren datang sambil ngerangkul. Sekarang udah gak ada."
"Semua yang hidup pasti mati. Yang datang akan pergi. Saddam, mengenang boleh tapi jangan jatuh terlalu dalam ya?" Agrea menggenggam erat telapak tangan Saddam, menyalurkan kekuatan pada laki-laki itu.
Saddam tersenyum kecut, menatap genggaman di tangannya. "Andai ikhlas semudah kata, Re."
"Hallo, Rea, Saddam!" Kedua orang itu menoleh, menatap orang yang menyapa mereka.
Serra datang dengan senyumannya dengan tangan yang bergandengan dengan Damar.
"Hallo, Sera dan Damar." Rea membalas sapaan Sera tak kalah ramah. Dilihatnya Saddam dan Damar bergantian. Saddam hanya terdiam, sementara Damar enggan menatap ke arah Saddam.
"Ayok masuk kelas." Damar menarik tangan Sera. Namun, wanita itu menahannya. Sera menatap Agrea memberi kode.
"Masih jam segini, Mar? Lagian kan lama gak ketemu. Kangen-kangenan dulu lah. Iya kan, Saddam?"
Damar berdecih pelan, menatap Saddam dengan pandangan malas. "Teman? Teman mana yang hancurin rumahnya?"
Sera reflek mencubit lengan laki-laki itu. Apalagi melihat raut wajah masam Saddam.
"Gue ngelakuin ini buat lindungin orang di sekitar gue. Gue gak butuh pandangan Lo." Saddam menarik tangan Rea, meninggalkan Sera dan Damar.
"Sayang, kenapa kamu ngomong gitu?" tanya Sera menatap laki-laki di sampingnya.
"Kenapa? Kamu setuju pembubaran Gepenk? Yang aku lakuin salah?"
Sera terdiam, Damar juga tengah dilanda emosi.
Laki-laki itu menghela napasnya. "Maaf, bukan maksud aku marah ke kamu. Aku cuma gak suka sama pemikiran, Saddam. Dia terlalu terburu-buru."
"Dia cuman mau melindungi orang terdekatnya, Damar. Seandainya ada seseorang yang nyelakain aku, kamu gimana?"
"Tentu aku bakal lindungin kamu."
Sera mengangguk. "Dengan mengorbankan apapun?"
Damar mengangguk yakin. "Apapun. Kamu bahagiaku, Sera. Aku akan melindungi kamu apapun yang terjadi."
"Begitu juga dengan, Saddam. Dia sedang melindungi teman dan juga kekasihnya. Sekarang dia sedang gak bisa berpikir lebih jauh. Kematian Darren cukup membuatnya trauma. Jadi beri dia waktu untuk tenang ya, Sayang?"
Damar menghela napasnya. Emosinya sedikit mereda, sehingga ia bisa menerima baik ucapan Sera.
***
Saddam tengah menatap Rea yabg menghampirinya dari kejauhan. Wanita itu tersenyum. "Nunggu lama?" tanya Rea.
Saddam menggelengkan kepalanya. "Ayo naik."
Motor Saddam melaju membelah jalanan kota. Saddam mengantar kekasihnya untuk pulang.
"Kamu gak mau mampir dulu?" tawar Rea.
Saddam menggelengkan kepalanya. "Aku langsung pulang. Masih ada beberapa yang mau dikerjakan. Kamu habis ini langsung mandi, makan dan istirahat."
"Kamu juga, kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku. Kalau udah sampai rumah chat ya?"
Saddam terkekeh sembari mengacak pelan rambut gadis itu. "Pasti. Aku pergi dulu."
Rea melambaikan tangannya sebagai bentuk perpisahan. Setelah Saddam tak terlihat, barulah wanita itu memasuki rumahnya.
Saddam tak langsung pulang ke rumahnya. Motornya melaju menuju markas Gepenk. Matanya menelisik bangunan itu. Tampak begitu sepi. Langkah kakinya membawanya memasuki markas itu.Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sebuah foto yang terpajang jelas. Foto mereka yang tersenyum begitu lebar.
Saddam kembali melangkah, menuju ruangan pribadinya. Matanya kembali menelisik. Kakinya melangkah mendekat ke sebuah lemari. Tangannya terulur untuk membukanya. Jaket Gepenk bertengger di sana. Dulu dengan bangga ia akan memamerkan siapa dirinya. Namun, sekarang semua itu hanya sebuah kenangan. Kenangan yang akan selalu ia rindukan.
"Gue tahu lo bakal kangen."
Laki-laki itu menoleh, menatap seseorang yang baru datang. Saddam meletakkan kembali jaket itu. Kemudian menutup rapat lemarinya. Tubuhnya berbalik menghadap laki-laki di depannya.
"Sorry ucapan gue tadi pagi. Gue kebawa emosi," ucap laki-laki yang tak lain adalah Damar itu.
Saddam mengangguk sembari menepuk bahu sahabatnya. "Gue juga sorry."
"Nggak mau balikin Gepenk lagi? Gue tahu lo juga kangen. Lihat." Damar menunjuk pigura besar yang ada di ruangan itu. Pigura tentang foto mereka, dari awal terbentuknya Gepenk hingga yang terakhir foto sewaktu di villa.
"Senyum mereka lebar, Dam. Mereka punya tempat berpulang yaitu Gepenk. Oke, gue tahu kehilangan Darren ngebuat kita benar-benar down. Dan lo gak mau kita ngalamin hal kaya gitu? Tapi lo pernah mikir nggak? Dengan bubarnya Gepenk, ngebuat mereka lebih mudah nyerang kita."
Saddam terdiam, mencerna apa yang Damar katakan. Sedetik kemudian terdengar helaan napas dari Saddam. "Mereka nyerang karena adanya Gepenk. Gepenk bubar otomatis mereka udah gak akan ganggu."
"Tapi mereka lebih butuh rumah, Dam. Gue harap lo bisa pertimbangkan ini lagi." Setelahnya Damar melangkah keluar, menyisakan Saddam dengan keterdiamannya.
Laki-laki itu terduduk di atas kasur. Tangannya mengacak pelan rambutnya. Matanya kembali menjelajah menatap pigura foto mereka. "Gue harus gimana? Apa yang harus gue lakuin? Mereka kehilangan rumahnya dan lo Darren kehilangan semuanya." Lelah dengan segala pemikiran yang berkecamuk, laki-laki itu memilih merebahkan tubuhnya. Menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ia tiduri. Matanya terpejam hingga alam mimpi membawanya pada sebuah kedamaian. Yah, hari ini Saddam menginap di markas kembali. Bukan sebagai ketua Gepenk, melainkan sebagi sosok yang merindukan tempatnya berpulang selain rumah.
Esok, ia berharap menemukan sebuah jawaban atas kebimbangannya. Harapan untuk tindakan apa yang akan ia ambil ke depannya.
Part ini termasuk singkat banget🙌 ayok absen dulu🙌 kira-kira ada yang bisa tebak siapa dalang teror ini??
KAMU SEDANG MEMBACA
HARITH
RandomDengan air mata yang menetes, di depan pusaran makam, laki-laki itu berteriak, "Gue, Saddamar Djanendra, hari ini tanggal 7 Juni 2020 dengan resmi membubarkan Gepenk Genk karena satu dan lain hal." "Saddam, lo gila?" maki Damar menatap kecewa ketuan...