Chapter
17"Diam kau, Jessie. Kau bicara terlalu banyak!"
Aku tak bisa menyembunyikan amarahku.Aku bangkit dari tempatku. Berjalan menyongsong mereka yang sedang berkerumun termasuk Jessica.
"Mau kemana kau, Julie? Pestanya belum usai?!"
Ia berteriak di belakangku. Tapi aku bahkan tak bisa menoleh lagi ke arah mereka. Rasa malu, marah dan menyesal bercampur dalam otakku. Aku hanya ingin pulang.Rain berdiri di dekat pintu, mengawasiku keluar dari apartemennya dengan terburu-buru. Ia tak tahu apa apa. Mukanya menunjukan kebingungan yang lucu.
Aku berlari di antara deretan mobil di pelataran parkir. Aku tidak bisa menemukan mobilku, otakku buntuh untuk mengingatnya. Dan kesialan tidak hanya berhenti sampai di situ.
Rintik-rintik hujan mulai turun di atas kepalaku, mengeroyokku di tengah pelataran parkir yang sepi.
Aku memang bersalah. Aku satu-satunya orang yang paling berdosa dalam kisah cinta kami. Aku pantas kehilangan.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak peduli lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku bersandar di samping sebuah mobil dodge di tengah deretan, tubuhku merosot di lantai parkir yang dingin. Wajahku terasa panas dan lengket. Aku bisa merasakan make upku luntur berantakan. Maskaraku meleleh meninggalkan noda hitam yang menyedihkan di sepanjang pipiku. Aku hanya ingin Shane kembali dan memaafkanku.
Jika memang ia tak bisa memaafkanku,setidaknya aku bisa menjelaskan apa yang terjadi. Aku menyesal telah mengecewakannya. Aku sangat-sangat ingin memutar waktu dan mengubah semuanya.
Aku masih meringkuk di tempatku, terisak dengan nafas terengah ketika seseorang membungkuk padaku. Tubuhnya terlindung payung hitam yang lebar.
"Apa kau baik-baik saja?"
Aku mendongak seperti kodok dan ternganga seperti orang idiot menatap wajah di hadapanku.Penerangan di pelataran parkir itu memang payah, tapi aku yakin bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia terlihat baru pertengahan dua puluhan. Wajahnya hangat dan menakjubkan.
Ia mengguncang-guncang bahuku."Hei, apa kau mabuk?"
Aku tersadar dari keterpakuan.
"Tidak. Aku tidak mabuk." buru-buru aku mengusap air mataku yang bercampur air hujan.Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Aku punya handuk kering di dalam mobil. Bangunlah..."
Ia menarikku agar berdiri. Lalu ia membuka pintu dodge hitam itu dengan susah payah.
"So, apa yang kau lakukan di sini?" ia memberikan payungnya padaku.
"Aku,..lupa di mana memarkir mobilku." jawabku serak.
"Karena itukah kau menangis?" tanyanya sambil tersenyum lembut. Ia memberiku jalan agar aku masuk mobilnya.
"Thanks,.." aku menjatuhkan diri di jok mobilnya, menggigil kedinginan. "Aku mengalami hari yang sangat buruk hari ini..." suaraku yang serak berubah parau.Ia mengulurkan handuk kering pada ku, kembali mengulaskan senyum di bibirnya.
"Aku Nathan Reinhall. Siapa namamu?"
"Julie. Atkinson."
Ia memberiku selembar tisu basah padaku." bersihkan wajahmu dengan ini."
"Trims.."
"Aku akan membantumu mencari mobilmu."
"Kau baik sekali. Tapi kau tidak harus melakukannya, Nath." aku mengusap rambutku yang basah dengan handuk, mengelap wajahku yang belepotan make up sambil memperhatikan Nathan yang mulai mengemudikan mobilnya. Aku baru menyadari aroma lavender yang menguar di dalam ruangan. Aroma itu membuatku tenang.
"Mau menceritakan tentang harimu?" ia menawarkan saat mobilnya mulai berbelok menuju deretan-deretan mobil yang lebih banyak.Aku menggeleng. "Aku ingin tapi tidak bisa."
" Bagaimana dengan nomor telepon? Kita bisa mengobrol kapan-kapan."
"Yah, kapan-kapan."
Aku menuliskan nomor ponselku di secarik kertas yang terdapat di dashboard. Hanya untuk mambalas kebaikannya.************
Di sepanjang pagi ini, aku berkendara berkeliling kota. Tak peduli berapa jam aku tidur semalam, yang jelas waktu terasa sangat lama.
Aku hanya ingin sendirian. Aku hanya ingin menghabiskan waktu tanpa pertanyaan dari orang lain, berharap menemukan Shane di suatu tempat.Aku terpaku di corry lake untuk beberapa lama. Menatap layar ponsel di tanganku tanpa berkedip. Tak ada yang menelepon.
Angin sejuk berhembus mengibarkan rambut coklat sebahuku, membelai lembut wajah murungku. Menyebarkan aroma pinus yang manis di udara. Sinar matahari pagi yang redup membuatku tak ingin beranjak. Aku merasa damai di sini.
Seseorang melangkahkan kakinya semakin mendekat ke arahku. Suara kerikil yang bergemeratak terinjak membuatku menoleh ke belakang.
Shane..
Kami saling diam beberapa saat, saling membelakangi dan tidak saling menyapa. Sejujurnya, aku tidak tahan. Dia adalah satu-satunya orang yang ingin ku ajak bicara.
"Maaf,..." gumamku sambil menunduk. Tak sanggup menatapnya.Shane tak bergeming, ia seperti tak menyadari keberadaanku.
Aku berpaling ke arahnya, membutuhkan keberanian besar untuk melakukan itu.
"Setidaknya umpatlah diriku, itu lebih baik dari pada hanya diam dan menghindariku." aku bergeser untuk duduk di sampingnya.Ia tetap membisu, matanya menatap kosong ke ujumg danau.
"Shane,..." bisikku lagi.
Ia tetap tak menjawab. Aku tahu tak ada harapan lagi untukku. Kebisuannya membuatku jengah dan merasa bersalah. Dia tahu cara menghukumku."Ok. Selamat tinggal.."
Aku bangkit dan berjalan meninggalkannya. Kayu di dermaga itu berkriyut saat aku menginjaknya. Seakan mengejek kami berdua, suara kayu terinjak itu terdengar menjengkelkan dan ribut. Aku ingin sekali mematahkannya sekalian."Aku benar-benar tak mengerti cara berpikirmu, Julie." suara Shane tiba-tiba memecah keheningan kami.
Ia menghentikan langkahku, memaksaku berpaling kembali padanya. Sementara nafasku tercekat di tenggorokan, aku bisa merasakan tatapan tajamnya menghujam jantungku.
"Aku sudah melakukan apapun agar hubungan ini bisa berjalan. Aku menentang semua orang, aku rela ayahku menbeci diriku. Aku rela mempermalukan diriku sendiri di hadapan banyak orang, hanya agar aku bisa bersamamu, Julie." ia meneruskan. "Aku tak pernah melakukan hal-hal gila seperti ini sebelumnya. Dan kau mampu membuatku seperti itu. Aku hanya merasa sangat heran kenapa kau seakan menghempas semuanya. Kau sibuk mengatakan pada orang-orang bahwa kau tidak mencintaiku sama sekali."
Aku bisa mendengar nada kekecewaan dari suaranya.
"Aku tahu, aku juga membenci diriku sendiri karena melakukan ini." ucapku pelan.Shane berdiri di ujung dermaga, matanya kembali menatap kosong ke arah danau.
"Demi ibumu?" tanyanya pelan. Angin bertiup pelan menerpa tubuh kami, memberikan rasa dingin ke seluruh tubuhku.
"Yeah,..." aku mengangguk.
Ia menghela nafas pelan. "Jika dia benar-benar mencintaimu, dia pasti akan mengerti. Dia pasti akan meninggalkan ayahku dan membiarkan kau bahagia."
"Tentu saja dia akan melakukan itu!" suaraku meninggi." Tapi aku,...aku tak akan membiarkan dia kecewa, Shane." mata kami bertemu . "Aku bisa saja meninggalkanmu dan menggantimu dengan orang lain suatu hari nanti, tapi ibuku---ayahmu adalah orang pertama yang dicintainya setelah dad meninggal. Selama ini dia menghabiskan waktunya untuk mengurusku dan tidak mengizinkan lelaki manapun masuk dalam kehidupan kami. Dia melakukannya untukku, Shane. Dia hanya ingin aku tumbuh tanpa merasa kehilangan setelah dad meninggal. Dan ayahmu adalah orang pertama yang mampu membuatnya percaya dan tersenyum,
dia tidak akan mudah menggantinya dengan orang lain."
Shane membisu. Ia tertunduk lesu.
"Maafkan aku, sungguh..." air mataku mengalir pelan di pipiku.Shane melangkah mendekatiku. Ia merengkuhku dalam pelukannya yang panjang.
"Maafkan aku, Shane." bisikku lagi di telinganya.
"Apa kau akan meninggalkanku?" ia bertanya dalam pelukanku.
Aku menggeleng, sejujurnya aku tak tahu.Kayaknya cerita ini hampir di ujung akhir cerita deh, mungkin ini 3 chapter terakhir tapi semua bisa berubah juga sih hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
andai kau dan aku
Romancejulie tidak pernah naksir seorang cowok seperti ia naksir pada shane allen.karena shane berbeda dengan cowok lain, shane sangat misterius, tak banyak bicara, tak suka menggoda, hanya matanya yang indah yang menyiratkan banyak cerita. julie benar be...