andai kau dan aku

197 8 2
                                    

Chapter
11

Pagi itu aku mengendarai mobil ibuku menuju Madeline road, berkali-kali membaca alamat dalam secarik kertas yang baru ku salin dari buku tahunan sekolah.

"Madeline road no. 25."
Aku melajukan mobilku pelan saat memasuki jalan kecil dengan hutan lebat di bagian barat kota. Mencari-cari sebuah komplek perumahan yang mungkin bisa ku temui.
Tapi tak ada. Hanya pinus dan pinus dan pinus lagi berada di mana-mana. Sinar matahari seperti tak bisa menembus area ini saking lebatnya hutan. Aku tak menyangka ada area seperti ini di redville.

Dan sampailah aku di sebuah rumah tua bergaya victoria, berdiri sendiri di tengah hutan. 

Aku turun dari mobilku. Melihat sekeliling yang seperti tak berpenghuni. Tempat ini tak layak untuk manusia, pikirku. Jarak ke pengisian bensin hampir 1 mil jauhnya.

Aku berjalan menuju beranda, melewati tiga tangga dan lantai yang berdebu. Mungkin rumah ini kosong. Aku mulai mengetuk.

Pintu baru terbuka di ketukan yang ke tiga. Wajah itu ku kenali sebagai Annie Allen.
"Rupanya kau Atkinson..senang melihatmu." seperti biasa. Tanpa senyum.
"Shane..."
"Tunggu di sini.." ia kembali menutup pintu.
Dan di sanalah dia beberapa detik kemudian. Shane allen membuka pintu dengan nafas terengah. Ia menatapku lelah.
"Aku rasa kita perlu bicara..."
Shane menutup pintu untuk mengambil Jaketnya.
"Ayo kita pergi dari sini..."
Ia menarik tanganku menuju mobil. Aku menurut saja. Oh, aku tak tahu mengapa aku kemari dan menemuinya.

Ia mengendarai mobil dalam diam. Perjalan menuju corry lake terasa lama sekali. Aku benar-benar tak tahu mengapa datang..

Mobil kami terparkir di tepi danau. Aku duduk di bamper mobil. Dan Shane berada di sampingku.
"So,...berubah pikiran?" tiba-tiba ia bergumam.
"Tidak, aku bahkan belum menjawab.."
Ia menoleh untuk menatapku. Dahinya berkerut." Kau benar.."
"Aku heran padamu, Shane.." ucapku pelan memulai pembicaraan.
"Heran kenapga?"
"Kenapa kau mengatakan semua itu di depan banyak orang?"
"Aku hanya..."
"Kau bahkan tak pernah memberi tanda.."
Ia menunduk, tak segera menjawab. Sinar matahari membuat wajahnya tampak bercahaya.
"Apa kau mencoba memanfaatkanku?"
"Tidaak,Julie...jangan berpikir begitu." ia terlihat kaget.
"Kau tau, selama ini aku selalu menganggapmu istimewa. Walaupun kau bahkan tak pernah berbicara padaku. Aku tau kau berbeda, Shane."
"Aku tidak punya cukup keberanian untuk bahkan menyapamu..tapi, aku ingin menjadi orang pertama yang menolongmu saat kau dalam kesulitan."
"But,kenapa....kau mengatakannya di hari itu, Shane? Kenapa di saat semua orang menatapku? Aku hanya merasa aneh..."
"Karena aku tak ingin kehilanganmu lagi, Julie."
Aku tidak mengerti sama sekali apa yang di bicarakannya. Aku menatapnya dari balik rambutku yang tergerai.
"Kehilanganku lagi?"
"Kau ingat Rain? Saat pertama kali aku mendengarmu dengannya...aku berharap aku bisa memutar waktu. Dan ketika tahu kau putus denganya aku tahu itu kesempatanku. Dan ayahku kembali mengacaukannya."
Shane menyandarkan kepalanya di kaca mobil.
"Aku takut tak akan ada kesempatan untuk kita lagi. Atau setidaknya...aku."
"Aku sudah berpikir, " kataku pelan.
"Tentang aku?"
Aku mengangguk. "Aku akan pergi ke Cleve. Bulan depan."
"Tapi kenapa,Julie?"
Kami saling menatap, "aku...hanya...aku dapat bea siswa. Sayang jika aku mengabaikannya.." jawabku terbata.
"Aku tidak mengerti, Julie.."
"Begitu juga aku."
"Apa kau mencoba menghindar?"
"Tidak! "
Angin sejuk berhembus menggerakan rambutku, menyapu wajahku yang terasa panas. Shane melemparkan kerikil di tangannya.
"Tak ada gunanya aku di sini,Shane. Hubungan ini tak akan berhasil.."
"Tentu saja kita akan membuatnya berjalan. Apa maksudmu dengan itu semua, hah?!"
"Apa kau gila? Lihat ibuku, lihat ayahmu! Mereka saling mencintai!"
"Aku tak peduli..." gumam Shane cuek.
"Kita tak akan berebut kesempatan dengan mereka, Shane."
Aku melompat turun dari atas bemper. Shane mengikutiku melompat dari sisi lain. Ia berdiri di sebrangku. Matanya menyiratkan kekecewaan. 

Tanganku hampir membuka pintu mobil. Aku memutuskan untuk pulang.
"Hei, jika kau tidak mencintaiku kenapa kau datang?!"
Aku berhenti sejenak. "Aku mencintaimu, Shane....lebih dari yang kau tahu..."
Aku putus asah.
Mobilku melaju pelan meninggalkannya. Sesuatu sedang bergejolak dalam pikiranku. Apakah aku harus tinggal?

†***†******

"Hallo, Julie ini aku!"
"Millie!" aku menjerit senang saat mengenali siapa yang sedang menyapa di sebrang telepon. Suara yang sangat ku rindukan untuk ku dengar.
"Sedang apa kau?" ia menghela nafas.
"Oow, hampir mandi. Aku merasa tubuhku seperti sosis berbelepotan minyak. Rasanya lengket sekali."
" kalau kau sibuk aku bisa meneleponmu kapan-kapan.."
"Jangan. Aku senang sekali kau menelepon. Aku perlu teman bicara.." aku mempermainkan handuk di tanganku, memelintir-lintirnya hingga kecil.
"Kau baik-baik saja?"
"Ooya. Tentu. Aku baik saja koq." jawabku tergagap. Aku tau millie sedang menerka-nerka.
"Ibumu?"
"Lebih dari itu! Jangan khawatirkan kami. Semua baik-baik saja koq."
"Kau yakin?"
"Sangat!" yakinku padanya. "Sekarang ceritakan liburanmu di restoran india itu. Aku penasaran sekali.." aku mencoba meng alihkan pembicaraan.

"Tak ada yang istimewa. Hanya ada orang-orana asing yang sering datang. Lebih melelahkan, menurutku." Millie berhenti dan berdehem. "Dan aku ada kencan malam ini..!"
"Oh, wow!" aku memekik senang. "Ceritakan tentang cowok itu, nona..."
"Nanti saja .ok, harus pergi. Dia sudah
menunggu."
"Baiklah, semoga malammu menyenangkan."
" thanks, sampai jumpa!"
Oh, well betapa indah hidupnya. Aku menghela nafas. Mengeluh sesaat atas apa yang terjadi.

Millie benar-benar punya hidup yang indah. Atau setidaknya ia tak punya masalah dalam hidupnya. Kehidupan yang diinginkan setiap orang. Tak ada yang perlu di khawatirkan.

Aku mendengar jendela kamarku berderak-derak ditiup angin. Hujan gerimis mulai turun.

Aku berjalan menuju jendela untuk menguncinya. Sesaat kemudian mataku terbelalak terkejut. Udara di luar terasa dingin menggigit. Lalu apa yang di lakukan Shane di balkon kamarku?
"Bagaimana kau bisa naik?" bisikku tertahan seraya membuka jendela.

Ia basah kuyup, sweternya yang basah mencetak bentuk tubuhnya. Ia terlihat menyedihkan.

Kami saling menatap untuk beberapa saat. Lalu aku memutuskan untuk menariknya masuk.

Voment selalu diharapkan. Biar makin semangat nulisnya. Thanks.

andai kau dan akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang