"Berhentilah nak"
"Alasannya?"
"Kau sudah banyak mengotori tanganmu untuk menghukum para bajingan itu"
Krist sedikit terkekeh "Kalau bukan aku, lantas siapa yang harus mengadili mereka? Pihak kepolisian atau hukum negara ini?" Jangan bercanda pa" Ucap Krist santai sembari memutar gelas winenya dan mulai meneguknya perlahan.
Marvin memejamkan matanya, dalam sudut hatinya terasa begitu remuk sejak bertahun-tahun lalu, lebih tepatnya sejak ia tahu kondisi apa yang membuat anak kesayangan dalam hidupnya memilih jalan biadab ketika menyelesaikan sebuah masalah.
Sebagai bagian dariAparat Negara, hidupnya penuh dilema, satu sisi harus bertanggung jawab tetapi di sisi lain ia berbohong atas dasar Marvin terlalu mencintai anak semata wayangnya. Katakanlah ia gila karena terlalu berani mengambil resiko sebesar ini, tetapi orang tua mana yang tidak ingin melindungi anaknya.
Alasan Marvin melibatkan Krist pada pengungkapan kasus pembunuhan berantai sebenarnya hanya ingin membuat Krist tersadar, jika satu Negara sedang memburunya dan ia ingin Sang Anak tahu jika sampai suatu hari Krist tertangkap, maka tamatlah riwayat mereka meski kekuasaan sudah ada digenggaman.
"Son, sudah cukup, kau tidak kasihan dengan wanita yang bernama Arlita Perawat?"
Krist yang sedang menuangkan wine ke dalam gelasnya lagi tiba-tiba saja berhenti karena tangannya sedikit bergetar.
"Wanita cantik itu, kau harus mempertimbangkan demi dirinya Krist, sudah cukup rahasia ini kita simpan, andai mama mu tahu bagaimana hidup yang anaknya jalani setelah kejadian itu, kita pasti akan kehilangan sesuatu yang sudah kita jaga dengan benar, dan papa tidak ingin belahan jiwa papa terluka karena ulahmu"
Marvin bangkit dari duduknya di sebuah sudut agak gelap, mendekati Sang Anak yang masih diam mematung karena ucapan terakhirnya.
"Pergilah untuk menyembuhkan diri, setelah itu kembali pada kami tanpa mengikutsertakan alter egomu lagi, Krist yang lahir dari rahim istriku bukan sosok manusia pendosa, ia sangat manis bahkan melebihi gulali kesukaannya"
Marvin dengan berat hati meninggalkan anaknya yang semoga saja itu mampu membuat Krist memikirkan lagi sepak terjangnya dalam dunia kriminal, ia paham dengan alasan Sang Anak sampai melangkah sejauh ini, tetapi Krist harus tetap selamat karena jika terjadi sesuatu pada anak semata wayangnya, sudah bisa dipastikan jika Sang Istri juga akan ikut menjemput ajalnya.
***
Singto menatap lurus ke arah langit malam gelap, di sana tak ada satupun cahaya bintang yang hadir untuk menerangi dunia. Seperti tahu bahwa suasana hatinya begitu kelam, bahkan semesta seolah mengamini kondisinya saat ini.
Semenjak pertemuannya dengan sisi lain dari Sang Kekasih, oh tidak, iya bahkan bingung harus menyebut Krist seperti apa sekarang, disaat belum ada kalimat perpisahan dari keduanya, tetapi bentangan jarak seolah tak mampu mereka gapai lagi untuk kembali bersama.
Krist seperti diciptakan dari api neraka paling panas yang jika ia dekati, seketika akan membumi hanguskan jiwa dan raganya. Tetapi semua itu tidak berlaku ketika ia berbicara mengenai hati, api jenis apapun rasanya tak mampu membakar sesuatu yang tersimpan di dalamnya, semua tetap utuh bahkan tanpa tersentuh sedikitpun.
"Mencintaimu begitu besar ternyata aku sekarat Krist, tetapi tidak bersamamu justru aku seperti mati, apa yang harus aku lakukan? Huhhhhh"
Singto lagi-lagi menumpahkan air matanya. Menjadi cengeng adalah kebiasaannya sekarang setelah dirinya dan Krist berantakan.
Setelah tersadar sempurna dan menyadari kepergian Krist begitu saja, Singto ingin mengejar dan berlutut meminta kemurahan hati kekasihnya agar mereka tetap bersama, tetapi saat mengingat apa yang ia lihat dan jeritan yang ia dengar dari para korban, mendadak tubuhnya kembali kaku dan tak berani menjangkau lagi cintanya.
Kemampuan yang ia miliki terasa seperti sebuah kutukan untuk saat ini, padahal sejak dulu ia begitu bangga karena semua yang ada di dalam dirinya menjadikan ia sebesar sekarang.
"Bagaimana sikapmu pada Krist sekarang? Apa tidak sebaiknya berhenti saja dan hidup masing-masing dengan cara tidak saling mengusik"
Singto kembali menetaskan air matanya tanpa bisa ia cegah.
Sialan! Mengapa dirinya jadi selemah ini hanya perkara cinta, padahal dahulu sekali, jangankan menangis, ia bahkan tertawa keras ketika terlepas dari para pasangannya.
"Entahlah Mer, aku bahkan tidak tahu pikiran apa yang paling mendominasi di dalam otak ku sekarang, ingin putus atau terus"
Meredith hanya bisa menggelengkan kepalanya tanda tak percaya dengan sikap Singto. Mengenal pria itu sejak lama sekali, dan saat ini melihat sebegitu terpuruknya Seorang Singto karena cinta, seperti mimpi saja dan rasanya sangat buruk.
"Yang paling sulit adalah berbagi dengan Alter Egonya, sekuat apapun dirimu, ku rasa tidak akan bisa mengendalikan karena kemampuanmu sebagai manusia biasa juga punya batasan, bisa saja sisi lain dari pria mu itu justru akan melenyapkan mu karena merasa kau adalah pengganggu"
Mer berjalan mendekati Singto dan meremas kuat bahu sahabatnya untuk menyalurkan dukungan pada pria rapuh itu "Pikirkan dengan penuh perhitungan, cinta boleh saja tetapi menjadi stupid adalah haram hukumnya, jadi jangan sampai salah langkah" Sebuah tepukan halus mengakhiri percakapan mereka, karena Meredith lebih memilih untuk meninggalkan Singto.
Pria itu butuh istirahat dan ketenangan agar batinnya membaik, sulit memang jika harus mencintai tetapi di dalamnya banyak taburan duri, antara kau tetap melangkah tetapi berdarah-darah, atau kau memilih berputar arah lalu menyelamatkan diri.
Eh ketemu lagi, seneng dong ya Bestie boochin...
Sesuai request harus sering sering update, nih diturutin sekarang.
Baik kan teteh
Vote dan komen rame tembus 2 milyar, kita ketemu di NC part kali ya
Buahahaha🤣🤣🤣
Ngarep
Bye Maksimal

KAMU SEDANG MEMBACA
Irony
Fanfiction"You deserve a relationship that enables you to sleep peacefully at night"