Leave

144 6 0
                                    


Chapter
21

Aku mendongak ke arah sebuah bangunan berdinding bata yang berdiri beberapa meter dariku.Tingginya yang menjulang membuatku merasa seperti kurcaci.

Jendela-jendela yang terkuak membuatnya tampak seperti monster dengan banyak mata. 

Bangunan itu terdiri dari dua belas lantai. Terdapat tanaman ivy yang merambat hampir menutupi seluruh dindingnya. Inilah Cleve University. Tempat yang dari dulu aku bayangkan akan ku datangi.

Aku melihat berkeliling, ke arah bangunan lain yang mengarah pada bangunan utama. Bangunan itu berdinding batu, terlihat tua dan megah. Jendelanya besar- besar, cahaya kuning yang remang terbias dari kacanya yang buram. Lumayan seram jika malam tiba.  
"Seperti nya ini yang kau cari, sayang.." ibuku memeluk bahuku dan menggiringku untuk meninggalkan lapangan berumput hijau itu yang terbentang di kelilingi gedung- gedung besar dan tua. Pas seperti di pamflet yang terpampang di mana-mana.
"Juliane atkinson!"
Seseorang berseru di belakang kami, aku berbalik seketika ke belakang dan menemukan seorang wanita mungil yang cantik sedang berlari kecil menghampiriku. Kaus polo berwarna putih yang dikenakannya seakan menunjukkan bahwa ia baru membelinya . Ia berambut merah, dengan wajah yang mirip julia robert, sedang tersenyum dengan ekspersi terbaiknya padaku.
"Yah,.." aku menjawab saat ibuku menurunkan kaca mata hitam dari wajahnya.
"Di sini kalian rupanya. Senang sekali bisa bertemu denganmu, nona atkinson." ia menjabat tanganku. "Dan anda..."
"Aku Edna Atkinson. Ibunya.." mereka saling berjabat tangan sebelum Maggie membenarkan letak map di tangan kirinya yang mungkin berisi Data-data siswa didiknya.
"Aku Maggie, aku yang mengurus semua tentang kehidupan di asrama. Aku sudah mencari-carimu mulai dari dua hari lalu, aku pikir kau membatalkan beasiswa itu. "
"Maafkan kami, kami tidak sempat melakukan itu. Tapi kami sudah di sini." ibuku menjelaskan.
" Ok. Aku akan memberimu beberapa penjelasan tentang peraturan di asrama dan sekolah. Jadi kau bisa melakukannya dengan baik. Uuhmm, kamarmu di lantai lima, kamar bernomor 10. Aku harap kau akan menyukai teman sekamarmu karena ia juga berasal dari Redville."
"Benarkah? Boleh kami tahu?"
"Nanti setelah kau masuk dan menemukannya."
"Terima kasih sebelumnya."
"Sama-sama." ia melambai sebelum meninggalkan kami. Tapi kemudian berbalik lagi. "Kelas-kelas akan dimulai seminggu lagi. Jadi kau punya waktu untuk bersiap-siap."
"Ok. "

Aku kembali asyik dengan kebingunganku sendiri. Merasa senang sekaligus takjub secara bersamaan.
Beberapa remaja sepertiku berlalu-lalang melewatiku. Dengan ransel besar dan koper yang mereka seret dengan suara berdecit-decit dari roda kecil yang macet di jalan yang terbuat dari batu. Seandainya saja Millie juga bersamaku saat ini. Kami pernah bermimpi berada di sini bersama-sama.
"Ayo kita ke asrama. Aku ingin melihat bagaimana keadaan kamarmu." Mom mendahuluiku berjalan menuju bangunan berdinding batu berwarna legam yang berdiri menghadap bangunan kampus.
"Yah, tentu saja."

Kami menelusuri lorong dengan lampu- lampu berwarna kuning yang menempel di dinding. Lantainya tampak kusam dan tua. Seperti tidak terawat atau lebih karena termakan usia.
"Hunny, jika kau ke sini hanya untuk mencari yang seperti ini, aku rasa di Redville jauh lebih baik dari ini.."
Aku menoleh ke arahnya.
Langkah kami terdengar ribut dengan suara berkelotak dari high heels mom, menyadarkanku bahwa kami hanya berdua di lorong itu.
"Tidak apa,Mom. Justru karena keadaan seperti inilah yang membuatku bangga. Ini sekolah tertua di Cleveoak. Keren, kan?!" aku berdecak senang.
"Apa bagusnya sih?" cibir Mom dengan judesnya. "Kau menjauhkan diri dariku hanya demi gedung dan sekolah tua macam ini."
"Moom..."
"---Yah-yah. Aku tahu apa yang akan kau bicarakan."

Kami berdiri di depan kamar dengan nomor 10. Mom menengadah mencari-cari sesuatu di atas kepalanya.
"Mom mencari apa sih?" tanyaku aneh. Seharian ini ibuku sukses membuatku kesal setengah mati. Lagaknya bahkan seperti gadis berumur tiga belas tahun yang baru mengalami puber.
"Hanya mencari alat pengaman kebakaran."  ia memutar knop pintu di hadapan kami. "Aku hanya ingin memastikan kau dalam gedung yang aman."
"Ayolah, Mom..terlalu berlebihan."
Saat pintu terbuka, aku merasa bahwa kata-kata ibuku ada benarnya juga.
Kamar itu tidak terlalu besar. Tidak lebih besar dari kamar tidurku di rumah. Terdapat dua ranjang yang berjajar dalam penerangan remang . Jendela besar yang mengarah pada lapangan berumput hijau di tengah komplek tertutup tirai tebal yang kelihatan berdebu. Aku mengerjap- ngerjapksn mataku. Oh, apakah memang seperti ini keadaan asrama?
. l
Sebuah koper lain telah tergeletak di salah satu ranjang. Separuh isinya telah keluar.
"Hunny,..." Mom mulai mencercau. "---aku rasa.."
"Mom, aku rasa, aku akan betah berada di sini.." bohongku dengan mantap. Walaupun mataku menengadah dengan tatapan liar ke arah kertas dinding di seluruh ruangan yang telah menguning dan usang. Ya ampun, kapan terakhir kali mereka menggunakan ruangan ini untuk di tempati manusia? Pikirku dalam diam.
"Aku tidak yakin---kau pasti akan menjerit minta pulang saat mobilku meninggalkan pelataran parkir."
Kau benar, Mom. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menang. Aku akan berusaha menerima keadaan.
"Aku akan baik-baik saja. Sungguh!"
"Sayang, ayolaaah...lihatlah semua keadaan ini. Kau tidak mungkin berada di sini. Jika kau ingin hidup mandiri setidaknya carilah tempat yang layak...tempat ini hanya untuk para siswa yang membutuhkan sokongan dana. "
"Memang, Mom. Bukankah aku juga menerimanya??"
"Apa?!" wanita setenga baya itu mengerang tak percaya.
"Bukankah aku sudah pernah bilang?"
"Tidak! Kau belum pernah mengatakannya padaku!" suara Mom memecah keheningan ruangan. "Julie, dengar---aku tidak pernah menuntutmu untuk kuliah di manapun. Aku tidak pernah mewajibkanmu berada di universitas favorit. Aku membebaskanmu memilih apa yang kau sukai, tapi ini...." matanya melihat ke seluruh ruangan dengan ekspresi tidak percaya.
"Aku akan senang sekali jika Mom menghargai keputusanku dalam hal ini." nada suaraku lebih rendah dari sebelumnya. Hanya untuk meredam kemarahan ibuku.

Kenyataan bahwa sekarang kami lebih renggang dari beberapa bulan lalu, membuatnya berpikir bahwa segalanya harus berjalan sesuai keinginannya. Dan bukan aku yang memegang kendali. Yah, dia mirip adikku, jika aku punya.
"Aku tidak habis pikir..." katanya lagi, seperti tak mendengar kata- kataku barusan.

Aku berusaha bersabar dengan tidak mengatakan apapun. Tapi Mom terus saja mengoceh.
"Dulu kau tidak begini. Sebelum aku dan Josh bersama. Kau selalu mengatakan apapun yang kau mau dan itu membuat kita dekat. Sekarang aku tak mengenalmu lagi. Kau seperti orang asing sekarang. Aku tak mengenalimu lagi.."
"Memangnya apa yang sudah ku lakukan?!" aku mulai kehilangan kendali dan bertanya dengan nada sengit.
Ibuku  hanya menunjukkan gerakan gugub dari mimik mukanya.
"Kau dan Shane. Kalian sama. Aku tahu kau menentang kami. Hanya saja kau menutupimya dan Shane menunjukkan terang-terangan. Dan aku hanya ingin bertanya kenapa, Julie? Kenapa?"
"Hhhh,..."
"Kau bersikap seakan kita ini orang asing. Aku bukan lagi orang terdekatmu. Kau---seakan berusaha menetapkan batas di antara kita. Katakan, apakah aku benar, Julie?"
Rasanya sakit sekali menemukan pertanyaan menohok itu ditujukan padaku. Selama ini aku melindungi perasaanku sendiri dari pertanyaan macam itu. Hanya agar aku tak perlu mengetahui perasaanku sendiri.

Tapi aku tahu saat itu akan tiba. Sekarang!
"Mom, aku rindu pada Dad.." jelasku pelan. Aku mencoba membuatnya berpikir jernih. Dan itu adalah Dad.
"Kau apa?"
"Kau tahu, aku berpikir begitu juga tentangmu." jawabku. "Dad tidak pernah membuatmu berbuat seperti itu. Dan aku merindukan dirimu yang kuat dan bijaksana. "
"Julie..."
"Kau tak lagi seperti itu, Mom. Apa kau menyadarinya?"
"Tidak, aku masih seperti yang dulu sayang..."
" Josh sudah mengubahmu. Dia yang selalu membuatmu berpikir tentang masa depan kalian dan melupakan masa lalumu. Dan bagaimana dengan aku? Seperti nya aku adalah masa lalu itu."
"Aku tidak melupakanmu, Julie." nada suaranya berubah ketakutan.
" Mom tidak pernah membayangkan bukan bagaimana rasanya akan mendapatkan seorang ayah tiri? Mom tak pernah menanyaiku tentang itu. "
"Ya, Tuhan,Julie. Aku melakukan ini untukmu juga, sayang. Agar kau tidak kehilangan figur ayah dalam hidupmu. Dan---"
"----well, kau malah membuatku kehilangan keduanya. Kau dan dan Dad."
"Apa? Ooh..." air mata mulai berderai di pipinya.
"Maaf,..." bisikku padanya.
"Kenapa kau tidak bilang dari dulu, Julie? Kenapa baru sekarang?" ia terisak dengan suara parau.
"Maaf,..." bisikku lagi. "Tapi, aku hanya tak ingin melukai siapapun. Dan kau bilang, kalian bukan kekasih."
"Ok....ok" Mom menelan ludah dengan susah payah. "Aku akan membatalkan pernikahan itu."
"Jangan. Kau tidak perlu melakukan itu. Sungguh?"
"Sudah, jangan berkata lagi. Aku bisa mengatasi ini sendiri."
"Mom,"

Terdengar knop pintu di putar dari sebuah pintu yang seperti nya mengarah pada kamar mandi.

Seorang gadis muncul dari sana. Dalan balutan handuk yang hanya menutupi separuh tubuhnya. Kami mengenalinya sebagai Courtney jefferson. Gadis yang tinggal di sebrang blok rumahku.
" Hai,." sapanya sedikit kaget dan malu.
" Hai, Courtney.."
"Apa yang terjadi?" gadis berambut pirang itu tampak tak mengerti.

Mengusap air matanya. Lalu bangkit dari tempatnya.
"Well, aku hanya terharu, Courney."
Ia memdekat dan mencuimku sekilas dan memeluk Courtney erat sebelum berjalan melewati pintu

andai kau dan akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang