21

55 8 6
                                    

Dua hari berlalu tampa arti. Kondisi Kenan tidak menunjukkan peningkatan yang pasti. Remaja 17 tahun itu seperti nyaman terbelenggu sunyi ditengah lara yang menyelimuti keluarganya.

Setelah mengalami gagal napas karena asma yang dideritanya, pihak medis mengambil tindakan serius dengan membawa Kenan keruangan ICU, melanjutkan tindakan pengobatan pada pemuda tersebut diruang pesakitan hidup dan mati.

Masih bersama derai air mata penyesalan. Tuan besar Dewantara mematung tampa kata, memandang luka pada tubuh Kenan dari balik kaca tampa bisa merengkuh sang putera.

"Ayah belum makan, ayok makan dulu"

Pria berumur tersebut menoleh. Menghela napas karena resah kian mencekik disetiap detiknya. Menghampakan udara disetiap tarikan napas.

"Kamu duluan aja. Ayah, nggak selera" Tidak sepenuhnya berbohong. Pada kenyataannya tuan besar Dewantara kehilangan nafsu makan setelah kondisi Kenan memburuk.

"Ayah, harus makan" Antariksa tidak mau menyerah begitu saja.

"Ayah, bersalah" Ujar tuan besar Dewantara.

"Maafin Anta, yah. Ini salah Anta" Antariksa menunduk.

Tuan besar Dewantara mengikis jarak. Mengusap lembut kepala puteranya yang tengah dihimpit rasa bersalah. Sama seperti dirinya, tentu saja Antariksa merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Kenan.

"Kamu tahukan sebesar apa ayah menyayangi kalian?. Ayah, nggak mungkin biarkan anak ayah dalam bahaya, kamu tentu paham darah selalu lebih kental dari air, meskipun belum tentu Sahara juga mengincar Kenan. Tetapi, bisa saja dia sama tidak warasnya seperti saudaranya"

"Gimana kalau mama nggak gitu?, dan belum tentu juga saudara mama yang selama ini neror Kenan" Meski ragu, Antariksa tetap mencoba berpikir jernih atas apa yang tengah mereka hadapi.

"Musuh tidak pernah permisi, Ta. Mereka bisa datang dari mana saja termasuk dari orang terdekat sekalipun"

Antariksa membisu. Tampa untaian kata pemuda itu terbelenggu bersama gamang yang perlahan bersarang, andai saja Antariksa menyadari lebih awal perihal fakta mengenai Sahara dan keluarganya, tentu saja Antariksa tidak akan seterbuka itu.

~~~●○☆○●~~~

Lengkingan suara peluit mengakhiri perjuangan kedua kesebelasan sore ini. Bersama kemilau jingga disudut langit, mereka bersuka cinta menyambut kemenangan dan berlapang dada menerima kekalahan.

Jauh sebelum hari ini. Leo pernah bermimpi, meraih kemenangan bersama Kenan, merayakan keberhasilan dalam balutan hangat kebersamaan. Namun, pada kenyataannya Kenan tidak berada disini.

"Leo, bengong aja. Ayok kumpul dulu" Salah seorang teman satu timnya menyapa.

Leo mengangguk. Mengikis jarak mendekati kerumunan timnya yang mana disana juga terdapat seorang pelatih.

"Kamu kapten yang hebat" Pelatih mengacungkan dua jempol pada Leo. Pria tersebut tersenyum sumringah pada semua murid asuhannya.

Leo tersenyum getir. Meraba ban kapten yang seharusnya dipakai oleh Kenan, remaja itu tertunduk bersama setetes air mata yang jatuh begitu saja.

"Kenan, seharusnya dia juga ada disini" Guman Leo.

Hening. Suasana seketika berubah, tawa lenyap bersama hampanya udara disekitar mereka.

"Dan maksut, lo. Seharusnya Aryan nggak ikut main?, secarakan Aryan masuk karena tim kalian kekurangan orang"

Leo menoleh, memandang tidak suka pada pemilik suara itu. Entah apa yang telah terjadi, hingga Leo merasa tidak lagi mengenal Aira.

"Nggak usah menggiring opini yang nggak benar, dasar cewek matre" Leo berlalu begitu saja, segera membereskan barang-barangnya.

Aira mematung. Gadis itu belum beranjak dari posisinya, ia mengepalkan tangan kemudian berbalik menyusul Leo bersama Viola dibelakangnya.

"Lo, nggak tau apa-apa, jadi jangan menilai gue"

Leo tersenyum remeh. Memandang tak suka pada gadis yang dulu ia nilai begitu baik.

"Terserah" Leo meraih tasnya kemudian mendekati pelatih.
"Maaf, coach. Untuk menghormati Kenan, saya nggak ikut naik podium" Lanjut Leo seraya menyerahkan ban kapten yang sebelumnya sudah sempat ia lepaskan.

Pelatih mengangguk paham kemudian menerima ban tersebut.

"Setidaknya terima mendali, jangan pulang dulu"

Leo menggeleng. "Saya nggak bisa, coach. Maaf"

Mengerti akan resah dihati Leo. Pelatih tidak lagi membantah. Membiarkan remaja itu berlalu, meninggalkam lapangan hijau saksi kemenangan mereka sore ini.

Sementara itu, Aira membisu bersama heningnya hati. Melupakan segala rasa yang pernah ada, Aira menghapus air matanya. Mungkin ini adalah cara terbaik untuk melupakan Kenan.

BERSAMBUNG

Ada yang nungguin nggak si?😭😭😭

Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang