02 Maaf

14 6 0
                                    

“Apa?” tanya Amella bingung.

Mendengar respons dari cewek itu yang terdengar tidak enak, Naka berdehem pelan. Lalu berjalan ke ujung Rooftop berusaha terlihat biasa saja, “Wah, kalo diliat dari atas indah juga ya ni sekolah,” celetuknya tiba-tiba. Matanya berputar mengamati pemandangan sekolah barunya dari atas.

“Cantik.” Naka kembali menghadap Amella yang sudah meliriknya tajam.

“Apa? Gue boleh kesini kan?” pertanyaan konyol yang baru saja Naka  katakan, “Nih.” Naka menawarkan minuman kaleng itu sekali lagi, kemudian membukanya dan kembali menodongkannya ke arah Amella, “Ngga gue kasih racun.”

Amella tetap diam, dia melirik minuman itu. Jika dipikir-pikir lagi sekarang dia sangat haus dan butuh minumannya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengambil minuman kaleng itu cepat, lalu membalikkan badannya untuk meminumnya.

Seketika ujung bibir Naka sedikit tertarik, “Gue Naka,” ungkapnya secara lantang, “Gue ngga tau lo siapa. Tapi, gue bisa liat lo penuh luka,” kata Naka, suaranya merendah.

Masih tak ada respons dari cewek itu. Dia kembali berdehem. Apakah Amella tidak bisa bicara? Dia bingung harus berbicara apa lagi sekarang. Karena, rasanya dia seperti sedang bermonolog.

“Ini hari pertama gue sekolah di sini. Dan gue masih belum kenal sekolah ini, lo mau ngga nemenin gue keliling?” ajak Naka, sedikit ragu.

BRAK!

Belum sempat Amella menjawab. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Lalu muncul seseorang yang berlari kecil mendekati Amella. Dia terlihat seperti orang yang sedang marah.

“Lo ngga apa-apa?” tanya cowok itu kepada Amella. Dia memegang kedua bahu Amella dan menatapnya khawatir. Dan Amella langsung menepis tangan cowok itu dari bahunya.

Namanya Aerlangga Saskara. Cowok berbadan tegas dan tingginya yang sama dengan tinggi Naka itu melihat penampilan Amella yang lusuh, juga luka di wajahnya. “Gue obat in,”  ucapnya dengan lembut.

“Ngga perlu, gue bisa sendiri,” cetus Amella tanpa berpikir, lalu melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika Aerlang mencekal tangannya. Amella melirik Naka yang masih berada di sana. Kemudian, kembali menepis tangan cowok itu sekali lagi.

“Mel ...,” lirihnya, kembali memegang tangan Amella mencegahnya pergi.

Naka menepis tangan Aerlang yang memegang tangan Amella. Padahal, cewek itu sudah menolaknya, kan. Kenapa dia seperti memaksa Amella? Kini mereka saling menatap tajam satu sama lain. Siapa cowok ini? Apa hubungan mereka. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Tapi dia tahu, mereka bahkan baru saja bertemu, tidak seharusnya dia mengurusi urusan orang lain bukan.

Amella memutar bola matanya malas, dia menarik tangannya, dan berjalan pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang beradu tatapan tajam.

***

“Amella sayang sini,” seru wanita dengan senyuman yang lebar.

Amella terdiam, apakah ini mungkin? Dia bisa melihat wanita dan sesosok pria yang sangat ia rindukan. Mereka berdua terlihat duduk di atas pasir pantai, dan bermain di sana. Air matanya berhasil lolos membasahi pipinya, betapa senangnya dia melihat kedua orang tuanya bersama dengan berbalut kebahagiaan ini.

“Amella, anak Papa. Sini sayang!” pria itu tersenyum lebar dengan merentangkan kedua tangannya, menanti pelukan dari sang putri. Amella berlari mendekatinya dengan haru. Belum sempat memeluknya, tanpa ia sangka, tiba-tiba pria  itu menghilang.

“Enggak!” Amella tampak terkejut dan takut. Mata indahnya itu membulat sempurna, kepalanya menoleh ke sana-kemari mencari sang ayah.

Namun beliau tidak ada di sana, hilang.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang