Haiii aku Suci, inilah awal mula kisahku.
Hening dalam ruang keluarga yang sebelumnya begitu ramai, karena akan adanya pesta pernikahan kini berubah seratus delapan puluh derajat, setelah berita dikabarkan.
Budhe Arni pingsan dan dibawa masuk kedalam kamarnya oleh sang suami dan ayah, serta diikuti bunda yang terlihat panik melihat kakak sulungnya pingsan.
Aku yang juga berada disana ikut terkejut tentunya akan kabar berita, jika calon istri dari kakak sepupuku itu memutuskan untuk tak melanjutkan acara pernikahan, dengan alasan memilih kabur dari rumah dengan kekasihnya.
Mas Agam, lelaki yang baik, penurut, sukses dengan karirnya, bisa dikatakan sempurna untuk menjadi seorang laki-laki dewasa, telah dicampakan oleh calon istrinya.
Pernikahan yang diatur oleh orang tua, dengan tak lain di jodohkan oleh para orang tua, bermula saat budhe Arni bertemu kembali dengan sahabat beliau di bangku SMK dan mereka berdua berniat menjodohkan putra putri mereka. Karena teman budhe yang telah tak memiliki suami dan banyak hal yang dipertimbangkan maka acara semuanya di adakan dirumah pihak pengantik laki-laki.
Perjodohan yang memang dipaksakan tanpa mempertimbangkan apa konsekuansi-konsekuensinya, beginilah jadinya.
Calos istri mas Agam ternyata memilik kekasih, dan kini mereka telah meninggalkan rumah, disaat hari dimana harusnya akad nikah di laksanakan, dan juga pesta nanti malam di gelar di salah satu gedung tak jauh dari komplek perumahan budhe Arni.
Aku yang juga ikut merasa terkejutnya, dan merasa tak wajib ikut campur urusan orang dewasa, memilih untuk melipir kedapur dengan Mbak Asti sepupuku lain, yang baru saja menikah setahun lalu dan kini sedang hamil.
"Kurang ajar ya tu cewek, kalau enggak nerima mending dari awal nolak, ini udah siap tinggal acara inti malah kabur"
Mbak Asti lebih ke emosi dengan calon pengantin perempuan, berbeda denganku yang tak tahu harus bersikap karena pemikiranku belum sampai di dunia oranb dewasa, meskipun kini aku akan memasuki dunia menjadi seorang mahasiswi.
"Makan ajalah mbak, laper banget semalam sampai sini mau minta makan malu"
Aku dengan mbak Asti dengan santainya menikmati makanan yang tersaji di meja makan dekat dapur yang sebelumnya para keluarga yang wanita berkumpul memasak sejak sebelum subuh.
"Beb kamu disini?"
Suami mbak Asti tiba-tiba muncul di pintu penghubung antara ruang makan dan ruang keluarga.
"Makan dulu beb, sini"
Mbak Asti berdiri untuk mengambilkan piring dan melayani sang suami yang kini ikut bergabung dengan kami.
"Di depan gimana Beb situasinya?"
"Budhe udah sadar, barusan diperiksa sama dik Doni"
Doni adalah dokter umum adik dari mbak Asti, jadi bunda itu tiga bersaudara dan perempuan semua untuk anak pertama adalah budhe Arni yang kembar dengan budhe Irna, sedangkan yang terakhir adalah bunda setelah sepuluh tahun kedua budheku lahir barulah bunda hadir.
Disaat aku ingin beranjak untuk mandi setelah selesai aku sarapan, karena sejak pagi kamar mandi yang mengantri membuatku urung untuk mengguyur tubuhku. Suara adikku Kevin terdengar.
"Kak di panggil ayah"
Yang awalnya aku mengira ayah akan meminta bantuanku untuk sesuatu hal, ternyata beliau memanggilku untuk kembali berkumpul diruang keluarga yang kini budhe Arni juga sudah ada disana, telihat mata ketiga wanita bersaudara itu memerah karena menangis.
"Kak sini duduk samping ayah"
Suara ayah yang tegas memintaku untuk duduk disamping beliau, dandananku yang masih mengenakan celana pendek selutut serta kaos kebesaran milik mas Agam yang kupinjam untuk tidur semalam, dan rambut yang kecemol seadanya, terlihat sepertinya hanya diriku yang belum mandi hari ini, tetapi sudah lebih dulu sarapan.
"Kak, kami semua mau minta tolong ke kakak, ayah rasa keputusan ayah buat minta tolong ke kakak enggak salah"
Ayah membuatku sedikit takut, entah apa maksud ayah dan semua yang terdiam membuat suasana semakin tegang.
"Apa yah?"
Permintaan tolong ayah kali ini kirasa bukan sekedar, untuk membuatkan kopi, atau meminta untuk membelikan rokok di warung.
"Kakak mau ya nikah sama mas Agam"
Bukan lagi terkejut seperti berita tadi pagi saat aku bangun tidur, ini lebih seperti terkejut saat mimpi didalam tidur, yang seolah-olah jatuh dari atas langit.
Entah apa yang akan kukatakan, aku hanya terdiam bergantian kutatap ayah dan bunda serta kedua budheku, dan beralih hingga ke mas Agam yang duduk menutup wajahnya.
TBC