Part 22 Teman Baru

20 1 0
                                    

Sacha menunggu Jauzan yang tengah menambal ban motornya. Awalnya Jauzan memaksa Sacha untuk ikut. Namun, perempuan itu menolak. Dia lebih baik menunggu di halte bus sembari mendengarkan musik.

"Wih, anak baru SMANSA bening juga nih," celetuk  laki-laki yang menghentikan motornya di depan Sacha.

"Naik sini, cari hotel dekat sini bisa tuh," sahut yang lain sambil terbahak-bahak.

Sacha menatap bingung beberapa laki-laki di depannya. Yang dapat Sacha simpulkan sekumpulan laki-laki itu berbeda sekolah dengannya. Kesimpulan lainnya mereka adalah anggota geng motor jika dilihat dari seragamnya.

"Anjing! Sombong banget nih cewek." Salah satu dari mereka turun dari motor, mulai mendekati Sacha. Sacha segera berdiri merasa waspada.

Tangannya melepas headset yang menyumbat telinganya. "Hehehe, Bang. Gue kira kalian bisu ngomong gak ada suaranya. Ternyata telinga gue kesumbat headset. So, kalian ngomong apa ya?"

Mereka menjatuhkan rahangnya. Jadi sedaritadi perempuan itu memang tak mendengarkan mereka?

"Lo ikut kita ke hotel. Gue kasih yang enak-enak gimana?"

Sacha mengernyitkan dahinya, tampak seperti orang yang tengah berpikir. "Punya kalian kecil ah. Mana kerasa."

Mereka memelototkan matanya. Tak habis pikir dengan perempuan di depan mereka ini. "Anjing? Ikut sini!" Salah satu dari mereka menarik lengan Sacha. Sacha memberontak dan mulai memberi beberapa pukulan.

"Oh ternyata bisa bela diri. Kita lihat kemampuan lo."

Mereka terlibat perkelahian. 4 lawan 1. Sacha kewalahan, sepandai-pandainya ilmu bela dirinya ia tak akan mampu mengalahkan empat laki-laki di depannya.

"Stop!" teriak Sacha menghentikan perkelahian mereka. Perempuan itu mengusap sudut bibirnya yang terkesan pukulan. "Woy! Wajah gue jadi bonyok? Ini kalau cowok gue ngamuk gimana? Wajah cantik gue?"

"Lah namanya juga tawuran ya  mana aja yang kena," sahut laki-laki dengan wajah blasteran itu.

Sacha menatap nyalang laki-laki itu. Sejujurnya ini salah satu caranya untuk mengukur waktu. "Ya lo bilang dulu kalau mau mukul! Biar gue bisa ngehindar. Kaki gue aja banyak yang bonyok, ini malah kena muka!"

"Bacot!" Laki-laki itu kembali melayangkan pukulannya. Dengan segera Sacha menghindarinya.

Terfokus pada satu orang, sehingga Sacha tidak tahu bahwa di belakangnya laki-laki dengan luka di lengannya hendak melayangkan pukulan. Hingga seseorang datang menghalangi pukulan itu.

Sacha menoleh, menatap perempuan yang menolongnya tengah terjatuh akibat pukulan.

"Wih yang ini lebih cakep. Mau ikutan juga?" tanya laki-laki yang memiliki rambut ikal.

Agrea, perempuan yang membantu Sacha, berdiri menatap tajam anggota geng di depannya. "Death Lion secupu itu nyerang cewek?" Agrea berdecih pelan.

"Wajah lo familiar. Lo ceweknya Saddam? Wih bagus. Gimana reaksi Saddam kalau ceweknya kita bawa."

Agrea mengeluarkan ponselnya, membuka fitur video. "Sini kalau berani, gue Selebgram. Muka kalian masuk akun gue, artinya kalian siap terkenal. Tentunya juga masuk  kantor polisi. Mungkin masuk kantor polisi kalian bisa keluar, tapi sanksi sosial? Bahkan sampai kalian tiada kelakuan buruk tetap yang diingat mereka."

"Cabut!" ucap salah satu dari mereka. Ancaman Agrea berhasil, mereka meninggalkan dua perempuan itu.

"Keren banget! Langsung pergi gitu aja! Thank you, Kak!" ucap Sacha sembari bertepuk tangan.

Agrea menoleh menampilkan senyum simpulnya. "Santai aja, lagian kenapa lo sendirian?"

"Sachet!" teriakan seorang laki-laki mengalihkan perhatian keduanya. Jauzan menepikan motornya, dengan tergesa-gesa menghampiri kekasihnya.

Tangannya terulur membolak-balikan tubuh Sacha. Kemudian menangkup wajah Sacha. "Astaga, muka lo makin jelek! Kan gue bilang ikut gue aja. Mana ngeyel banget dibilangin. Sakit pasti kan? Siapa yang bikin lo kaya gini?"

"Sakit, Babi! Muka gue lo teken gini. Lagian lo nambal ban apa simulasi mati sih? Lama banget!" kesal Sacha melepas tangan Jauzan dari wajahnya.

"Habis nembel gue masuk ke sekolah dulu. Ngambil buku gue ketinggalan."

"Dih sok rajin banget Lo, Ujang. Gak pernah belajar aja segala ambil buku."

Agrea tertawa pelan melihat interaksi lucu di depannya. Jauzan pun menengok ke arah Agrea. "Lah ada orang daritadi?"

"Kalian lucu banget. Gue daritadi di sini. Biasa sih, kalau udah bucin dunia berasa punya sendiri." Agrea kembali terkekeh, kemudian meringis merasakan ngilu di pipinya, akibat terkena pukulan.

"Kakak ini yang nolong gue. Sampai muka cantiknya kena pukul," ucap Sacha.

Jauzan pun mengangguk mengerti. "Thanks ya, Kak. Udah nolongin cewek gue."

Agrea mengangguk sambil tersenyum. "It's okey. Oh iya kita belum kenalan. Gue Agrea, kalian?" tanya Agrea mengulurkan tangannya.

Sacha dan Jauzan dengan senang hati mengulurkan tangannya bergantian.

"Sacharist, panggil aja Sacha. Gue udah tahu lo sebenarnya."

"Jauzan."

"Oke, Sacha dan Jauzan. Salam kenal ya. Oh iya lain kali jangan sendirian lagi. Takutnya anggota Death Lion balik lagi," jelas Agrea.

Jauzan menaikkan sebelah alisnya. "Lo kok tau? Bentar, muka lo kaya gak asing? Lo masih anggota Harith?"

"Ih kudet! Kak Agrea tuh pacarnya ketua Harith! Selebgram juga."

"Lah? Kirain yang tadi kena bola basket pacarnya? Terus kok gak keliatan sama cowok tadi?"

Agrea terdiam, yang dimaksud Jauzan pastilah Aruna. Sementara, Sacha melirik tak enak ke arah Agrea. "Udah kita cari tempat bicara dulu. Di Caffe seberang sana, sambil obatin lukanya. Gimana, Kak?"

Agrea pun mengangguk setuju. Sacha naik motor bersama Jauzan. Sementara, Agrea menaiki motornya sendiri.

Mereka segera mencari tempat duduk dan memesan beberapa camilan.

"Sini gue obatin." Jauzan memegang tangan Sacha, memutar tubuh perempuan itu untuk menghadapnya.

Dengan telaten laki-laki itu mengobati luka kekasihnya. "Sacha, Sacha, sehari lo udah dapat dua luka." Jauzan berdecak pelan melihat luka lebam di wajah kekasihnya.

"Obatin buruan, malah diomelin," protes perempuan itu.

Jauzan kembali melanjutkan kegiatannya sembari menghela napasnya. "Gue tuh khawatir. Lain kali lo harus ikut gue aja. Awas bandel!"

Sacha hanya terdiam sembari mengamati wajah tampan Jauzan yang tengah serius mengobatinya.

"Dah selesai. Kak sini biar diobati Sacha."

Agrea menggelengkan kepalanya. "Gue kompres di rumah aja. Cuman luka di pipi gak separah itu."

"Sorry, banget, Kak, gara-gara gue lo jadi kaya gini. Gue jadi gak enak banget," ujar Sacha.

"Udah santai aja. Kalau lo gak enak, jadi teman gue aja. Anggap aja sebagai bentuk gue nolongin Lo."

Sacha mengangguk dengan antusias. "Tentu! Oke ini nomor gue, Kak. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan chat gue aja. Ready dua puluh jam buat, Kak Rea."

Agrea mengangguk sambil tertawa. Setelah beberapa menit mereka bercengkrama, Agrea memutuskan untuk pamit pulang.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya ya🌞🥰

HARITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang