13

90 12 2
                                    

Mentari kembali menyapa dunia. Membiaskan cahaya hingga menerangi setiap sisi kehidupan.

Mengenai kegundaan hati Kenan. Sejatinya pemuda itu mencoba untuk lupa sejenak. Beristirahat dari pilu yang membelenggu hingga menikam relung perasaan.

Dalam balutan seragam sekolah. Remaja itu melangkah pelan memasuki ruangan perjamuan, bergabung bersama anggota keluarga lainnya yang sudah terlebih dahulu berada disana.

Tidak seperti biasanya. Pagi ini Kenan memilih diam, menyunggingkan senyum sebagai pengganti sapaan untuk keluarganya.

"Lemas banget. Sakit lagi?" Antariksa menyentuh kening adiknya, sekedar memastikan jika kesehatan sang adik tidak kembali menurun.
"Nggak panas" Lanjut Antariksa.

"Kan nggak sakit" Balas Kenan singkat.

"Mandi nggak si, Ken?. Kayak kusut banget" Mahawira turut memperhatikan Kenan. Putera tertua tuan besar Dewantara itu sedikit tertawa diakhir kalimatnya.

"Mandi kok. Cuma kurang tidur aja makanya kelihatan beda" Balas Kenan.

"Kok bisa kurang tidur?. Main game sama Marcel?" Mahadewa menimpali.

Marcel menoleh. Mendengar namanya diserukan, putera tertua Mahawira itu menatap datar pada pamannya, Mahadewa. Ia tidak terima, meskipun dirinya dan Kenan memang kerab bermain game bersama hingga larut, tetapi semalam ia sama sekali tidak mengajak Kenan tidur larut malam. Tentu saja hal itu Marcel lakukan karena mengingat paman termudanya itu masih dalam masa pemulihan.

"Jadi aku yang kena" Gerutu Marcel.

"Kan siapa tau kalian begadang berdua kayak biasanya" Balas Mahadewa.

Membiarkan perbincangan berlarut lebih dalam seraya menunggu kehadiran tuan besar Dewantara dan Nyonya Alisa. Kenan menyandarkan punggung pada sandaran kursi, kepalanya terasa berdenyut dan pandangan remaja itu sedikit memburam. Namun, ia diam. Menikmati gejolak aneh yang menerpa tubuhnya.

~~~●○☆○●~~~

Bagaskara perlahan menyingkir, namun teriknya belum jua usai. Waktu menunjukkan pukul 3 sore saat sejumlah siswa laki-laki terlihat berlari dan saling mengoper sikulit bundar ditengah rerumputan hijau. Dibanjiri keringat serta deru napas menggebu. Mereka tampak bersemangat saling bekerja sama disesi latihan kali ini.

"PASSINGG...PASINGGG...JANGAN MAIN SENDIRI" Seorang pria paruh baya. Pelatif sepak bola yang juga mencakup sebagai guru olahraga sekolah ini berteriak lantang. Mengintrupsikan pada semua siswa agar lebih mengandalkan kerja sama tim.

Perminan dibagi menjadi dua regu. Dimana satu regu diisi oleh 11 pemain, yang mana dari 22 siswa tersebut pelatih hanya akan memilih 11 orang untuk menjadi tim inti dan mewakili sekolah diturnamen sepak bola tingkat Sekolah Menengah Pertama se-Jakarta.

Hingga pertandingan berakhir. Mereka menepi dan mendengarkan arahan pelatih. Sesuai dengan survay yang telah diadakan, pelatih membacakan 11 nama pemain yang akan terpilih mewakili sekolah.

Kenan dan Leo saling menyunggingkan senyum setelah mengetahui nama mereka termasuk didalam daftar. Kedua sahabat itu akan kembali berlaga dilapangan hijau mewakili sekolah, seperti tahun lalu.

Kegiatan berakhir. Pelatih meninggalkan lapangan, menyisakan para siswa dengan perasaan yang berbeda setelah menerima hasil survay pelatih.

"Selamat ya buat kalian berdua"

Kenan dan Leo menoleh. Tampa ragu Leo membalas jabatan tangan Aryan. Namun tidak dengan Kenan, remaja itu hanya mematung tampa kata.

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang