Part 1 Gepenk

126 12 2
                                    

Jakarta, 12 September 2019

Sekumpulan laki-laki berseragam putih abu-abu itu tengah bercengkrama di sebuah ruangan. Kepulan asap rokok memenuhi ruangan itu. Gepenk, adalah sebutan untuk perkumpulan mereka. Genk anak muda dengan 6 anggota inti laki-laki.

Orang-orang sering menyalahartikan perkumpulan ini. Banyak yang menyimpulkan bahwa Gepenk berisi anak muda yang sering membuat onar. Padahal, mereka  anak muda yang juga sering berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan. Jika mereka ricuh, artinya ada seseorang yang menyenggolnya. Tentu saja mereka tak akan tinggal diam.

"Omset caffe kita meningkat pesat. Sebagian laba gue salurkan ke beberapa panti. Dam!"  Saddamar Djanendra, ketua dari  Gepenk memanggil nama wakilnya.

Damar maju dan memberikan sebuah buku pada Saddam, Ketuanya.

Saddam meletakkan buku itu di atas meja. Tentu saja apa yang dilakukannya membuat anggotanya heran. "Semua laporan keuangan, Damar tulis di situ. Baik omset dan penyaluran dana ada di sana kalau kalian mau lihat."

Aksara berdehem pelan. Menggeser kembali buku yang disodorkan Saddam. "Gue rasa ini ga perlu. Kita percaya apapun yang lo lakuin."

Darren mengangguk setuju. "Nah, betul tuh! Lagian lo kasih lihat laporan ginian kita ga bakal ngerti." Laki-laki dengan kulit sawo matang dan lesung pipinya itu tersenyum lebar, hingga menampilkan deretan giginya.

Saddam tersenyum tipis kemudian mengambil buku itu, mengembalikannya pada Damar. Setelahnya ikut duduk bergabung.

"Caffe lumayan rame banget."

Ke enam laki-laki itu menoleh ke ambang pintu. Menatap beberapa perempuan yang berdiri di sana. Dengan segera, mereka yang merokok mematikan putung rokoknya.

"Iya, makin hari makin rame. Alhamdulillah, Ser."

Perempuan dengan nama Sera itu mengangguk kemudian masuk untuk bergabung, diikuti oleh teman-temannya. Sera, Sea, Aruna, dan Kacip adalah anggota perempuan Gepenk. Markas mereka terletak di belakang caffe. Caffe yang dibangun bersama-sama oleh mereka.

"Runa? Are you okey?" tanya Saddam melihat salah satu temannya yang termenung itu.

Aruna mendongak kemudian menggelengkan kepalanya. "Boleh bicara berdua, Dam?"

Saddam mengangguk, kemudian berdiri melangkah pergi. Aruna pun mengikuti Saddam. Dibanding dengan yang lain, Saddam memang lebih dekat dengan Aruna. Pasalnya, perempuan itu sering bercerita permasalahannya dengan Saddam. Dan dengan setia Saddam mendengar cerita dan keluh kesah perempuan itu. Sebenarnya, bukan hanya Aruna. Namun, dibanding yang lain, perempuan itu lebih sering.

Saddam mengajak Aruna ke perpustakaan kecil di salah satu ruangan markas. Sebelumnya ia membuat  cokelat hangat, menyodorkannya pada Aruna. Wanita itu menerimanya dan tersenyum simpul. "Thanks, Dam."

"It's, okey. Cokelat dapat meredakan stress. Sekarang lo mau cerita apa?" Saddam menopang dagunya dengan sebelah tangan. Menatap intens wanita di depannya itu.

"Run?" panggil Saddam ketika Aruna tak menanggapi pertanyaannya.

"Eh, so–sorry. Gue ngelamun. Mantan gue ngajak  balikan. Gue udah gak mau, karena udah ngerasa sakit hati sama perlakuan dia. Tapi dia terus-terusan maksa. Gue bilang gue udah ada pacar. Dan sorry, gue pakai nama lo."

Saddam terkekeh pelan. "Santai aja, Run. Kalau mantan lo gak percaya, lo bisa bawa gue ketemu dia." Saddam mengedipkan sebelah matanya. Menggoda wanita yang tampak lesu itu.

Aruna ikut tertawa pelan. Ia pikir Saddam akan marah karena menggunakan namanya. Namun, ia melupakan satu fakta bahwa teman-temannya sering kali menggunakan nama Saddam jika ada laki-laki yang menganggu mereka. Yah, Saddam berujung dikenal sebagai playboy, walau faktanya tak ada satu pun wanita yang berhasil memikat hatinya sampai saat ini.

"Thanks, Dam."

Saddam mengangguk kemudian mengacak pelan rambut gadis itu hingga sedikit berantakan. "Masih ada yang mau diceritain? Kalau ga ada ayo kumpul sama yang lain."

Aruna menggelengkan kepalanya. Merasa sudah cukup untuk bercerita.
"Lo duluan aja, gue mau baca-baca buku bentar."

Saddam mengangguk kemudian berdiri meninggalkan ruangan itu. Aruna menatap punggung lebar laki-laki yang perlahan menghilang di balik pintu. Menghela napas sejenak kemudian tersenyum. "Lo gak pernah berubah, Dam."

***

Di ruangan santai mereka tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain PS, bermain catur, dan yang perempuan beberapa tengah bergosip ria.

Sementara Sera dan Damar tengah menonton TV berdua. Sepertinya lebih disebut dengan TV yang menonton mereka. Pasalnya, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Kenapa, Ser?" tanya Damar melirik perempuan di sampingnya karena beberapa kali terdengar helaan napas.

Sera menoleh, menatap laki-laki yang kini juga tengah menatapnya. "Gak papa, masalah kecil sih."

Damar menaikkan satu alisnya. "Masalah kecil? Masalah apa?"

"Kenal Ilham gak? Dia ngajak jalan. Gue males banget sebenarnya. Udah gue tolak, tapi dia nanya mulu kapan gue bisa jalan bareng sama dia."

Damar berdehem pelan. "Bilang aja udah ada pacar. Biar dia berhenti ganggu lo."

Sera menggelengkan kepalanya, menolak ide Damar. "Pakai nama Saddam lagi? Yang ada gue diketawain sama dia. Soalnya, kita kan satu sekolah pasti ketahuan lah."

"Bukan Saddam. Pakai nama gue."

"Eh?" Sera terkejut mendengar ucapan laki-laki itu. Memakai nama Damar? Mengaku bahwa Damar pacarnya?

"Kenapa?"

"Ya, aneh aja. Tiba-tiba banget nyuruh pakai nama lo."

Damar membuang mukanya, menatap ke arah lain. Berdehem pelan kemudian kembali membuka ponselnya.

"Tapi kayaknya gapapa deh ngasih Ilham kesempatan. Dilihat-lihat anaknya juga baik. Siapa tau kita sama-sama cocok," gumam Sera yang masih bisa di dengar jelas oleh Damar.

Damar mematikan ponselnya dengan kasar. Kemudian menatap intens perempuan di sampingnya. "Gimana bisa lo bilang dia baik, Ser?"

"Dia sering ngasih gue bekal. Dia perhatian dan selalu ngingetin gue makan. Dia sering nanya keadaan gue."

Damar berdecak kemudian mengacak frustasi rambutnya sendiri. "Cuma kaya gitu lo bilang baik? Bahkan penculik anak pun ngasih hadiah dulu sebelum menculik."

Sera memelototkan matanya. Tangannya terulur memukul pelan lengan laki-laki itu. "Lo samain gue sama bocah, Dam? Lagian apa salahnya sih coba dulu?"

"Salahnya kalau apa yang lo harapin ga sesuai ekspektasi, Sera. Lo bakal ngerasain sakit itu. Lo harus benar-benar paham sama sifatnya dan itu butuh waktu lama."

"Aneh lo, harusnya lo dukung biar gue ga jomblo. Capek tau lihat orang pada bermesraan," keluh Sera.

"Terserah lo lah, Ser." Damar berdiri beranjak pergi meninggalkan Sera.

Sera menatap nanar laki-laki yang kini tengah bergabung untuk bermain PS itu. "Di saat gini gue ngerasa lo juga suka sama gue, Dam. Lo kaya orang cemburu. Tapi di lain sisi, lo kaya orang ga peduli. Jangan bikin gue bingung sama sikap lo, Dam," gumam Sera.

Hallo, gimana sama part 1 ini? Masih mau nunggu untuk part selanjutnya? Udah tahu kan anggota Gepenk siapa aja? Absen dulu dengan vote dan comment di bab ini❤️

Salam sayang,
Lee

HARITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang